10.8.10

Islam dan Ke-INDONESIA-an


Oleh Marwan Ja'far
Jiwa kebangsaan dalam perspektif ahlussunnah wal-jama` ah selalu mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya, dan martabat manusia sebagai makhluk budaya.

Dalam perspektif kebangsaan semacam ini,lokalitas mendapatkan tempat terhormat yang dalam nasionalisme Eropa cenderung digeser atau bahkan disisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernitas. Proses akulturasi terhadap tradisi telah melahirkan Islam dengan wajah yang ramah terhadap nilai budaya setempat serta menghargai perbedaan agama, tradisi, dan kepercayaan sebagai warisan budaya Nusantara.

Dalam kaitan ini, dengan sendirinya Islam ahlussunnah wal-jama`ah memiliki wawasan multikultural. Para wali (Wali Songo/Wali Sembilan) telah mengajarkan sebuah tradisi keagamaan yang transformatif (tahawwuly wa taghyiry).
Proses dakwah yang dilakukan Wali Songo di Pulau Jawa dan para wali di seluruh Nusantara pada umumnya bukan sekadar mengajak masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tata sosial yang lebih adil, manusiawi,dan berakar pada tradisi masyarakat setempat.

Inilah tradisi keagamaan model ahlussunnah waljama` ah dengan kekuatan basisnya pada ulama dan pesantren. Ulama sebagai pilar keagamaan ahlussunnah wal-jama`ah memegang peran penting dalam menguatkan ikatan kolektivitas bangsa ini. "Man la syaikha lahu fasysyaithanu syaikhun lahu" (siapa yang tidak punya guru,maka setanlah yang akan jadi gurunya) adalah warisan yang pernah dikembangkan Wali Songo dalam mempersatukan masyarakat.

Gerakan-gerakan sosial yang pernah muncul di masa kolonial Belanda selalu menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan melawan kolonialisme dan eksploitasi penjajah. Selain menekankan penguasaan peralatan yang cukup untuk kebutuhan ritual ibadah,pesantren juga memiliki fungsi kemasyarakatan yang lebih luas.

Ia merupakan wadah transformasi kultural secara total. Kisah para kiai yang "babat hutan" mendirikan pesantren di daerah-daerah "hitam" di pinggiran kota adalah bukti nyata dari kecenderungan untuk menggunakan pendidikan di pesantren sebagai alat transformasi kultural yang berlangsung secara perlahan, tetapi menyeluruh.

Kemaslahatan Universal
Sikap kebangsaan model ahlussunnah wal-jama`ah bukan hanya dari segi toleransinya dalam beragama, tapi juga kontribusinya pada pembentukan identitas kebangsaan kita setelah merdeka dari kolonialisme Belanda. Kemampuan Islam ahlussunnah wal-jama`ah melakukan praksis, dalam arti memadukan ajaran Islam tekstual dengan konteks lokalitas dalam kebijakan hidup beragama, melahirkan wawasan dan orientasi politik substantif.

Cara Islam ahlussunnah wal-jama`ah membawa ajaran Islam tidak melalui jalan formalistis, lebih-lebih dengan cara membenturkannya dengan realitas secara frontal, tetapi dengan cara lentur. Dalam soal imamah, Islam ahlussunnah wal-jama`ah lebih melihat kriteria atau persyaratan yang dipenuhi oleh seorang imam atau khalifah daripada berdirinya suatu negara (daulah).

Selama prinsip al- 'adalah (keadilan), asy-syura (musyawarah), al-musawah(persamaan derajat), dan pemeliharaan lima prinsip universal manusia (ushul alkhams) dipenuhi pada diri seorang pemimpin, maka kalangan ahlussunnah wal-jama`ah akan menerima kepemimpinan tersebut.

Berdirinya suatu negara sesungguhnya dimaksudkan untuk mengayomi dan melayani kehidupan umat serta menjaga kemaslahatan bersama (mashlahah musytarakah). Ahlussunnah wal-jama`ah tidak memiliki patokan yang baku tentang negara, tetapi hanya memberikan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi,negara tersebut sebagai pemerintahan yang sah.

Politik Puritan
Dewasa ini, kita dihadapkan pada fakta munculnya kelompokkelompok puritan yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Puritan di sini merujuk pada paham yang berupaya membersihkan ajaran Islam dari segala adat dan budaya dengan slogan kembali ke Alquran dan As-Sunnah.

