9.7.09

Abu Bakar RA dan Pemilihan Di Indonesia

Abu Bakr (sering pula ditulis ‘Abu Bakar’) adalah khalifah pertama yang menggantikan Rasulullah sesudah manusia mulia itu meninggal dunia pada tanggal 12 Rabiulawal tahun 11 Hijriah (3 Juni 632 M.). Singkat cerita, ketika dilantik menjadi khalifah, Abu Bakr menyampaikan pidato pelantikan. Simaklah pidato beliau:“Kemudian, Saudara-saudara. Saya sudah terpilih untuk memimpin kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kamu adalah kuat di mata saya, sesudah haknya saya berikan kepadanya — insyaallah, dan orang yang kuat buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil —insyaallah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu sudah meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan bencana kepada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada (perintah) Allah dan Rasul-Nya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan Rasullulah maka gugurlah kesetiaanmu pada saya. Laksanakanlah salat kamu, Allah akan merahmati kamu sekalian.” (Haekal, Muhammad Husain. Abu Bakr As-Siddiq. Jakarta: Litera AntarNusa. 2009 , hlm. 47.) Demikian. Adakah pidato calon pemimpin kita yang seperti itu? Begitu sederhana, jujur, rendah hati, tak banyak omong dan tak banyak janji. Itulah Abu Bakr! Naif memang kalau saya mencoba membanding-bandingkan seorang Abu Bakr, khalifah pertama Islam dengan para politisi yang berkewarganegaraan Indonesia tercinta ini. Tapi toh apa salahnya? Abu Bakr juga manusia biasa seperti kita. Ia pemimpin, tak ada bedanya dengan Pak SBY, Barrack Obama, Ahmadinejad, Sarkozy, Fidel Castro, dan sebagainya. Coba daftarlah nama pemimpin seantero dunia yang saat ini sedang memimpin negerinya masing-masing. Adakah dari mereka yang kala dilantik berpidato selayaknya Abu Bakr? Yang ingin saya perbincangkan dalam tulisan ini adalah substansi pidato Abu Bakr tersebut dan hubungannya yang kontekstual dengan keadaan negeri kita tercinta. Coba lihatlah pidato Abu Bakr, telitilah, tak ada satu pun janji-janji ambisius seperti halnya biasa keluar dari mulut manis seorang politisi. Namun, jangan dikira Abu Bakr tidak punya program kerja. Sepeninggal Rasulullah, Abu Bakr masih harus meneruskan dakwah Islam, memerangi kabilah-kabilah yang enggan membayar zakat serta kaum-kaum yang ingin murtad dan membangkangi Islam, memerangi kalangan munafik Yahudi dan Nasrani yang berhasrat ingin menghancurkan Islam, memerangi nabi-nabi palsu yang mulai muncul —macam Musailimah bin Habib, Tulaihah, dan Aswad al- Ansi—, mengamankan kedudukan Islam dari ancaman Romawi dan Persia, serta segudang tugas lainnya. Tanpa banyak cakap, Abu Bakr mengatur ekspedisi-ekspedisi secara sistematis, efektif, dan efisien untuk menggempur musuh-musuh Islam. Ia membagi pasukannya menjadi 11 brigade yang disebar ke penjuru-penjuru jazirah Arab. Begitu seterusnya, sepak terjang Abu Bakr yang melanjutkan perjuangan Rasullulah hingga Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa-masa selanjutnya yang tak mungkin saya tulis semuanya di sini. Yang ingin saya tekankan adalah, kualitas seorang pemimpin seperti Abu Bakr, tak pernah mengobral janji namun pandai bekerja. Berabad-abad kemudian, nun jauh di negara kepulauan bernama Indonesia, sepeninggal Belanda, Jepang, Orla, dan Orba, reformasi bergulir. Atas nama demokrasi, pemimpin berbagai tingkat berlahiran bak lumut di musim hujan. Dan seperti biasa, janji-janji bertebaran dari mulut calon pemimpin, pemimpin, pendukung pemimpin, lawan pemimpin, dan mantan pemimpin. Setiap hari janji terus-menerus diproduksi dan diperbarui. Janji semakin mutakhir. Janji bak komoditas penghilang dahaga rakyat. Janji- janji indah, berhamburan memenuhi langit-langit negeri hingga negeri ini menjadi surganya janji. Namun adakah janji-janji tersebut terealisasi? Jawablah sendiri! Saya yakin, rakyat sudah tahu, sadar, dan mengerti bahwa janji- janji itu bohong belaka. Namun, mengapa dari pemilu ke pemilu, janji-janji masih laku? Jawabannya ada dua. Pertama, karena rakyat sendiri suka mendengarkan janji, bahkan, rakyat butuh mendengarkan janji. Bayangkan, apalagi yang enak didengar kala tuntutan hidup makin menghimpit dada dan ketidakadilan di mana-mana selain janji-janji manis? Rakyat selalu dan selalu memaknai janji itu sebagai harapan. Harapan baru. Janji adalah obat instan, janji adalah pelipur lara. Saat masa kampanye berlangsung dan sang calon berdiri di panggung, rasanya kurang afdol jika ia tidak berjanji. Bahkan, rakyat bisa marah jika ia tidak berjanji! Rakyat akan menganggap sang calon tersebut