20.11.10
Kritik kepada Konsep Khilafah
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Sabtu, November 20, 2010
Oleh: Abdul Mun’im Kholil . ditulis ulang Oleh Abid Ali Ismaiel El-Adawy seorang santri di Al-Azhar. Mesir
Prolog
Dalam kosmos ini tak ada yang abadi selain perubahan, seorang Muslim harus mengimani hal itu. Proses atau perubahan adalah sunnatullah (hukum alam). Setiap manusia mengalami apa yang disebut proses, tak hanya fisik tapi pikiran dan semua dayanya berproses. Sejarah dan peradaban juga mengalaminya. Mula-mula, ia seperti bayi, anak kecil, tumbuh remaja, menginjak dewasa dan menua.
Setiap fase dari ‘proses’ menuntut agar diberi sikap yang tak sama, karena memang situasinya berbeda. Penyeragamaan sikap hanya akan menghantar pada kebinasaan. Bolehlah nilai-nilai universal diabadikan sebagai sebuah identitas. Meski ia harus tetap berdialektika dengan perubahan, berdialog bahkan bernegosiasi dengan kemungkinan-kemungkinan.
Saya tak yakin, apakah ada tipologi manusia yang sanggup bertahan dengan satu menu dalam kesehariannya. Secara psikis, manusia memang selalu merindukan proses dan perubahan. Dalam tataran yang lebih ekstrim, perubahan akan terus ‘menghantui’ manusia baik ia suka maupun terpaksa.
Dunia klasik jelas tak sama dengan modern, sebagaimana dunia modern berbeda dengan pos-modern atau kontemporer. Manusia, yang oleh sarjana klasik kerap dideskripsikan sebagai objek telah mengalami pergeseran paradigma; sarjana modern tak mau lagi dijadikan objek. Sudah waktunya manusia modern mengambil sikap berbeda dengan menjadi subjek. Sehingga apa yang di masa lampau dipahami sebagai sesuatu yang terberi, pada era modern mulai ditanya “bagaimana”.
Manusia modern bersifat aktif dan kritis (tidak tenang dan lamban), mencari perubahan (tidak sekedar pemahaman), senang dengan rasa skeptis dan penasaran (bukan kepastian), tertarik dengan kejelasan dan kausalitas (bukan ketidakjelasan dan hal yang menyenangkan), mengejar hak-hak (bukan hanya kewajiban), penyokong seni yang kreatif (bukan imitatif), pencipta (bukan pencemooh) kehidupan, pengelola (bukan cuma pemakai) dunia.
Sikap, sebagai sebuah respon terhadap perubahan bisa berupa mekanisme dan sistem yang sesuai dengan konteksnya. Apa yang dulu dipahami sebagai sistem Tuhan yang angkuh telah mengalami transformasi nilai. Manusia modern mulai berpikir kritis dengan bertanya “apakah sistem Tuhan akan selamanya melangit dan anti-penafsiran”. Sementara risalah ilahi yang turun ke bumi tak bisa dimengerti tanpa mengalami dialektika dengan dimensi kemanusiaan. Sistem Tuhan akan ‘impoten’ bila manusia tak sanggup menginterpretasi secara jernih. Interpretasi akan dinamis ketika manusia tetap kukuh pada dimensinya, dengan tetap berupaya agar risalah mendapat tempat dalam dunia modern. Tentu tanpa memakai “nama Tuhan” sebagai legalitas interpretasi yang dianggap final dan anti perubahan.
Identitas Muslim Modern
Jauh sebelum tahun 50-an, ketika orang Mesir ditanya asal-usulnya, mereka akan menjawab “ana Muslim Mashry” (saya Muslim dari Mesir). Namun kini berbeda, cobalah anda bertanya tentang asal-usul mereka. Jawabannya pasti berbeda “ana Mashry” (saya orang Mesir).
Sebenarnya, ini bukan sebuah obrolan sederhana namun memiliki banyak makna. Seperti yang saya sebut di atas bahwa perubahan adalah kemestian. Dari obrolan itu nampak jelas bagaimana perubahan nilai tak sanggup dihindari oleh masyarakat yang sangat agamis sekalipun. Jawaban orang Mesir sebelum tahun 50-an memberi informasi bahwa agama memiliki posisi istimewa dalam komunitas masyarakat Mesir. Namun pasca 50-an ketika teriakan nasionalisme semakin menggema maka secara perlahan agama disubordinatkan. Identitas agama hanya perlu disebut jika ada pertanyaan selanjutnya. Agama memiliki ruangnya sendiri, sehingga tak perlu diumbar sana-sini. Fenomena semacam ini tak bisa disimpulkan sebagai “pengkebirian agama” atau “anti-agama” seperti dipahami kalangan fundamentalis.
