8.6.10
Menggali Akar-akar terorisme di Nusantara
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Selasa, Juni 08, 2010
Beberapa tahun terakhir pesantren terkena imbas isu teroris pasca bom WTC 11 September 2001. Pesantren Ngruki Sukoharjo salah satunya. Walaupun akhirnya tidak dapat dibuktikan bahwa pesantren tersebut mengajarkan mekanisme jihad di negeri ini, setelah DEPAG meninjau langsung kurikulum dan proses belajar-mengajar di pesantren itu. Sidney Jones, pengamat teroris yang berkebangsaan Australia inilah orang yang pertama mengeluarkan pernyataan tersebut. Yang terjadi adalah beberapa santri jebolan pesantren itu yang kemudian terjadi rekrutmen dengan organisasi berhaluan keras seperti Jama'ah Islamiyah yang berkiblat pada Al-Qaedah, NII dan organisasi sempalan lainnya.
Terkait dengan organisasi teroris yang ada di Indonesia, pada 22 Juli 2009 TV One menggelar acara special yang membahas akar teroris di Indonesia. Beberapa catatan penting yang dikeluarkan narasumber Brigjen. Surya Dharma Alam (mantan ketua Densus 88) yang membahas tuntas akar permasalahan peledakan bom di Indonesia yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir.
Salah satunya adalah analisa tentang sebuah paradigma masyarakat muslim yang secara ideologi ada kesamaan wacana normatif tentang konsep Daulah Islamiyah. Tanpa pembahasan yang panjang tentang konsep Daulah Islamiyah itu sendiri apa?, beliau menegaskan ada latar belakang historis yang melekat di memori masyarakat Indonesia, dengan pernah dilakukan pemberontakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (S.M. Kartosuwiryo, red) lewat DI/ TII pada tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya Jawa Barat. Jika ditarik garis merah dengan peristiwa tersebut, ada kesamaan idiologis secara genetis terhadap jaringan Al-Qaedah.
Dalam berita yang dirilis oleh Metro TV, 24 Juli 2009, dengan berdiskusi langsung dengan beberapa mantan pejuang jihad Afganistan, yang menegaskan beberapa pernyataan penting terkait apakah ada relasi antara Jamaah Islamiyah dengan Al-Qaeda. Menurut informasi yang disampaikan, Noordin M. Top memang dahulu anggota Jamaah Islamiyah namun setelah mengikuti pendidikan di Mindanau, Nurdin M. Top lebih tertarik dengan model perjuangan Al-Qaeda.
Skema terakhir yang dikeluarkan oleh beberapa pengamat intelejen kita, organisasi Al-Qaeda di Asia Timur (Asean) memang tidak bersinggungan langsung (dalam satu garis perintah) dengan organisasi Jamaah Islamiyah, Majelis Mujahiddin Indonesia, Negara Islam Indonesia dan lain-lain. Organisasi ini berkembang secara asimetris dengan Al-Qaedah, sehingga sampai sekarang pun pelaku pengeboman 17 Juli 2009 kemaren belum bisa terungkap pelakunya, yang ada hanya dugaan dari mass media. Pihak polisi yang menangani langsung masalah ini belum bisa memberi keterangan siapa yang pelaku dibalik peristiwa ini, karena memang bentuknya yang asimetris dan tidak dalam satu garis perintah.
Tujuan pengeboman yang dilakukan jaringan Al-Qaedah di Indonesia, seperti yang diungkapkan Brigjen Surya Dharma Alam di TV One yang berbunyi : "Al-Qaedah sedang mencari negara mana yang kemudian cocok secara genetik untuk dibentuk sebuah Daulah Islamiyah". Pernyataan ini kalau boleh dibilang adalah sebuah kesimpulan empiris dalam rencana ini. Dengan kata lain Pakistan, Afghanistan, Thailand, Filiphina dan Indonesia menjadi negara-negara yang sedang di ujicoba untuk didirikan Daulah Islamiyah. Ini yang kemudian menjadi warning bagi kita, bahwa wacana Daulah Islamiyah kembali menjadi target operasi mereka, meskipun beberapa pengusung tema Khilafah telah bergulir sebelumnya (oleh NII, HTI dan ormas lainnya)
Mengapa harus Indonesia yang sebagai target Daulah Islamiyah? Kalau ditelaah yang mendalam, Indonesia yang dalam kebijakan ekonominya pro Amerika Serikat (neo liberal), seharusnya mengurangi ketergantungan tersebut. Target operasi Jaringan Teroris Al-Qaedah adalah Amerika Serikat karena targetnya terlalu besar, kemungkinan mereka mengujicobakannya di Indonesia, selain target Daulah Islamiyah yang memang sedang diujicobakan di negara kita.
