1.4.10

NU Harus Kurangi Syahwat ke Senayan


ROZY MUNIR,Ketua PBNU,Dubes RI untuk Qatar.

Sejak kecil saya banyak belajar tentang NU dan saya sendiri memang keturunan NU. Hingga kini, apapun yang saya lakukan, baik saat jadi dosen dan peneliti di UI, maupun tugas-tugas di pemerintahan dan LSM, semuanya tidak bisa lepas dari NU. Setelah belajar di luar negeri, ada beberapa hal yang selalu saya pegang erat-erat dan akan selalu saya pertahanakan. Pertama, soal ketepatan waktu. Ini saya jaga betul sampai sekarang. Kedua, saya jarang menggunakan kata “ mungkin atau mungkin iya dan mungkin juga tidak”. Ketika kuliah di luar negeri, saya sering ditegur dosen jika, bicara “mungkin”. Saat masih kecil, saya pernah aktif di IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indinesia) hingga akhirnya ke PBNU dan menjadi Wakil Ketua Umum atau Ketua yang membidangi urusan luar negeri. Pada kesempatan ini, saya ingin bicara soal pendidikan NU. Soal pendidikan, kita, orang NU tidak hanya bisa bersumber dari pendidikan agama saja. Kalau warga NU hanya berbekal ilmu agama daja, saya kira NU akan tertelan atau ketinggalan zaman. Sekarang ini, banyak orang yang telah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua bangsa sekarang ini menghadapi globalisasi, termasuk Indonesia. Karena itu, mau tidak mau, masyarakat Indonesia, termasuk warga NU, juga harus menghadapi tantangan globalisasi itu. Jika tidak belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, warga NU akan kalah bersaing dengan orang-orang yang menguasai teknologi. Menurut saya, orang NU harus bisa mengabungkan atau memadukan antara pendidikan ilmu agama dan teknologi. Di PBNU, saya dan Pak Said (panggilan Prof Dr Said Aqil Siradj) berbagi tugas. Pak Said yang berlatang belakang pendidikan Timur Tengah dan menguasai keilmuan agama, serta menguasasi kebudayaan arab, menangani kader NU yang ingin sekolah ke Timur Tengah, seperti ke Libia, Syiria, Mesir, Sudan dan negara- negara lainnya. Sedangkan saya yang berlatar belakang pendidikan Barat ( University of Hawaii) dan punya pengalaman tentang barat, menangani kader NU yang ingin sekolah ke Eropa, Amerika, Australia dan Negara-negara lain di belahan dunia. Atas nama PBNU, saya telah mengirim kader-kader terbaik NU dari pesantren ke Inggris untuk belajar. Diantara mereka, ada yang telah menjadi master, dan ada juga yang menjadi doktor. Selain Inggris, mereka ada yang ke Amerika, Singapura dan Australia. Dalam menjalankan tugas tersebut, saya menggunakan kendaraan ICIS (International Conference of Islamic Scholars), baik yang berhubungan dengan pemerintah maupun swasta. berkesempatan mengirim anak muda NU untuk pelatihan manajemen di Leed university, Inggris untuk mengikuti pelatihan manajemen. Pada program tersebut, kader NU yang dikirim berasal dari pesantren. Usia mereka dibatasi maksimal berusia 35 minimal 25 tahun. Alhamdulillah, jumlah anak muda NU yang dikirim ke Inggris kini telah mencapai 100 orang. Hingga kini, perkembangan mereka terus dipantau oleh PBNU. Kata Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, apa yang telah dilakukan PBNU itu sudah luar biasa atau diatas lumayan. Menurut saya, mereka yang telah mendapat pendidikan di Timur Tengah sebaiknya juga dikirim ke Barat. Sebaliknya, mereka yang telah mendapat pendidikan barat dikirim ke Timur Tengah. Dengan demikian, kemampuan mereka akan lengkap, menguasai keilmuan Timur Tengah dan Barat. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, agar NU punya daya saing, mereka yang punya latar belakang pendidikan berbeda, masih- masing harus bisa saling melengkapi. Merekalah yang diharapkan bisa meneruskan perjuangan NU ke depan. Dan, merekalah yang akan bisa bersaing pada masa mendatang. Selain program pendidikan ke luar negeri, untuk mengasah kemampuan kader NU dalam berkomunkasi dengan bahasa Inggris, setiap seminggu sekali, di PBNU juga digelar “afternoon tea” yang diikuti anak-anak muda NU. Mereka berasal dari IPNU, IPPNU dan PMII, dan kelompok muda NU lainnya. Sayangnya, setelah saya jadi Duta Besar RI untuk Qatar, kegiatan ini agak tersendat sedikit, karena saya berangkat ke Qatar. Saya berharap kegiatan tersebut akan terus berjalan. Saya meminta kepada pengganti saya di PBNU untuk menjalankan program ini. Pada kesempatan ini, saya lebih banyak bicara soal ketertinggalan NU. Ini memang masalah penting. Untuk mengatasia masalah ketertinggalan NU ini, menurut saya, kader NU harus mengurangi gairah/syahwat ke Senayan, sebagai politisi dan anggota DPR. NU harus belajar dari pengalaman masa lalu, yaitu pada tahun 2008. Saat itu, hampir semua kader NU ingin ke Senayan. Bahkan, bos-bos di PBNU sendiri tidak kuat menahan gairah ke Senayan. Sehingga semua potensi NU tersedot ke politik. Kader NU, baik yang muda maupun yang tua, serta kiai yang tidak mengerti politik, semuanya mengarah ke politik. Masa kini itu, telah lewat. Ke depan, NU jangan sampai lalai lagi. NU harus kembali fokus berfikir dan berbuat untuk umat, terutama terkait masalah sosial yang menyangkut warga NU, misalnya, pengangguran, tingkat kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Jika tidak menyadari kelemahan yang ada, kita, warga NU akan meninggalkan kader dan generasi yang lemah di kemudian hari. Mereka tidak mampu bersaing di tengah perkembangan zaman.(*)

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!