22.3.10

Dr.Subiakto Tjakrawardaya:NU penjaga Demokrasi


(DUTA MASYARAKAT)

Di sela-sela kesibukannya yang padat, Dr Subiakto Tjakrawerdaya, Sekretaris Yayasan Damandiri yang juga Ketua Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama ( LPNU), menyempatkan diri mampir ke kantor Duta di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, belum lama ini. Dalam kesempatan tersebut, ia menyatakan pandangan maupun keprihatinannya terhadap masa depan NU dan umatnya, terutama dalam bidang ekonomi yang menjadi perhatiannya sejak dulu. Berikut petikan bincang-bincangnya.Bagaimana makna Khittah NU 1926 menurut Anda? Khittah itu kan lembaganya, lembaga NU itu tidak berpolitik ( praktis, Red), oknumnya boleh. Kalau lembaga itu termasuk pemimpin/pengurus. Kalau individu-individu NU itu boleh. Tetapi kalau sudah pengurus ya nggak boleh. Kalau beliaunya mau mencalonkan diri sebagai presiden, ya jangan jadi ketua umum. Kalau sudah menjadi ketua umum itu bagian dari lembaga. Lembaga itu harus betul-betul tidak berpolitik. Sudah jadi ketua umum tiba- tiba besoknya jadi calon presiden atau wakil presiden saya rasa tidak pas ya. Setidaknya dalam teori kelembagaan. Memang kalau bisa menjadi presiden kan bisa mempengaruhi semuanya, bisa juga begitu. Kalau kemudian sudah menjadi presiden dan masuk partai kemudian kan terkotak-kotak. Kalau begitu, bagaimana format organisasi NU yang ideal? Menurut saya, syuriyah harus menjadi lembaga tertinggi. Sebab, namanya “Nahdlatul Ulama”, pimpinannya harus ulama, jadi harus orang yang mampu menjaga dan merawat nilai-nilai keulamaan. Ada empat nilai itu, tawassuth, tasammuh, tawazun dan i’tidal. Sedangkan tanfidziyah saya rasa ditunjuk saja. Syuriyah (rais am) itulah yang dipilih. Fungsi tanfidziyah administratif, manajemen, lebih teknis atau dalam kata lain sebagai pelaksana. Sebab, dia akan lebih proaktif untuk memfasilitasi, advokasi, dan inisiasi kegiatan-kegiatan ekonomi dan kesejahteraan lainnya. Dia akan menghubungi menteri-menteri di bidang ekonomi untuk ikut mempengaruhi kebijakan makronya. Nanti pelaksanaan di daerah dilakukan oleh wilayah-wilayah dan cabang-cabang. Nahdlatul Ulama itu mempunyai nilai-nilai yang tinggi sekali. Rais Am itu yang menentukan arah dan kebijakan NU kedepan untuk bisa tetap merawat, menjaga dan mengembangkan nilai-nilai keulamaan itu. Dan itu akan menjadi panutan/teladan dari masyarakat. Kalau umat yang 40 juta ini mampu menjaga nilai-nilai keulamaan, tawassuth, tasammuh, tawazun, dan i’tidal itu luar biasa sekali. Bagaimana kriteria pemimpin NU? Rais Am itu harus orang yang mumpuni, yang bobot keulamaanya tinggi sekali. Yang Tanfidziyah ini bobotnya harus lebih pada kemampuan manajerial, profesional. Harus ngerti agama, orang NU, tapi lebih banyak bobotnya dalam bidang kemampuan manajerial. Kalau saya mengatakan, dia harus seorang socio-entrepreneur. Ini agar NU mandiri, suatu saat kan NU kan inginnya mandiri. NU harus memiliki kekuatan ekonomi. Punya dukungan ekonomi yang kuat sekali. Kalau tidak itu, tidak mungkin mandiri. Artinya, umat NU harus punya kekuatan ekonomi. Si pelaksana ini harus kreatif, inovatif untuk menciptakan peluang-peluang ekonomi baru minamal memfasilitasi, mengadvokasi, menginisiasi peluang-peluang ekonomi baru dan program-program peningkatan kesejahteraan. Jadi, harus seorang enterpreneur-lah sebagai konsekuensi dari format tadi. Ini yang akan menjadikan NU itu mandiri tidak tergantung kepada siapa-siapa. Kalau bisa, kiai yang punya jiwa enterpreneur. Jadi, dibutuhkan ketua dan pengurus-pengurus yang muda, kreatif, inovatif. Saya sendiri tidak mampu, bukan tidak mau. Itu harus anak muda yang mempunyai jiwa enterpreneur, punya visi keagamaan, kreatif, inovatif, jaringannya luas, berani mengambil risiko. Muda menjadi penting karena wilayahnya besar, mobilitasnya tinggi. Keulamaannya dipegang oleh syuriyah (rais am), (tanfidziyah) diawasi asal dalam batas-batas dan koridor nilai-nilai keulamaan. Ini menurut saya menarik untuk dikaji. Kalau tidak dalam muktamar kali ini, ya di muktamar yang akan datang. Bagaimana sebaiknya proses untuk mendapatkan pemimpin NU seperti itu? Sistem yang sesuai dengan Pancasila adalah musyawarah dan mufakat, bukan voting. Makanya, saya tidak setuju, walaupun tidak diharamkan, tetapi itu merupakan langkah terakhir kalau terjadi deadlock. Tetapi sebenarnya yang harus diusahakan secara maksimal itu adalah musyawarah mufakat. Apalagi NU, kemuliaannya di mana? Syuriah kok di-voting. Menurut saya kurang pas. Ini kan soal keulamaan, kayak kekuasaan saja dalam politik, saya sebenarnya tidak setuju karena tidak sesuai dengan Pancasila. Semangat kebersamaan, dengan nilai-nilai