Masyarakat dunia saat ini sudah tak bisa lagi dibatasi ruang geraknya hanya gara-gara status agama. Sehingga agama bukan alasan untuk menerima perlakuan istimewa atau diskriminatif dari pihak lain. Masyarakat dunia menyadari untuk menjalin hubungan harmonis dengan siapapun tanpa melihat status agamanya. Agama bukan alasan untuk bersikap ekslusif apalagi anti perubahan. Masyarakat modern seakan hidup dalam satu “kotak pandora” sehingga kebersamaan lebih mereka rasakan dari kesendirian, alienasi apalagi ketertindasan.
Adanya jaringan ekonomi internasional, perusahaan-perusahaan multi-nasional, media yang 'bejibun' dan internet, tak memungkinkan suatu negara mengisolasi diri. Kalau di Amerika terdapat 5 juta Muslim dan di Eropa 10pt juta Muslim, apakah masih pantas kita sebut "dunia Islam" sebagai lawan "Barat"? tak ada alasan bagi seorang Muslim untuk menganggap dirinya lebih berhak dari pengikut agama lain, apalagi sampai merasa hak-haknya ditindas. Sebab kita hidup bersama dalam satu kosmos, bumi.
Kita sepakat kalau masyarakat Muslim pasca kolonial memang masih sibuk mencari identitas, memupuk kemandirian dan menentukan sikap. Namun di era kontemporer, identitas itu tak perlu lagi dicari. Karena era ini merubah segalanya, setiap unsur masyarakat dunia dituntut agar bisa saling merangkul untuk mewujudkan kedamaian dan peradaban manusia yang utuh. Pencarian identitas yang terlalu dipaksakan hanya membuat umat Islam tertinggal dari gerak peradaban dunia yang semakin dinamis. Inklinasi berlebih pada identitas hanya akan melahirkan sikap angkuh dan egoisme berlebih pula. Komunitas semacam itu akan menjadi “benalu” bagi laju peradaban. Belum lagi perasaan inferior yang kerap menghantui umat Islam, yang akan menghantar mereka pada sikap skeptis-pesimis terhadap bangsa lain. Ini jelas akan sangat membahayakan keseimbangan peradaban yang dibangun.
Muslim modernis adalah pribadi yang sanggup menyerap nilai-nilai positif dari modernitas dan membuang sisi negatifnya. Selama ini masyarakat Muslim telah berhasil membuktikannya. Islam sebagai agama terbesar kedua dunia bisa diterima di belahan dunia manapun. Islam akan sanggup bersanding mesra dengan modernitas selama ajarannya ditafsirkan sesuai konteks dan realitas.
Pada pemaparan selanjutnya, penulis akan mencoba mengolaborasi konsep dan sistem yang dirasa oleh beberapa kalangan fundamentalis ekstrim Islam sebagai sistem paling ideal, sistem khilafah. Khilafah disinyalir sebagai satu-satunya sistem yang melampaui jaman dan tempat, bahkan untuk dipraktekkan pada era kontemporer ini. Dalam makalah ini, saya akan berusaha seobjektif mungkin untuk menghadirkan fakta sejarah, konsep dan praktek sistem khilafah. Apakah benar sistem ini sanggup bergandengan dengan modernitas, sebagai sebuah nilai yang dikukuhi masyarakat dunia masa kini.
Konsep Khilafah; Kajian Historis-Geneologis
Awalnya, saya berpikir untuk ‘menapak tilasi’ konsep khilafah dari buku primer al-Nabhani (1914-1977 M), pendiri Hizbut Tahrir (HT), sebagai ormas pengusung khilafah abad ini. Tapi kemudian saya mengurungkan niat dengan pertimbangan bahwa HT masih dalam tataran konsep dan belum praktek. Selain itu, ada banyak konsep yang ditawarkan HT yang saya anggap “primitif” dan tak mungkin bisa berjalan beriring dengan nilai-nilai modernitas. Belum lagi, bentuk-bentuk penafsiran yang dipaksakan, didistorsi dan di#cc9900uksi; menggenaralisir penafsiran seakan hanya memiliki satu wajah. Fenomena ini hanya semakin menegaskan satu alasan: ide organisasi ini sulit diterima oleh masyarakat Muslim modern karena tak realistis dan beberapa sudut pandang yang menyalahi jumhur.
