3.5.10

Menjaga Muru’ah Nahdliyah


Kegembiraan dan keprihatinan berjalan seiring selama dan seusai Muktamar NU di Makassar yang baru lalu. Gembira karena muktamar ini mendapat sambutan meriah dari masyarakat seluruh dunia, persiapan masyarakat lokal yang begitu matang membuat acara itu makin meriah. Dan yang terpenting telah mampu memilih pemimpin PBNU baru, sebagai proses regenerasi dan kaderisasi yang akan melanjutkan perjuangan NU di masa depan.

Namun di sisi lain juga menyisakan keprihatinan, karena selama berlangsungnya muktamar terjadi berbagai hal yang menyimpang dari tradisi NU. Suasana pemilu atau kongres partai politik telah merasuk dalam ruang muktamar para kiai dan ulama ini. Kalau sudah namanya partai apalagi di zaman demokrasi liberal yang mengutamakan kebebasan bersaing, kebebasan berekspresi, maka kelihatan persaingan untuk merebutkan kepemimpinan sudah sedemikian vulgar, diwarnai dengan berbagai spanduk pencitraan diri yang jauh dari kerendahan hati. Ditambah lagi sorak-sorai dan bahkan teriakan dan caci maki oleh para pendukung.

Mereka lupa bahwa ini forum ulama, yang di dalamnya ada etika dan seperangkat etiket serta tatakrama yang semuanya dijunjung tinggi. Sikap seperti itu dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan dan petikaian. Kalau organisasi para ulama ini sudah bertikai maka umat tidak memiliki lagi panutan. Yang lebih berbahaya lagi pertikaian akan membawa pada tadzhaba rihukum (lenyapnya kewibawaan), bila hak itu terjadi maka NU tidak lagi bisa menjadi pengayom umat, karena umat kurang menaruh kepercayaan pada para ulamanya sendiri.

Walaupun sistem politik telah memberikan kebebasan tanpa batas, walaupun suasana budaya telah memberikan kebebasan berekspresi tanpa batas, tetapi kaum santri tetap harus mampu membatasi diri dan tetap tahu kepantasan. Kalaupun tahu persoalan termasuk aib kawannya tidak perlu dibuka demi alasan kebebasan berekspresi, lalu disiarkan melalui email atau bahkan face book, sehingga seluruh rahasia organisasi diketahui oleh umum yang akibatnya akan menurunkan kewibawaan organisasi dan akan melunturkan kesetiaan seseorang pada ulama dan organisasinya.

Sikap saling menjaga memang perlu diperkuat dan dipertahankan inilah yang namanya ukhuwah nahdliyah, sebelum beranjak pada spektrum yang lebih luas yaitu ukhuwah islamiah dan ukhuwah wathoniyah. Kehormatan seseorang dan kehormatan sesuatu kelompok terletak pada kemampuannya menjaga muru’ah (harga diri) dari orang atau kelompoknya. Rahasia pribadi dan kelompok termasuk bagian penting sebagai harga diri, maka kalau harga diri ini telah disebarkan maka runtuhlah harga diri kelompok dan warga yang ada di dalamnya.

Seusai muktamar ini ukhuwah nahdliyah mesti dirajut kembali demi memperkuat keutuhan NU. Tentu saja tidak bisa menyalahkan semua ini pada orang-perorang karena telah menjadi kesalahan bersama. Sementara yang namanya kesalahan bersama harus diperbaiki bersama. Kesadaran kolektif inilah yang akan menjadi tradisi dan budaya baru, sehingga akan tercipta kehidupan Nahliyin yang tidak saling curiga saling membenci, tetapi kehidupan Nahdliyin yang saling bantu-membantu dan bahu-membahu dalam menegakkan panji Nahldiyin, panji Islam dan panji kemanusiaan.

Kebesaran dan kewibawaan NU yang begitu tinggi di mata masyarakat ini hendaklah tetap dijaga jangan sampai dirongrong dengan cara bertindak tanpa mengenal fitrah nahdliyah, sehingga melanggar muru'ah ahlussunnah. Dengan menjaga muruah itulah kebesaran dan kewibawaan NU bisa dijaga, NU dihormati dan disegani orang selama ini karena para pimpinan dan warganya sama-sama mampu menjaga muruah, mampu mengendalikan nafsu dan ambisi, karena menyadari adanya nilai yang harus dijaga dan dijunjung tinggi. (Abdul Mun’im DZ)

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!