
KETIKA ruh mengucilkan diri untuk bermunajat (berdialog dengan Allah) dalam sunyi dan berbisik dengan halusnya di palung batin, itulah yang disebut musamarah (secara harfiyah berarti “ begadang”). Begitu halus ruh berbisik, begitu sunyi dia bermunajat dalam kesendiriannya, sehingga hati pun tak dapat menangkap munajat dan bisikan tersebut, kecuali lamat- lamat saja.Pada saat demikian, hanya ruh yang berlezat-lezat dalam munajat dan berbisik, sedang hati tidak.
Ada lagi istilah-istilah sakar (yang secara harfiyah berarti mabuk) dan shahwu (kondisi penuh kesadaran). Sakar ialah kondisi ketika seorang sufi begitu dikuasai oleh kekuatan hal. Adapun shahwu adalah kembalinya sufi pada kondisi untuk menertibkan kembali amal-amal dan memperbaiki lagi kata-katanya. Atau, seperti dikatakan Muhammad ibn Khafif, “Sakar ialah mendidihnya hati pada saat saling bertumbuknya sebutan- sebutan terhadap Sang Kekasih.” Untuk lebih terangnya, kita ikuti penjelasan Al-Wasithi. “Maqam- maqam (baca: fase-fase) wajd ada empat:
mula-mula dzuhul ( lupa), lalu hiyarah (bingung), kemudian sakar (mabuk), dan akhirnya shahwu (sadar). Ini tak ubahnya orang yang mendengar suara gedebur laut, lalu dia mendekat padanya, kemudian dia masuk ke dalamnya, dan akhirnya ombak melalap dirinya.” Dari ulasan itu, maka bila masih terdapat sisa-sisa merambatnya hal pada seseorang, dia masih memiliki bekas-bekas sakar. Dan jika segala sesuatu pada dirinya kembali pada tempatnya semula dengan penuh ketenangan, maka dia mengalami shahwu. Jadi, sakar adalah untuk pemilik hati, dan shahwu bagi orang-orang yang mengalami penyingkapan hakikat kegaiban.
Mahwu-Itsbat
Mahwu (penghapusan) dan itsbat (penetapan) adalah dua istilah lain lagi. Mahwu dicapai dengan menghilangkan sifat-sifat nafsu, sedang itsbat digapai dengan diputar-putarnya gelas-gelas cinta pada mereka. Atau, mahwu ialah terhapuskannya bentuk-bentuk amal lantaran pandangan fana’ kepada dirinya dan kepada segala hal yang keluar dari dirinya, sedang itsbat ialah menetapkan bentuk-bentuk amal berkat apa yang diciptakan Allah baginya berupa wujud. Jadi, dia dengan Allah, bukan dengan dirinya sendiri. Ini berkat penetapan Allah padanya. Seolah itu permulaan bagi dia setelah dihapuskannya sifat-sifat nafsu darinya.
Berkata Ibnu Atha’, “Dia menghapuskan sifat-sifat mereka dan memantapkan sirr atau batin mereka.”
Ada juga istilah-istilah: ilmul yaqin, ‘ainul yaqin dan haqul yaqin. Ilmul yaqin ialah apa yang dicapai melalui jalan nazhar (penalaran) dan istidlal (analisis). ‘Ainul yaqin ialah pencapaian lewat jalan penyingkapan (kasyaf) dan anugerah. Sedang haqul yaqin ialah pencapaian setelah nyata-nyatanya keberpisahan dari kotoran shalshal (debu kering sebagai bahan penciptaan dirinya) dengan datangnya persambungan.” Sebagaimana dikatakan Faris, “Ilmul yaqin adalah kondisi di mana orang tidak lagi merasakan kebingungan. ‘Ainul yaqin ialah ilmu yang dititipkan Allah pada batin. Bila ilmu dipisahkan dari sifat yaqin, maka ilmu itu bersampur syubhat (kekaburan). Jika ilmu digabungkan pada yaqin, maka ilmu itu bersih dari syubhat.
Adapun haqqul yaqin ialah hakikat dari apa yang diisyaratkan oleh ilmul yaqin dan ‘ainul yaqin.”
Senada dengan ini ialah kata-kata Imam Al-Junaid, “Haqqul yaqin ialah apa yang dinyatakan oleh seorang hamba, yaitu dia menyaksikan hal-hal gaib sebagaimana dia menyaksikan hal-hal kasat mata dan dia memastikan hal gaib tersebut, lalu dia mengabarkannya dengan benar. Itulah yang terjadi pada Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dalam jawabannya kepada Rasulullah s.a.w. Kala itu dia memberikan seluruh hartanya untuk keperluan jalan Allah . Beliau bertanya, “Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”
Dia menjawab, “Allah dan Rasul-Nya.”
Oleh: Hamid Ahmad
0 komentar:
Posting Komentar