Saya kemudian tahu bahwa rujukan paling otoritatif untuk mengenal nalar politik Islam terutama konsep khilafah adalah buku al-Ahkâm al-Sulthâniyah karya al-Mawardi, yang ditulis pada 450 H. Buku ini telah diterjemah ke dalam berbagai bahasa dunia, termasuk Jerman dan Perancis. Pada pertengahan abad 19 buku ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan sarjana Eropa. Karl Brockelmann berkomentar sinis “Buku itu hanya paparan teoritis belaka dalam ruang sempit al-Mawardi”. Namun Hamilton Gibb menyambutnya dengan antusias sebagai buku yang paling representatif di bidangnya.
Nalar politik Islam sebenarnya bisa diidentifikasi melalui beberapa buku sejarah, semisal Târikh Thabary. Di sana di sebutkan beberapa ayat atau hadist yang dipahami oleh umat Islam awal sebagai pemantik naluri politik, contohnya QS: Annur, ayat 55 “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merobah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. Ayat tersebut dan yang sejenis kemudian diinterpretasi oleh al-Thabary (310ptH/922 M) sebagai janji Allah Swt. bagi kaum beriman tentang tanah taklukan Islam, dan kaum Muslimin akan menjadi penguasa di sana.
Selain itu, ada beberapa ungkapan yang dinisbatkan ke sahabat nabi Saw. maupun tabi’in. semisal ungkapan Umar bin Khattab “Keluarlah menuju bumi-bumi Allah yang dijanjikan. Allah akan memenangkan agamaNya, memulyakan penolong agamaNya”. Atau orasi Amir bin Syarahbil di depan Rustum sebelum perang Qâdisiyah “Allah sudah mewariskan tanah, harta dan anak-anak kalian buat kami”. Terma khilafah sendiri disebut dalam Qur’an sekitar 14 kali dengan bentuk berbeda.
Dari paradigma umum yang berkembang masa itu, kemudian mereka membangun nalar politik bahwa bangsa Arab akan menjadi pengganti risalah kenabian setelah sebelumnya didominasi bangsa Israel. Mereka mendeklarasikan diri sebagai pencerah bagi bangsa-bangsa sekitar, Persia dan Romawi. Khalifah, dalam arti sederhana dipahami sebagai pengganti estafet dakwah Nabi Saw. Maka siapapun yang diputuskan mengganti posisi (diplomatik) Nabi Saw. ia disebut “khalifah rasulillah”.
Meski dalam perkembangannya, terma khalifah mengalami pe#cc9900uksian makna semenjak kaum khawârij mengeluarkan diktum “La Hukma Illa Lillah” (tak ada yang berhak menghukumi selain Allah) yang ternyata banyak mempengaruhi frame berpikir penguasa untuk mendapat semacam legalitas. Para penguasa yang mendaku khalifah, sepeti Mu’awiyah (w 78 H/680 M), tanpa ragu mendeklarasikan diri sebagai “khalifah Allah” (wakil Tuhan, bukan lagi wakil Rasul) demi menyingkirkan lawan politiknya. Simak penegasan Mu’awiyah berikut “Ini bumi Allah… saya adalah khalifah (wakil) Allah, apa yang aku ambil alih maka menjadi milikku dan apa yang aku biarkan maka hak kalian”. Ungkapan serupa pernah keluar dari mulut Abu Jakfar al-Manshur (w 775 M), penguasa dinasti Abbasiah ke II, “Wahai sekalian manusia, kami adalah pemimpin kalian. Kami menjadikan hukum Allah sebagai peraturan, maka kami adalah wakil-wakil Allah di muka bumi”.
Awal kemunculan nalar politik Islam tak bisa disebut sebagai nalar politik ideologis yang bertendensi agama. Pasalnya, meski kita sadari bahwa Rasul Saw. melakukan sejumlah langkah-langkah politis dan diplomatik tapi hal itu bukan sekedar politisasi agama. Ia semata upaya duniawi untuk terciptanya stabilitas kota Madinah. Lihat misalnya rekonsiliasi antara Muhajirin (warga Muslim pendatang), Anshâr (warga pribumi) dan Yahudi di Madinah:”Ini perjanjian antara kaum muslimin Qureisy dan semua warga Yatsrib (Madinah)… mereka semua satu bangsa saling tolong menolong merapatkan barisan. Dan Yahudi Bani ‘Auf satu bangsa dengan kaum muslimin, masing-masing mengukuhi agamanya….” Dalam teks ini secara tegas mengumumkan sebuah konvensi yang disepakati atas dasar politik bukan agama. Karena di dalamnya Yahudi Madinah juga terlibat. Kalau konvensi tersebut dipahami sebagai politik agama yang diajarkan oleh Rasul, maka semestinya bangsa Yahudi tak boleh masuk dalam satu negara bangsa dengan kaum muslimin karena mereka tak meyakini Muhammad Saw. sebagai Rasulullah.