Pancasila yang masih kita yakini sebagai dasar negara. Kalau saya berpendapat, jangan ada voting untuk rais am, siapa yang pas untuk posisi itu. Kalau Kiai Sahal, ya Kiai Sahal monggo, kalau Pak Hasyim Muzadi ya Pak Hasyim Muzadi. Intinya, jangan sampai voting, apalagi kalau harus memakai politik uang, mudah-mudahan tidak. Kalau itu terjadi (politik uang) akan mengurangi kemuliaan dari nilai-nilai NU. Untuk jadi ulama saya nggak sanggup, walaupun saya pernah jadi menteri dan mendapatkan Bintang Mahaputera sekalipun, belum tentu bisa menjadi seorang ulama. Tetapi seorang ulama bisa menjadi menteri dan mendapat Bintang Mahaputera. Saya merasa itu tinggi sekali. Pikiran saya itu hanya ingin menjunjung tinggi nilai-nilai keulamaan. Itu akan menjadi teladan bagi masyarakat. Ini hanya mungkin kalau NU sendiri ke dalam, internalnya itu harus menunjukkan hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai keulamaan itu. Menurut saya, voting itu kan bertentangan dengan nilai-nilai keulamaan itu sendiri. Karena voting itu the winners take all, when loss, bukan win win. Dan itu tidak sesuai dengan keadilan, tidak sesuai dengan nilai-nilai keulamaan. Kalau win-win kan adil, yang kecil tidak merasa kalah yang besar tidak merasa menang. Kalau musyawarah mufakat kan mengakomodasi semuanya, jadi itu sesuai dengan nilai-nilai keulamaan yang empat itu. Apa yang harus dan sudah dilakukan oleh NU? Dari segi ekonomi NU harus mampu berbuat banyak. Sedangkan LPNU yang saya pimpin merasa belum berbuat banyak. Karena pendekatannya harus makro yang mampu mengadvokasi dan memfasilitasi kegiatan ekonomi ummat. Yang sebagian usaha-usaha (umat NU) kan mikro. PBNU harus mampu mempengaruhi kebijakan- kebijakan secara makro ekonomi. Kalau tidak bisa mempengaruhi itu, ya percuma. Kalau ketua tanfidziyahnya seorang socio- enterpreneur pasti lain. Bidang ekonomi pasti akan berkembang lebih baik. Karena umat NU jumlahnya kan besar usaha mikronya, yang sebagian bergerak dalam bidang pertanian, perdagangan, retail. Ini agar bisa menjadi pressure group kepada pemerintah agar kebijakan ekonominya betul-betul berpihak kepada usaha-usaha mikro. Saya sendiri sebagai Ketua Lembaga Perekonomian NU ini dalam posisi dilematis. Saya tidak bisa bekerja sendirian, mesti di dukung oleh tim-tim yang kuat. Yang mampu memberikan analisa-analisa yang tajam. Tapi kalau sekadar Ketua LPNU ya belum bisa, legalitasnya kurang kuat. Mestinya ketua umum (tanfidziyah) itulah nanti seorang yang mempunyai visi ekonomi, seorang enterpreneur yang mampu membangkitkan ekonomi umat. Supaya NU menjadi kekuatan ekonomi yang mampu membiayai dan mendanai kegiatannya sendiri, jadi mandiri. Kemandirian itu menggerakkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya program-program pemberdayaan. Koperasi simpan pinjam misalnya, itu kan bagus. Itu harus menjadi kekuatan besar, artinya itu kan menggerakkan partisipasi masyarakat. Kalau itu semua tidak dipayungi kebijakan mikro yang benar, usaha-usaha koperasi yang kecil-kecil ini tadi juga akan kalah dalam persaingan. Konkretnya, NU itu mestinya punya bank sendiri, kalau mau mandiri. Dulu Gus Dur bikin bank, Bank Papan Sejahtera, idealnya begitu. Kalau tidak memiliki bank sendiri harus mampu mengadvokasi dan memfasilitasi dengan bank-bank pemerintah yang ada. Harapan Anda untuk NU ke depan? Saya setuju Gus Dur yang menyatakan bahwa musuh Islam itu ada dua. Kemiskinan dan kebodohan, kalau miskin dan bodoh kan mendekati kafir. Caranya itu, menurut saya dengan ekonomi. Konsekuensi logisnya, ketua tanfidziyah NU harus mempunyai jiwa enterpreneur. Suatu kombinasi yang luar biasa. Syuriah yang menjaga dan merawat nilai-nilai keulamaan. Tanfidziyah berfungsi sebagai operasional untuk mewujudkan visi mengatasi kebodohan dan kemiskinan. Untuk menjaga dan merawat nilai-nilai keulamaan itu kan bisa dicapai kalau orangnya sejahtera dan pinter-pinter. Menurut saya sederhananya seperti itu. Termasuk kegelisahan saya, bahwa masyarakat di bawah ini kan yang banyak itu NU. Ekonomi kita sekarang sudah dikuasai kekuatan asing. Dan itu semakin besar. Kita sebenarnya sudah tidak berdaya. Dibutuhkan seorang pemimpin yang berani balik langkah untuk menghadapi kekuatan-kekuatan itu. NU itu bisa menjadi salah satu penjaga demokrasi ekonomi dan demokrasi politik yang sesuai dengan Pancasila. Sebab, nilai-nilai keulamaan itu sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. NKRI dan Pancasila juga sudah menjadi landasan NU. Sekarang implementasinya dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial, NU bisa berperan seperti itu, menjaga demokrasi ekonomi.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!