tidak kompeten, tidak punya program kerja, serta tidak punya visi dan misi. Maka mau tidak mau, demi memenuhi tuntutan pasar akan janji, para calon pemimpin memproduksi janji. Entah dengan setulus hati untuk dilaksanakan, entah bohong belaka demi menggaet simpati rakyat, hanya Tuhan yang tahu. Ya, ini fenomena aneh! Rakyat tahu bahwa suatu saat ia akan dikibuli, namun ia masih juga percaya akan janji, biarpun tidak selalu seratus persen. Kedua, politisi jauh lebih cerdik lagi. Ia tidak peduli apakah rakyat percaya atau tidak. Yang penting ia mendapatkan semacam ‘momentum’ sebagai figur pemimpin dambaan kala ia mengucap janji-janji. Dan rakyat —yang bisa jadi termakan histeria sesaat— terjebak pada kekaguman buta terhadap politik pencitraan pemimpin maupun partai, dan —yang paling parah— termakan sogokan atau money politics, sehingga akal sehat kolektif rakyat menurun. Akal sehat itu akan muncul kembali kala figur yang mereka pilih dulu ternyata tidak memuaskan. Saat itulah sejuta makian dan cemoohan terlontar dari mulut mereka. Ya, demikianlah proses demokrasi kita dari tahun ke tahun! Rakyat selalu saja diperalat menjadi massa demokrasi ketimbang pelaku demokrasi. Artinya, rakyat adalah sekumpulan massa yang diperalat untuk mengangkat dan melanggengkan suatu partai atau pemimpin tertentu, dengan segala cara. Maka, inilah yang menurut saya harus diubah: mindset rakyat. Rakyat harus sadar betul bahwa kualitas seorang pemimpin tidak bisa dilihat hanya dari praktik politik pencitraan instan kala pemilu. Rakyat tidak perlu lagi mendengar janji. Calon pemimpin dilarang berjanji. Bahkan lebih radikal, calon pemimpin yang gemar mengobral janji harus serta-merta ditolak rakyat. Kontrak politik jauh lebih masuk akal, di mana suatu kebijakan yang kelak ditetapkan adalah buah matang dari aspirasi rakyat yang tertuang dalam kontrak politik. Ada semacam ketentuan mengikat antara pemimpin sebagai pengemban amanat dan rakyat sebagai yang memberikan mandat. Maka, sudah waktunya pemilu dibersihkan dari janji-janji politik yang menyesatkan. Belajar dari khalifah Abu Bakr yang tak pernah mengobral janji politik, apa yang beliau lakukan setelah menjadi khalifah jelas jauh lebih ‘bunyi’ ketimbang pola sebaliknya: janji dulu, realisasi kemudian. Itu masih bagus. Coba jika demikian: janji dulu, kemudian cari alasan kenapa tak jalan! Memang banyak kalangan masyarakat yang kritis sehingga sanggup menolak mentah-mentah janji-janji politik sesaat setelah dikoarkan. Namun, tak semua rakyat kita demikian. Kalaupun ada, kebanyakan sikap menolak janji itu disebabkan apatisme dan sakit hati. Maka, harus dibangun suatu pola pikir yang sehat di mana pemimpin sama sekali bukanlah Tuhan yang sanggup mengeksekusi semua janji-janjinya. Rakyat perlu mengukur seberapa gombal dan masuk akal janji yang diobralkan pada mereka, juga rakyat perlu kritis dalam menanggapi setiap janji yang terlontar. Bahkan bila perlu, rakyat harus mengkaji setiap janji itu, karena logikanya, setiap janji yang terlontar harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah berdasarkan data dan fakta, dengan mempertimbangkan segala macam kemungkinan sosio-historis-kultural-eko-politis bahkan psikologis, karena janji adalah utang yang selamanya berlaku sebelum ia dilaksanakan. Pada prinsipnya, rakyat harus mulai paham bahwa yang terbaik adalah mereka yang bodoh berjanji tapi pandai bekerja. Kiranya kebalikannya (pandai berjanji bodoh bekerja) sudah sering bahkan terlalu sering muncul di negeri ini. Maka, perlu kita memberi tempat bagi mereka yang memang benar-benar tulus mengabdi pada rakyat. Bagaimana cara membuktikannya? Baik buruknya pemimpin bukan dilihat dari seberapa baik dan lancar mereka berjanji, tapi dilihat kiprah kepemimpinannya selama proses kepemimpinannya. Tentu pada titik ini, rakyat harus bertindak sebagai pengontrol, pengkritisi, oposisi, sekaligus koalisi. Jangan sekali-kali posisi-posisi penting dan strategis itu diserahkan atau diwakilkan pada partai-partai politik. Jangan! Rakyatlah yang sebenarnya harus proaktif dalam rangka menentukan nasib bersama serta memecahkan segala macam persoalan yang menyangkut hajat hidup mereka. Rakyat, dalam sistem demokrasi, adalah raja yang sesungguhnya. Pemerintah hanyalah pelayan rakyat. Namun, apa semua rakyat, politisi, dan pemimpin kita mempunyai kesadaran macam itu? Semoga saja. Dan kita masih boleh berharap bahwa sosok pemimpin macam Abu Bakr yang tak pandai berjanji namun pandai bekerja hadir di negeri kita tercinta, Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!