Perjanjian ini kemudian dikenal dengan “piagam Madinah” yang diantaranya bertujuan: mengakomodasi seluruh elemen masyarakat yang majemuk dengan tetap memberi kebebasan setiap pemeluk agama melakukan ritual dan adatnya, membentuk peraturan yang dipatuhi bersama, mewujudkan perdamaian antar sesama, membangun kerja sama yang baik dan saling menguntungkan dalam ekonomi maupun keamanan. Di sini ketaatan pada hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga Madinah. Namun sekali lagi, ini bukan ketaatan ideologis tapi semata-mata kontrak politik. Orang banyak mengira bahwa piagam Madinah merupakan titik tolak berdirinya negara Islam, yang dalam kaca mata agama wajib dilanjutkan oleh pemeluknya. Asumsi semacam itu tidak tepat. Bahwa kemudian Rasulullah bertindak layaknya pemimpin negara modern memang benar tapi itu tak berarti beliau pemimpin negara Islam.
Di sini, penulis tak menafikan bila sebuah komunitas masyarakat yang madani tetap butuh pada pemimpin yang ditopang oleh sistem tertentu, namun Islam sebagai agama tak butuh untuk dilembagakan. Islam bisa tumbuh dan berkembang dengan dan tanpa adanya negara. Karena Islam memang agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka ia mudah diterima di mana dan kapanpun. Contoh paling kongkret Indonesia. Islam masuk ke Nusanatara tanpa adanya lembaga apalagi negara, ia diperkenalkan oleh beberapa pedagang dan saudagar yang menyeberangi selat Malaka melalui jalur Sutera.
I
Sejatinya perdebatan mengenai khilafah atau imamah sudah mulai menghiasi lembar sejarah Islam sejak wafatnya Rasul. Pemakaman nabi sempat ditunda sampai dua hari karena polemik ini. Pembesar sahabat berkumpul di Saqîfah bani Sa’idah untuk merapatkan siapa yang akan mengganti kepemimpinan Rasul selanjutnya.
Dari sini, intelektual Muslim awal abad 20, kemudian mulai memperdebatkan tentang relasi antara kenabian dan negara, relasi agama dan negara. Mereka mulai mempertanyakan apakah nabi Saw. sempat mendirikan sebuah negara atau sekedar berpolitik layaknya masyarakat madani? Di masa lalu, sekte Syiah secara tegas mengatakan bahwa imamah merupakan rukun iman. Sementara khawârij menolak adanya pemimpin dalam Islam karena yang berhak seutuhnya hanya Allah. Barangkali jawaban Sayyidina Ali Ra. ketika mendengar diktum “La Hukma Illa Lillah” bisa menjadi pencerah bagi polemik yang tak berkesudahan ini “pemegang otoritas hukum memang Allah, namun komunitas masyarakat selalu membutuhkan pemimpin—terkadang adil terkadang lalim— untuk menghindari pertikaian, menyatukan pendapat, membagi devisa, menjaga stabilitas keamanan dst…” .
Bila anda amati statemen di atas, maka tampak bahwa imamah atau khilafah adalah kebutuhan manusiawi untuk menyelesaikan urusan duniawi masyarakat. Dari sana, tertangkap jelas peran seorang pemimpin di tengah masyarakatnya. Namun sekali lagi, sayyidina Ali Ra. tetap menyadari sistem kepemimpinan (apapun bentuknya) sebagai konsekuensi masyarakat madani bukan tuntutan agama. Seperti itulah iklim politik Islam primordial, mereka sadar seutuhnya bahwa Islam tak harus dilembagakan layaknya Zoroaster yang dijadikan agama resmi negara dinasti Sasaniyah-Iran ketika berkuasa. Karena faktanya, agama yang dilembagakan semacam itu tak akan berumur panjang; saat dinasti itu runtuh maka agama resmi akan segera ikut memudar.
II
Ketika ditanya apakah Rasul Saw. mewariskan sistem atau format tertentu tentang khilafah? Hampir semua pengkaji sepakat bahwa Rasul menyerahkan sepenuhnya pada Sahabat. Sepertinya Rasul ingin mengajarkan umatnya untuk menumbuhkan semangat berijtihad secara inovatif tentang hal-hal yang bersifat duniawi. Dari mulai Abu Bakar sampai Ali radiyallahu anhum tak ada satu konsep baku mengenai sistem khilafah yang dibangun. Bahkan seandainya peristiwa di Saqîfah Bani Saidah dianggap sebagai sistem pemilihan pemimpin yang terbaik, niscaya Abu Bakar sendiri akan meniru sistem tersebut. Nyatanya, Abu Bakar lebih memilih untuk membaiat Umar secara langsung –kemudian diikuti Sahabat lainnya—sebelum beliau wafat. Begitupula ketika Umar terluka akibat penusukan Ibnu Muljam, beliau lebih memilih 6 orang pembesar sahabat untuk menjadi kandidat khalifah setelahnya, dan begitu seterusnya.
Tak ada konsep baku dalam pemilihan khalifah. Ia terus mengalami perubahan dari satu sistem ke sistem lainnya. Sebagai bentuk ketegasan bahwa konsep khilafah adalah urusan furu’-ijtihadi, yang suatu saat akan [pasti] mengalami perubahan. Bagi penikmat sejarah, akan tahu bahwa konsep khilafah hanya satu dari sekian sistem yang pernah dipraktekkan dalam peradaban manusia. Tentunya ia bukan sistem Tuhan seperti diwacanakan kalangan konservatif Islam. Sistem khilafah sama dengan sistem lainnya: kesepakatan manusia yang kemudian membentuk konsep, yang barangkali ideal pada masa tertentu. Khilafah, atau apapun namanya, merupakan salah satu temuan yang mencoba mewujudkan kemaslahatan dan keadilan di dunia.
III
Saya sepakat dengan beberapa pengkaji bahwa khilafah telah menyerap nilai-nilai (syariat) Islam untuk diadopsi menjadi sistem. Meski nilai-nilai Islami tadi terus dikontekstualisasikan agar bisa senyawa dengan jaman. Lantas apakah agama selalu diuntungkan dalam hal ini? Mari kita telisik kebenarannya: al-Mawardi dalam karya kanoniknya memberi definisi khilafah sebagai kelanjutan tugas nubuwah untuk melestarikan agama dan mengurusi segala urusan duniawi. Sepertinya al-Mâwardi banyak terpengaruh oleh anomali Ustman Ra. yang pernah berucap “terkadang Allah menjadikan pedang lebih ampuh dari Qur’an”. Bahkan tak berlebihan kalau di sana ada korelasi tak terbaca antara definisi di atas dengan ungkapan Aradsyir bin Babik (228-241 M), pendiri dinasti Sasaniyah, yang diterjemah ke dalam bahasa Arab pada akhir runtuhnya Umawiyah “agama dan negara (kerajaan) ibarat saudara kembar yang tak bisa dipisahkan, agama ibarat rumah dan negara penjaganya”.
Untuk mengidentifikasi kapan terjadinya infiltrasi politik ke dalam agama, anda bisa membaca sejarah terkait peristiwa arbitrasi di perang Shiffîn. Diangkatnya Qur’an di atas pedang menjadi titik awal penyusupan politik negara ke dalam agama.
Sementara infiltrasi politik ke dalam kultur keagamaan rakyat secara umum, bisa anda lihat bagaimana setiap kelompok masyarakat mencari legitimasi, justifikasi dan legalitas pada Qur’an maupun hadist untuk merealisasikan hasrat politiknya, tanpa perduli apakah harus memakan korban.
Sebelumnya saya sudah menyinggung bahwa Islam tak butuh dilembagakan, karena memang negara tak selalu menguntungkan bagi agama, bahkan yang terjadi sebaliknya; agama sering dijadikan bamper untuk memuluskan ambisi pribadi maupun kelompok dan golongannya. Dinasti Umawiyah (662-750 M) berdiri dengan mengatasnamakan “kehendak Tuhan”. Abbasiyah (750-1258 M) yang berhasil merebutnya kemudian berdalih sebagai kerabat terdekat nabi Saw. tentu mereka akan bisa mengemban amanat lebih dari yang lainnya. Sementara Saljukiyah dan Ustmaniyah yang kemudian menguat mengatakan mereka lebih berhak ditahbiskan sebagai khilafah resmi karena berjasa mengamankan negara-negara bagian Islam dari tentara Salibis dan Tar-tar.