Usut punya usut, konsep Khilafah yang merindukan berdirinya Daulah Islamiyah yang sudah ditanam oleh S.M. Kartosuwiryo lewat pemberontakan DI/TII. Walaupun dilapangan berbeda, ketika Hizbut Tahrir, NII lewat jalur pergerakan lebih banyak pada rekrutmen anggota menjadi kekuatan masa, PKS (trans nasional term.) menggunakan jalur politik (dengan perolehan 9 % pemilu nasional) dan Jama'ah Islamiyah serta berbagai sempalan jaringan Al-Qaeda lebih banyak pada penguatan ketentaraan (askar). Jika ketiga arus ini kemudian berkumpul dalam sebuah organisasi baru (dengan kesamaan genetis idiologi untuk mendirikan Daulah Islamiyah), maka yang terjadi kemudian adalah berdirinya sebuah Daulah Islamiyah. Tiga unsur ini yang kemudian lebih besar kesempatannya (kans) untuk sebuah Daulah Islamiyah, seperti perjuangan yang telah dilakukan S.M. Kartosuwiryo. Masyarakat kita perlu menyadari akan ancaman mereka ini, dan tidak gegabah memuji langkah mereka dalam menjajakan kaedah-kaedah ektrimisme dalam pemahaman Islam yang sempit.
Mengapa tiga aliran ini tumbuh subur di Nusantara? Ada analisa tokoh yang berbasic intelijen mengungkapkan bahwa Indonesia tidak memiliki UU anti Subversif (sebuah undang-undang yang bisa menjerat pemikiran dan pergerakan yang dianggap membahayakan negara). Kalau meminjam istilah Brigjen Surya Dharma Alam Indonesia butuh sebuah payung hukum yang disebut sebagai UU Prevension (UU pencegahan) seperti halnya di Malaysia dan Singapura.
Mengapa sebagian masyarakat kita cenderung memilih menjadi teroris?
Dengan semaraknya pendidikan non formal lewat pesantren, dan konsumsi masyarakat pesantren pada ilmu fiqh, sirah, tarikh tasyri' yang pas-pasan atau dengan catatan tidak punya basic agama yang cukup menjadikan masyarakat muslim kita sangat bervariasi pengetahuan agamanya.
Setelah keluar dari pesantren, keilmuan mereka diuji dengan tantangan kemapanan. Faktor ekonomi menjadi pengganjal lulusan pesantren untuk bangkit dan berperan aktif di masyarakat, khususnya di kancah nasional. Dengan kata lain kemiskinan (proverty) yang dialami mereka, kadang menjadi pengganjal untuk bertahan hidup, atau untuk mengembangkan dakwahnya.
Tidak salah bagi masyarakat muslim kita yang lemah secara ekonominya, kemudian direkrut oleh organisasi-organisasi yang subversif (melakukan gerakan bawah tanah).Sebut saja NII, Hizbut Tahrir dalam pergerakan mahasiswa, atau Jama'ah Islamiyah (dalam ideologi) atau Al-Qaeda yang bergerak dibidang ketentaraan.
Karena dasar keislaman yang kurang atau tantangan kemapanan ekonomi inilah, kemudian dimanfaatkan pihak lain untuk menanam aqidah, militansi (lewat mekanisme cuci otak) sehingga benih-benih itu dapat tumbuh dan berkembang dalam cita-cita Daulah Islamiyah di nusantara kita ini.
Ditambah dengan kemampuan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan kurang, dan cenderung bermain dalam ekonomi makro dan mengabaikan ekonomi mikro yang merupakan wilayah masyarakat miskin. Jika saja perhatian pemerintah lewat ekonomi mikro dengan dibukanya lapangan kerja yang luas, gaji yang memadai, rumah yang memadai, kredit yang benar-benar pro rakyat, maka tidak ada kesempatan untuk mengambil kesempatan masyarakat muslim kita untuk menjadi teroris.
Untuk menghindari terorisme itu sendiri juga diperlukan berbagai langkah persuasif (pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan) oleh pemerintah. Kalau ekonomi makro lebih besar perhatiannya ketimbang ekonomi mikro, yang terjadi adalah masyarkat kita sendiri yang akan menjadi musuh dalam negara kita. Mau tidak mau ini adalah sebuah pilihan sebagian masyarakat muslim kita, walaupun pilihan itu salah dimata sebagian orang.
Kalaupun kebijakan ekonomi pemerintah selalu bermadzhab neo liberal dengan menghidupi investor asing, bursa saham yang menjanjikan untungnya (1200 trilyun pertahun), namun pemerintah masih mau berhutang pada bank dunia, maka tidak ada artinya pertumbuhan nasional yang hanya 6 %, sedangkan negara kita di dunia juga terkenal dengan negara produsen TKI yang juga produsen teroris. Dan yang perlu dicatat pesantren selalu menjadi mesin pencetak generasi terbaik untuk negaranya, hanya karena analisa Sidney Jones (pengamat teroris) yang ngawur itu tidak terbukti, yang ada hanya masyarakat kita dimanfaatkan para ekstrimis, yang berada diluar tanggungjawab pesantren.
Penulis: Ahmad Sirojuddin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar