
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), M Nuh, didesak harus segera membuat peraturan yang mengatur soal standar mutu dan biaya rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI).
Wakil Ketua Komisi X DPR, Rully Chairul Azwar, mengingatkan upaya itu semata guna mengeliminasi tindakan semena-mena sekolah berstatus RSBI dalam menarik uang masuk dari orangtua murid.
“Sekolah berstatus RSBI bisa memungut dana setinggi-tingginya karena tak ada peraturan yang melarang hal itu. Jika membuat peraturan pemerintah (PP) dirasakan lama, kenapa tidak dalam bentuk permendiknas dulu,” tegas Rully, di Jakarta.
Dia mengakui, konsep sekolah berstatus RSBI sebenarnya sangat baik diterapkan untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia.
Namun, karena belum tersedianya payung hukum yang mengatur pelaksanaannya-terutama pada standar mutu dan standar biaya-membuat sekolah berstatus rintisan SBI mereka-reka sendiri konsep tersebut, termasuk soal biaya.
“Jika pemerintah tidak segera membuat aturan yang jelas, tak tertutup kemungkinan terjadinya korupsi di sekolah berstatus RSBI. Sebab, dana yang dipungut dari masyarakat mencapai miliaran rupiah. Ini sungguh tragis. Sekolah yang seharusnya bisa menjadi pembelajaran tentang moral justru menjadi sarang korupsi,” papar dia.
Karena itu, imbuh Rully, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) segera melakukan evaluasi lagi terhadap pelaksanaan sekolah berstatus RSBI.
Sebab, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 23 Tahun 2003 tidak ada ketentuan yang mengatur jumlah sekolah berstatus SBI di suatu wilayah.
“Beresin dulu sekolah standar nasional di seluruh Indonesia, baru mulai bikin RSBI. Buat apa banyak sekolah berstatus RSBI jika membuat ‘kasta’ dalam sistem pendidikan kita,” tegas politisi Partai Golkar ini.
Hal senada dikemukakan Ade Irawan dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Minimnya aturan pelaksanaan RSBI memunculkan celah korupsi di sekolah, tidak hanya terjadi di tingkat bawah (guru atau kepala sekolah), tetapi juga di tingkat lembaga Kemendiknas sendiri sebagai penyelenggara pendidikan nasional.
“Peluang korupsi di Kemendiknas bisa terjadi karena mereka mengelola dana tersebut dalam jumlah yang sangat besar. Kondisi itu juga tidak didukung oleh transparansi sistem kelola uang kepada publik. Pejabat Diknas sangat tertutup soal anggaran RSBI ini,” ucap Ade.
Terbukanya tindak korupsi kedua pada aliran dana di sekolah berstatus RSBI. Berdasar perhitungan ICW, masing-masing sekolah mendapatkan dana block grant sekitar Rp 1,5 miliar, termasuk dari dana APBD, saat proses peralihan status dari sekolah berstandar nasional menjadi RSBI.
Itu karena sekolah tak memiliki transparansi pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). “Seharusnya APBS ini melibatkan banyak pihak. Tetapi, pada kenyataannya, mulai dari menyusun, melaksanakan sampai mempertanggungjawabkan semua dilakukan kepala sekolah. Ada bukti pembelian, tapi tidak ada barangnya. Sekolah itu punya banyak stempel untuk memalsu itu,” tutur Ade.
Sementara Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi pelaksanaan sekolah berstatus RSBI terkait peraturan daerah yang memayungi pelaksanaan RSBI. “Meski koridornya sama, di tiap-tiap sekolah dapat lahir model yang berbeda-beda,” ucap Fasli.
Pada kesempatan itu Fasli menegaskan, pihaknya tidak menoleransi terjadinya penyimpangan dana pendidikan yang dilakukan oleh sekolah.n via/tri/bbs(http://dutamasyarakat.com)
0 komentar:
Posting Komentar