6.5.10

Wahabisme dan Bayang-bayang terorisme : Oleh-oleh dari Kairo


Kairo - Nahdlatul Ulama (NU) mengadopsi sistem yang mengarah pada upaya membangun hubungan keseimbangan dan kemoderatan, baik dalam hal agama, politik, hak-hak sosial maupun budaya. NU juga menolak segala macam ekstremisme. Hal itu disampaikan intelektual muda NU Zuhairi Misrawi dalam Studium General "Peran Masyarakat Muslim Moderat Indonesia dalam Perdamaian dan Toleransi: Pengalaman Nahdlatul Ulama" di Grand Hall Thebes Academy, Maadi, Kairo (22 /4 /2010). Acara ini, seperti dituturkan Syamsu Alam Darwis kepada detikcom, Jumat (23 /4 /2010) , terselenggara berkat fasilitasi Fungsi Politik KBRI Kairo. "NU telah menjadi lembaga keagamaan terbesar di dunia, yang mengedepankan pendekatan pemahaman Sunni dan bersama masyarakat mengatasi menjamurnya faham Wahabisme yang tersebar di seluruh Indonesia," ujar Zuhairi. Menurut Zuhairi alias Gus Mis, para ulama NU mengacu pada pemahaman empat Imam Mazhab, Syafii, Hanafi, Hanbali, Maliki dan pemahaman Ahlu Sunnah wal Jamaah yang mengacu pada pemikiran Asy'ari dan Maturudi, tanpa melupakan pengalaman tasawuf yang dikumandangkan oleh Imam al-Ghazali dan Imam Al-Juaini. Menjawab pertanyaan peserta, apakah Wahabi merupakan mazhab ekstrimis, Zuhairi menuturkan bahwa Wahabi adalah pemahaman jumud (stagnan) dan tidak menerima turats (warisan khazanah keilmuan, red) Islam. Ditambahkan, bahwa menurut riset internasional ada hubungan antara Wahabi dengan jaringan terorisme. "Sekarang Raja Saudi telah melakukan program perubahan dan bahkan telah meminta 300 Ulama Al-Azhar untuk dapat mengajarkan Islam Moderat di berbagai perguruan tinggi di Saudi untuk menetralisir pemahaman Wahabi," demikian Zuhairi. Khilafah Dijelaskan, setelah Kekaisaran Utsmaniah, Turki, jatuh (1923) , muncul pandangan sebagian umat Islam bahwa solusi utama untuk memersatukan umat muslim adalah dengan mendirikan negara Islam (Khilafah Islam). "Termasuk didalamnya adalah penerapan syariat Islam, qisas dan hukum pidana," papar Zuhairi. Kampanye penerapan syariat Islam dengan khilafah ini mendapat sambutan hangat di Arab Saudi, Pakistan, Afghanistan, Malaysia dan negara lainnya. "Namun Turki sendiri setelah runtuhnya Dinasti Utsmaniah melakukan pendekatan dengan mendirikan negara sekuler, yang menolak semua hukum Islam, khususnya di bidang politik," tegas Zuhairi.   Indonesia dalam hal ini sebagai representasi umat Islam terbesar di dunia mengambil jalan tengah antara Islam dan sekularisme, yang bermakna bahwa kebijakan dan keputusan politik tidak berdasarkan pada sistem pemerintahan Islam. "Namun yang diangkat adalah nilai-nilai moral Islam dengan tetap mempertahankan keragaman tradisi, budaya dan agama,” tandas Zuhairi, yang mendapat aplaus meriah. Era Gus Dur NU, lanjut Zuhairi, menolak segala macam ekstremisme religius, pada sisi lain NU mengakomodasi pemikiran toleran dan mengedepankan prinsip perdamaian dalam melakukan interaksi antar dan lintas agama. Pada era Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin PBNU, masyarakat sipil bekerja dalam rangka memperkuat demokrasi, yang merupakan sistem bernegara. Pada waktu itu Abdurrahman Wahid sangat banyak melakukan dialog dengan semua agama, suku dan masyarakat di Indonesia dan melakukan konsolidasi membangun semangat nasionalisme di masyarakat. "Gus Dur menegaskan bahwa tugas utama negara adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup warga dengan cara mengambil keputusan politik yang menguntungkan rakyat," papar Zuhairi. Pemerhati sosial, Syamsu Alam Darwis yang juga hadir dalam studium general, mengomentari bahwa jaringan diplomasi kemoderatan Islam antara Indonesia-Mesir perlu ditumbuhkembangkan. "Terutama dengan Al-Azhar dan masyarakat Mesir, karena masa depan Islam dan Muslim di era global saat ini dapat diukur dari sejauh mana peran kemoderatan Islam tersebut diaplikasikan," terang Syamsu. Secara terpisah, Sekretaris III Pensosbud Ali Andhika Wardana dan presiden Thebes Academy menyepakati untuk membina hubungan baik antara KBRI Kairo dengan Thebes Academy dalam bentuk kerjasama konkrit. "Seperti kerjasama terdekat yang akan dilaksanakan berupa kunjungan presiden Thebes Academy ke Indonesia yang menawarkan seminar tentang moralitas dunia Islam di beberapa Universitas di Indonesia," jelas Ali Andhika. Presiden Thebes Academy sendiri secara khusus mengapresiasi fasilitasi Fungsi Politik KBRI Kairo dan mengharapkan pertemuan ilmiah semacam ini lebih ditingkatkan pada masa-masa akan datang.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!