Jadi jelas, bahwa fakta sejarah mengatakan agamalah yang sebenarnya melestarikan khilafah, bukan sebaliknya. Di mana setiap khalifah dan pemimpin negara, masing-masing mencari justifikasi dari agama agar dianggap sebagai pemerintahan yang legal. Akibatnya, kaum muslimin terpecah belah, ada yang mengambil sikap pro-pemerintah, ada pula yang bersikap oposisi. Syiah dan khawarij yang pada awal kemunculannya dibangun atas kepentingan politik, akhirnya mereka berubah haluan sebagai madzhab keagamanaan: sebagai reaksi atas kebijakan penguasa yang mentahbiskan madzhab tertentu sebagai madzhab resmi negara.
Saat itulah konflik internal kaum muslimin tak terhindarkan. Maka tak heran kalau Imam al-Asy’ari (324 H) dalam Maqâlât al-Islamiyyin menyimpulkan “Pedang tak akan terhunus dalam sejarah umat ini kecuali disebabkan imamah (politik kepemimpinan), baik secara langsung maupun tak langsung.” Selain korban jiwa yang tak terhitung, politisasi agama telah mencederai kesakralan agama itu sendiri. Berapa banyak ayat-ayat Qur’an yang diinterpretasi secara serampangan, atau hadist-hadist maudlu’ yang diciptakan demi kekuasaan.
Praktek Syariat; Definisi dan Upaya Domestifikasi
Dalam pemaparan selanjutnya, penulis ingin menghadirkan fakta bahwa tak semua kebijakan khulafa rasyidûn (Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali) sekalipun bisa ditafsirkan sebagai manifestasi Tuhan, yang selalu benar. Bahkan bisa diambil konklusi bahwa ada beberapa kebijakan khulafa rasyidûn yang tak ada relasi (benar-salah) dengan agama, karena semata kebijakan politik. Hal ini saya anggap perlu dihadirkan untuk mempertegas bahwa sistem khilafah ada dalam lingkup furu’-ijtihadi dan tak semuanya bisa diperaktekkan dalam dunia modern, termasuk piagam Madinah yang diestimasi kelompok konservatif sebagai konvensi paling ideal. Untuk masa itu, saya berani katakan bahwa piagam Madinah adalah kebijakan jenius dan paling ideal. Bahkan jika pembaca mau memperhatikannya secara jernih, akan tampak bahwa sebenarnya Pancasila sendiri banyak terinspirasi oleh piagam Madinah. Terutama terkait akomodasi Pencasila terhadap semua aspirasi rakyat, dan kebebasan beragama.
Banyak kalangan mengira bahwa keputusan Abu Bakar memerangi kaum murtaddin (dianggap keluar dari agama Islam karena tak mau bayar zakat) sebagai keputusan keagamaan. Padahal sesungguhnya itu adalah kebijakan politik an sich. Abu Bakar mempertimbangkan gejala tersebut sebagai ‘percikan api’ perpecahan yang akan mengancam kesatuan negara pasca wafatnya Rasul Saw. Sebelum api tersebut membesar, beliau harus segera mengambil tindakan. Memahami kebijakan harburriddah (perang terhadap kaum yang dianggap murtad) sebagai konsekuensi logis agamis tidaklah tepat, sebab Umar Ra. sendiri sempat protes “Bagaimana bisa anda mau memerangi orang yang masih menghadap kiblat (shalat)?”
Alasan lainnya, karena memang zakat termasuk salah satu devisa terbesar negara waktu itu, selain harta rampasan. Kebijakan Abu Bakar kemudian dilanjutkan oleh Umar setelahnya. Namun di masa Ustman, zakat tak lagi diurus oleh negara tapi diserahkan sepenuhnya pada individu kaum muslimin tanpa intervensi negara sedikitpun. Di sini, penamaan harburriddah bisa dipahami sebagai “tendensi politik”, karena murtad dan tidaknya seseorang memang tak ada yang tahu selain Allah Swt. Bisa jadi keputusan Bani Tamîm yang tak mau bayar zakat pada negera dilatar belakangi kepentingan politik karena pemimpin kaum muslimin terpilih berasal dari Qureisy, Abu bakar. Yang terpenting dari kasus ini, bahwa Abu Bakar mengajarkan kita bagaimana seorang pemimpin harus mengerahkan semua kemampuannya untuk berijtihad terkait maslahat umat.
Khalifah kedua, Umar bin Khattâb, juga demikian. Khalifah yang terkenal pemberani ini selalu mencoba melakukan terobosan dan fragmentasi ijtihad untuk kemaslahatan umat. Bahkan Umar dalam banyak kasus sering melabrak teks-teks qath’i (hukum pasti), semisal kebijakannya untuk tidak memotong tangan pencuri tatkala masa paceklik, atau kebijakan Umar yang tak mau memberi jatah orang-orang muallaf karena keislaman mereka yang masih opurtunistik. Belum lagi, jasa Umar dalam birokrasi dan kemiliteran. Di balik sosoknya yang garang, khalifah Umar termasuk ‘alim yang tak terkungkung oleh teks-teks keagamaan, ia juga tak segan-segan mengadopsi sistem pemerintahannya dari peradaban lain, atas dasar nabi Saw. pernah melakukannya saat penggalian khandak (parit) waktu perang Ahzâb.
