21.4.10

UU Penodaan Agama,Ulama Berterima kasih kepada MK



Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat bidang dakwah, Duski Samad menyatakan, umat Islam bersyukur Mahkamah Konstitusi memutuskan tetap memberlakukan UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang penodaan atau penistaan agama.

"Hasil putusan MK yang menolak pengujian materi UU tersebut pantas disyukuri umat Islam. Artinya negara melalui MK masih memberikan perhatian dan perlindungan dalam kemerdekaan beragama," kata Duski di Padang, Selasa.

Guru besar pemikiran Islam IAIN Imam Bonjol Padang itu mengatakan, jika UU itu dicabut, maka kemerdekaan umat beragama akan hilang dan lalu memunculkan gesekan-gesekan.

"Kalau uji materi UU tersebut diterima, maka akan berpotensi pada konflik suku, ras, adat dan antargolongan," ujarnya.

Dia menambahkan, penolakan uji materi UU penistaan agama menunjukkan hakim MK benar-benar arif dan mengedepankan hati nurani dalam mengambil keputusan.

"Ada kecenderungan institusi hukum selama ini mengedepankan aspek formal hukum saja dalam mengeluarkan keputusan. Namun di MK hal itu justru tidak terjadi," katanya.

Ulam kondang Sumbar itu mengingatkan umat Islam selalu mewaspadai upaya memperlemah umat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, sementara tokoh Islam jangan terkecoh pada hal-hal yang pragmatis dan mencari keuntungan sesaat.
PENODAAN DAN KEBEBASAN BERAGAMA BERBEDA KONTEKS
MK menolak uji materi Undang-undang Penodaan Agama, Senin siang, sehingga UU Penodaan Agama tetap berlaku.sebelumnya,Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Prof Ahmad Rofiq menilai kebebasan beragama dengan penodaan agama berbeda konteks, sehingga tidak dapat disamakan.

"UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama tidak memengaruhi kebebasan beragama yang dimiliki oleh setiap orang," kata Rofiq di Semarang, Senin.

Ia mencontohkan, kasus penganut Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Hal itu tentunya menodai Islam yang meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penutup.

Menurut Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang itu, kebebasan beragama yang menjadi hak setiap orang tidak lantas bisa dilakukan dengan menodai agama, karena kebebasan tetap memiliki batasan-batasan yang telah ditentukan.

"Umpama, seseorang yang memiliki sepeda motor tentunya bebas mengendarainya di jalan raya, karena sepeda motor itu haknya. Namun, bukan berarti dia bisa melanggar hak orang lain yang juga menggunakan jalan raya," katanya.

Undang-Undang tentang Pencegahan Penodaan Agama itu, lanjutnya, sudah menjadi rambu-rambu yang tepat untuk mengatur kehidupan beragama masyarakat Indonesia, sehingga keberadaannya tetap diperlukan.

"Setiap agama telah memiliki pedoman yang diyakini para pemeluknya, seperti halnya Islam. Kalau memang ada perbedaan tentunya hanya berkaitan dengan amaliyah yang tidak bersifat akidah," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, pihaknya mengapresiasi dan menyambut positif penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan `judicial review` (uji materi) UU tentang Pencegahan Penodaan Agama tersebut.

"Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai MK mengabulkan permohonan uji materi UU tentang Pencegahan Penodaan Agama itu, sebab UU tersebut selama ini merupakan rambu-rambu yang mengatur kehidupan beragama," kata Rofiq.

Sebelumnya, MK memutuskan untuk menolak seluruh permohonan uji materi UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama, sehingga UU tersebut dinyatakan konstitusional dan masih dapat dipertahankan.

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa UU tentang Pencegahan Penodaan Agama masih tetap dibutuhkan secara moril sebagai pengendali ketertiban umum dalam rangka kerukunan umat beragama di Indonesia.

Selain itu, MK juga berpendapat bahwa negara berkepentingan untuk membentuk UU Pencegahan Penodaan Agama sebagai pelaksanaan tanggung jawabnya melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum.{nuOnline}

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!