8.6.10

Bid'ah Yang Baik



Ada sebagian orang yang merasa mengikuti ulama as salafus sholih kemudian mengajak orang lain mengikutinya dalam kebodohan, fanatik buta, lemah pemikiran, pemahaman yang kurang, tidak lapang dada dalam menyikapi sesuatu. Mereka ini memerangi setiap hal baru, mengingkari penemuan baru yang bermanfaat dengan menyangka bahwa hal tersebut termasuk bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlolalah (sesat) tanpa membedakan macam-macam bid’ah. Padahal ruh (semangat) syari’ah Islamiyah menuntut kita untuk membedakan macam-macam bid’ah. Ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah dlolalah. Pembagian seperti inilah yang muncul dari pemikiran yang cemerlang dan pemahaman yang dalam.

Ini juga yang telah ditetapkan oleh ulama ahli ushul dari ulama salaf seperti al Imam al-Iz bin Abdis Salam, an-Nawawi, as-Suyuthi, dan al Mahalli.

Banyak hadits Nabi yang saling menafsirkan, saling menyempurnakan dan menuntut untuk dipahami dengan pemahaman yang menyeluruh dan menuntut untuk ditafsirkan dengan ruh (semangat) syari’ah dan pemahaman yang disepakati oleh para ulama.

Oleh karena itu kita menemukan banyak sekali hadist yang dalam menafsirkannya membutuhkan kecerdasan akal, kedalaman pemikiran, pemahaman yang menyeluruh dan kepekaan hati yang berlandaskan pada keindahan syariat, perhatian pada keadaan dan kebutuhan umat, kesesuaiannya dengan batas-batas qowa’idusy syar’iyyah, nash-nash Qur’ani dan nabawiyyah yang harus dipegangi.

Di antaranya adalah hadits ‘kullu bid’atin dlolalatun’ (setiap bid’ah adalah sesat). Hadits ini menuntut pemahaman bahwa yang dimaksud bid’ah di sini adalah bid’ah sayyi-ah yang tidak berdasarkan pada pokok-pokok syari’at.

Pembatasan kategori ini muncul dalam hadits lain seperti hadits ‘laa sholaata lijaaril masjid illa fil masjid’ (sholat orang yang dekat dengan masjid tidak sah kecuali di dalam masjid). Hadits ini sepertinya menafikan (menganggap tidak sah) sholat orang yang dekat dengan masjid dan sholat di rumahnya. Hanya saja, keumuman hadits ini mendatangkan taqyid (pembatasan) bahwa maksudnya adalah sholatnya tidak sempurna, meskipun masih ada khilaf dalam masalah ini.

Seperti hadits lain misalnya ‘laa sholaata bihadhrotith tho’aam’, (tidak ada/tidak sah sholat ketika makanan sudah siap di hadapan), maksudnya sholatnya kurang sempurna.

Seperti hadits lain ‘la yu’minu ahadukum hatta yuhibbu li akhiihi ma yuhibbu linafsihi’ (seseorang tidak dianggap beriman sampai dia menyayangi saudaranya seperti menyayangi dirinya sendiri). Ulama menafsirkan, maksud iman di sini adalah iman yang sempurna.

Seperti hadits lain ‘wallaahi laa yu’minu, wallahi laa yu’minu, wallaahi laa yu’minu’ qiila ‘man yaa Rasuulallah?’ qaala ‘man laa ya’man jaaruhu bawaaiqahu’ (“Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Ditanyakan oleh sahabat, “Siapa yaa Rasuulallah?” Dijawab oleh Rasulullah saw, “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.”

Seperti hadits ‘laa yadkhulul jannata qataatun” (Tukang fitnah tidak akan masuk sorga) dan hadits ‘wa laa yadkhulul jannata qaati’u rahmin wa ‘aaqin liwaalidaihi’ (orang yang memutus tali silaturahmi dan orang yang durhaka kepada orang tuanya tidak akan masuk sorga). Para ulama mengatakan bahwa mereka tidak masuk ke sorga dalam rombongan awal atau tidak masuk sorga ketika dia menganggap perbuatan itu dibolehkan.

Kesimpulannya: Para ulama tidak memperlakukan hadits menurut dhohirnya tetapi menakwilkannya dengan berbagai takwil.

Hadits bid’ah di atas juga termasuk dalam perkara ini. Keumuman hadits dan perilaku shahabat memberi pemahaman bahwa bahwa maksud dari bid’ah di sini adalah bid’ah sayyi-ah yang tidak memiliki dasar sama sekali.

Ada lagi hadits ‘man sanna sunnatan hasanatan kaana lahu ajruha wa ajru man ‘amila biha ilaa yaumil qiyaamah’ (Barang siapa melakukan satu hal baik kemudian orang lain menirunya maka dia mendapat pahala dari perbuatannya dan perbuatan orang lain yang menirunya). (pen: sanna sunnatan hasanatan identik dengan membuat bid’ah hasanah).

Dalam hadits juga dikatakan, “alaikum bisunnatii wa sunnatil khulafaa-ir raasyidiin” (hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafaa-ur raasyidiin).

‘Umar ra mengatakan dalam masalah tarawih: “ni’matul bid’ah haadzihi” (Ini adalah sebaik-baik bid’ah).

(terjemahan bebas dari tulisan as-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi al Maliki al Husaini dalam kitab “Mafaahim yajibu an Tushahhaha” dalam artikel berjudul “Baina ni’matil bid’ah wa bi’satil bid’ah”.)
oleh: Zukhruf Latif
Ilustrasi:rakyatmerdeka.co.id

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!