I
Saya tak mau bertanya apakah kita akan memperaktekkan syariat atau tidak? Karena di sana tak ada pilihan bagi seorang Muslim. Yang perlu saya tanyakan: apakah hanya dengan praktek syariat semua problematika umat akan selesai? Apakah syariat itu “wajah” Islam seutuhnya? Apakah syariat itu asl (sumber/pijakan) Islam? Setidaknya jawaban Seikh Mahmud Syaltut berikut bisa dijadikan pertimbangan: “Akidah adalah pijakan Islam yang akan dibangun di atasnya syariat. Syariat mengikuti akidah. Tak ada syariat tanpa akidah. Akan pincang, membangun syariat tanpa akidah.”
Bagi yang membaca sejarah nabi Saw. akan nampak bagaimana seorang Muhammad Saw. selama 13 tahun berjuang untuk menumbuhkan iman kaum muslimin di Mekah. Sebelum kemudian mengajarkan praktek syariat agama di Madinah. Kenapa kita terlalu silau dengan adagium “praktek syariat” seperti diteriakkan kalangan fundamentalis Islam, sementara syariat yang mereka teriakkan bersifat parsial. Seharusnya mereka lebih mendahulukan pemupukan akidah yang kokoh. Apalagi, yang sering mereka teriakkan tentang syariat hanya hukum negatifnya saja. Sementara hukum positif seperti hak dan kewajiban Muslim terhadap Allah, Rasul, saudara sesama Muslim atau non-Muslim atas dasar sesama makhluk Allah terlupakan. Hukum positif lebih penting untuk disuarakan sehingga tercipta tatanan masyarakat yang sesuai dengan cita-cita Qur’an.
Bagi kalangan fundamentalis Islam, syariat hanya terejawantahkan dalam hukum negatifnya saja. Sehingga orang seperti Sayid Qutub misalnya, menganggap kafir pemerintah yang tak memperaktekkan hukum negatif, bahkan wajib diperangi. Sebenarnya kasus Sayid Qutub dan yang sejenis, menjadi tugas kalangan fuqahâ sebagai pemegang otoritas syariat agar bisa mendialogkan hukum-hukum fiqh, yang selama ini dianggap sebagai manifestasi syariat Allah, dengan perkembangan dan realitas jaman.
Hukum negatif tak boleh dihadirkan secara ‘telanjang’, namun perlu dihadirkan kajian kesejarahannya (Tarîkh Tasyrî’) sehingga ia bisa terus dikontekstualkan. Para pakar fiqh perlu melakukan domestifikasi terhadap setiap hukum syariat. Karena tak semua teks-teks syariat bisa diperaktekkan begitu saja tanpa penalaran ijtihadi mendalam. Upaya semacam ini pernah dilakukan oleh Ibnu Hazm dengan mengatakan “potong tangan boleh dilaksanakan ketika warga sudah merasa cukup sandang dan pangannya; dalam arti memiliki rumah sendiri, makan dan minum tersedia, memiliki kendaraan untuk kebutuhannya.” Pendek kata, sejahterakan rakyat terlebih dahulu, barulah anda boleh bicara hukum negatif. Domestifikasi syariat tak akan terwujud tanpa penguasaan yang memadahi terhadap semua disiplin ilmu syariat. Islam bukan agama “hukuman” bagi pelanggar tapi ia agama yang memiliki risalah agung untuk mengarahkan manusia pada jalan terang. Jangan sekali-kali kau hadirkan Islam dengan wajah yang menyeramkan. Domestifikasi syariat yang saya maksud: adalah upayan dialektis antara syariat dengan kondisi civil society (masyarakat madani) di mana syariat itu akan dipraktekkan. Dari sini, saya berkesimpulan bahwa adopsi sistem manapun sah-sah saja, asalkan keadilan dan kesejahteraan rakyat terjamin. Karena itulah isensi syariat.