Lalu, lahirlah model indoktrinasi dengan ajaran tentang ghazwul fikri––yang di dalamnya negara-negara Barat dan agama-agama bukan Islam dengan segala budaya,pemikiran,dan ajarannya dipandang sebagai "musuh". Muncul pula istilah jahiliyyah (yang memandang budaya dan tradisi lokal tidak mencerminkan Islam) serta syahadat di mana ajaran tauhidhanya ditekankan pada pendalaman rabbaniyyah dan uluhiyyah secara harfiah.

Islam puritan ini berbeda dengan Islam model ahlussunnah wal-jama`ah yang sangat akomodatif terhadap budaya dan tradisi lokal serta mendalami nilainilai sufistik. Islam ahlussunnah wal-jama`ah ini sesungguhnya sebagai representasi Islam Indonesia. Puritanisme Islam pada tingkat tertentu dan dengan wajah berbeda kerap mulai membuat gundah sejumlah kalangan Islam.

Banyak pendapat menyebut ini merupakan "ancaman" yang tidak kasatmata karena medan tempurnya adalah pemikiran dan epistemologi.Tarikan kutub pemikiran tersebut sedikit banyak menggoyahkan "Islam jalan tengah". Sekali lagi, model "Islam jalan tengah" inimeyakiniumat Islam sebagai bagian dari keindonesiaan, tapi juga tak lantas melepas tradisi keagamaannya. Mempertahankan identitas keislaman ibarat baju akan terlalu sempit jika hendak membicarakan kemenangan sebuah politik Islam dalam rumah keindonesiaan yang tumpah darahnya berwarna kebhinekaandan pluralistis.

Kembali ke Jalan Tengah
Selalu bisa beradaptasi dalam segala situasi dan kondisi, itulah salah satu watak ahlussunnah waljama'ah.Posisi tawassuth atau moderasi ini tentu bukanlah harga mati.Jalan tengah ini bisa diibaratkan dengan titik tengah biji kelereng yang bulat.Makin besar bulatannya, garis tengahnya pun kian besar pula.

Demikian pula makin berkembang konsep moderasi tersebut, makin berkembang pula daya jangkau dan potensinya mengikuti perkembangan zaman. Ini seperti dibuktikan dari elaborasi pemikiran yang digariskan oleh para pencetusnya.Kerja keras Imam al-Asy'ari mengelaborasi kembali ahlussunnah wal-jama`ah pascapemerintahan Al-Mutawakkil yang puluhan tahun mengikuti Mu'tazilah merupakan langkah cemerlang untuk kepentingan menyelamatkan umat Islam dari krisis saat itu.

Kemudian, muncul Imam al-Baqillani dan Imam al-Juwaini. Sebagai murid Al-Asy'ari, mereka meneruskan ajaran Sunni yang lebih condong kepada Mu'tazilah yang rasional, tetapi tetap dalam kerangka ahlussunnah wal-jama'ah sebagai motor penggeraknya. Begitu pula Imam al-Ghazali yang menolak filsafat dan membuat titik temu berbagai aliran dan mazhab dalam bentuk tasawuf.

Ajaran ahlussunnah wal-jama`ah tidaklah pernah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, tidak elitis, dan tidak mengenal status-quo. Ia bisa berkembang dengan fleksibel berkat potensi nahdlahyang dimilikinya.

Rangkaian historis-empiris fleksibilitas epistemologi dan metodologi yang sesuai dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu, mulai dari Rasulullah sampai manhaj at-taghayyur al-ijtima'i yang terbingkai dalam landasan proporsional (at-tawazun), keadilan (atta'adul), dan toleran (at-tasamuh), merupakan pemaknaan ahlussunnah wal-jama`ah sebagai metode berpikir dan bertindak yang digariskan oleh para sahabat Nabi dan tabi'in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Dari sinilah lahir pemikiran dan tindakan keislaman dalam berbagai bidang, termasuk politik yang tetap berada dalam satu roh, yaitu senantiasa berada di jalan tengah, dan itulah ahlussunnah wal-jama`ah.(*)

Marwan Ja'far, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI.
Naskah ini pernah dipublikasikan harian Seputar Indonesia edisi 24 Juli 2010.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!