Khilafah, Demokrasi dan Sekulerisme; Sebuah Epilog
Semua sistem yang pernah [dan sedang] dipraktekkan di dunia adalah bagian sejarah. Membincang relasi antara ketiga sistem; khilafah, demokrasi dan sekularisme, memang agak rumit, karena definisi demokrasi dan sekulerisme dinamis dan butuh untuk terus ditafsirkan. Demokrasi, yang dianggap sebagai sistem paling matang dekade ini, telah menuai reaksi beragam dari seluruh penduduk dunia. Masyarakat Barat dengan mudah menerimanya, karena seperti disinggung Huntington memang sesuai dengan lingkungan di sana. Namun tidak demikian dengan Islam (Timur). Trauma imperialisme masih menyisakan kepedihan sehingga apa yang datang dari Barat dianggapnya “Iblis”, terlepas benar dan salah.
Demokrasi yang dalam pandangan banyak pengamat memiliki pijakan kuat di masa kontemporer untuk mewujudkan kebebasan, persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan, harus dipribumisasikan. Demokrasi ala Barat, bagaimanapun prestisiusnya, mungkin tak bisa sepenuhnya bisa sesuai dengan Indonesia (sebagai misal). Indonesia sendiri secara tegas mempraktekkan “Demokrasi Pancasila”; artinya adopsi demokrasi ke tanah air tak utuh seperti pemahaman Barat, ia sudah mengalami proses pribumisasi.
Bahkan sekularisme yang dalam pengertian masyarakat Barat sebagai pemisahan total dimensi agama dan negara, tak bisa dimengerti jika dipaksa untuk dipraktekkan di Timur. Ia hanya sanggup menyingkirkan sistem teokrasi dan oligarki maupun yang sejenis dari negara-negara Islam. Sementara pemisahan gereja dan negara secara konstitusi seperti yang terjadi di Barat hanya akan meresahkan warga. Cukuplah pengalaman Turki untuk dijadikan pelajaran. Sekularisme total bagi negara berpenduduk mayoritas Islam tak akan bertahan lama, karena tak sesuai dengan kultur Islam itu sendiri. Semua sistem –termasuk khilafah, demokrasi dan sekulerisme— harus disesuaikan dengan kultur masyarakat lokal. mengadopsi sistem tertentu tak akan bisa efektif tanpa mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Allahu a’lam.
*Artikel ini disadur dari Jurnal HIMMAH PPMI Mesir Edisi IX Desember-Januari 2010-2011
**Mahasiswa Tingkat III Fak. Ushuludin Dep. Akidah-Filsafat Al-Azhar University
Referensi:
1. Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, Mizan, cet I, 2002
2. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVII, Mizan, cet III, 1995
3. Gus Dur, Islamku, Islam Anda dan Islam Kita, The Wahid Institute, cet I, 2006
4. Ridwan Assayed, al-Jama’ah wa al-Mujtama’ wa al-Dawlah. Dar al-Kitab al-Araby, Libanon, cet II, 2007
5. Al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyah wa al-Wilâyât al-Diniyah, Dar Ibnu Qutaibah, Kuwait, cet I, 1989
6. Musthafa Assyak’ah, Islam Bila Madzahîb, Maktabah Usrah, Kairo, cet II, 2005
7. Muhamad Sa’ed al-Asymawi, al-Islam al-Siyasi, Muassasat al-Intisyar al-Araby, Beirut, cet V, 2004
8. Farag Faudah, al-Haqîqah al-Ghâibah, Dar al-Fikr li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Kairo, cet II, 1988
9. Nasr Hamid Abu Zaid, Naqdu al-Khitab al-Dini, Sina li al-Nasyr, Kairo, cet II, 1994
10pt. Abu Ishaq al-Syatibi, al-I’tishâm, Maktabah Usrah, Vol II, 2009
11. Ali Abdurazik, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Maktabah Usrah, 2007
12. Muhamad M. al-Madani, Nadzarât Fi Fiqh al-Fârûq Umar bin Khattab, Wizarat al-Auqaf, Kairo, 2010pt
13. Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan, Dar al-Shorouk, Kairo, cet XVIII, 2001
14. Fahmi Huwaidy, Al-Qur’an wa al-Sultân, Dar al-Shorouk, Kairo, cet VI, 2009
15. Khalid Muhamad Khalid, Difâ an Dimikratiyah, Dar Tsâbit, Kairo, cet I, 1985
16. Carl W. Ernst, Following Muhammad; Rethinking Islam in The Contemporary World, William R. Kenan Jr. Fund of The University of North Carolina Press, 2003
17. Robert W. Hafner, Civil Society Muslims and Democratization in Indonesia, Princeton University Press, 2000
18. Bassam Tibi, Islam Between Culture and Politics, Palgrave, New York, 2001
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar