22.11.11
Merawat Bahasa Indonesia
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Selasa, November 22, 2011
Oleh : Salahuddin Wahid
Dari tiga butir Sumpah Pemuda, mungkin sumpah ketiga yang tidak banyak mengandung masalah.
Kita mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Namun, tanah yang satu itu sudah banyak yang dikuasai oleh pihak luar negeri, lebih banyak untuk kepentingan mereka dibandingkan dengan untuk kepentingan anak bangsa (kecuali segelintir pejabat dan pengusaha). Kesatuan wilayah Tanah Air itu kita pertahankan dengan kekerasan terhadap anak bangsa di sejumlah tempat yang memprotes ketidakadilan.
Kita mengaku berbangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia, tetapi rasa berbangsa satu itu kian menipis. Sejumlah daerah ingin melepaskan diri dari bangsa Indonesia karena merasa diperlakukan tidak adil.
Kondisi bangsa kita amat menyedihkan sehingga makin banyak yang mengatakan bahwa kita adalah ”bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa”. Jarang ada tulisan yang bernada positif tentang kondisi bangsa Indonesia.
Kita bertekad bahwa sebagai putra dan putri Indonesia, kita akan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tampaknya butir ketiga dari Sumpah Pemuda itulah yang masih tersisa dari ketiga butir Sumpah Pemuda. Memang ada sejumlah masalah dalam perkembangan bahasa Indonesia, tetapi secara keseluruhan masih bisa dianggap baik.
Pilihan yang tepat
Semula Mr Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia, dengan alternatif bahasa Jawa. Namun, Sanusi Pane menolak. Menurutnya, bahasa persatuan bagi nusa dan bangsa Indonesia haruslah bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu ataupun bahasa Jawa.
Pilihan para pemuda terhadap bahasa Melayu sebagai bahan baku bahasa Indonesia adalah pilihan yang tepat. Kebesaran jiwa para pemuda dari suku Jawa untuk tidak mengusulkan bahasa Jawa perlu dihargai. Para cendekiawan dari berbagai daerah di Nusantara itu memahami bahwa bahasa Melayu adalah lingua franca yang betul-betul hidup di seluruh wilayah Nusantara.
Dari prasasti yang ditemukan di Palembang, Sumatera Selatan, (683 Masehi), dapat diketahui bahwa bahasa Melayu (kuno) sudah digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat pada saat itu. Prasasti itu menggunakan bahasa Melayu kuno dalam tulisan menggunakan aksara Pallawa. Karena Kerajaan Sriwijaya punya pengaruh luas di Nusantara, warga di wilayah Nusantara yang berinteraksi dengan Sriwijaya juga memakai bahasa Melayu.
Sriwijaya maju dalam kesusastraan dan ilmu pengetahuan (agama). Pada abad XIV, Kerajaan Malaka merdeka. Malaka punya pengaruh besar pada wilayah timur Nusantara. Penyebaran bahasa Melayu sejalan dengan penyebaran agama Islam. Namun, perkembangan bahasa Melayu tidak menghilangkan bahasa daerah.
Penjajah Belanda mengalami kesulitan berkomunikasi dengan warga di berbagai daerah yang punya dialek lokal. Satu-satunya pilihan adalah menggunakan bahasa Melayu. Menurut Brugmans, yang dikutip dalam buku Suhendar (1998), bahasa Melayu digunakan Belanda untuk mengadakan perjanjian dengan raja-raja taklukan, penyebaran agama Kristen, dan komunikasi antara penduduk pribumi dan Belanda.
Memang ada upaya dari Prof Kem pada 1890 untuk menghambat perkembangan bahasa Melayu. Dia menyerukan dibentuknya lembaga propaganda bahasa Belanda untuk meningkatkan derajat sosial bangsa Bumiputera dengan berbahasa Belanda dan juga derajat pekerjaan mereka.
Bukan tanpa masalah
Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengikat dan bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sutan Takdir Alisjahbana menyebutnya sebagai salah satu mukjizat abad ini.
Bahasa Indonesia telah ditetapkan oleh UUD 1945 menjadi bahasa negara. Di beberapa negara, bahasa Indonesia telah dipelajari. Namun, tidak berarti bahwa keberadaan bahasa Indonesia bukan tanpa masalah.
Pada 2010, kita membaca berita bahwa banyak ketidaklulusan siswa SMA/MA/SMK dalam ujian nasional disebabkan oleh kegagalan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Fakta itu menunjukkan bahwa mutu guru mata pelajaran Bahasa Indonesia amat rendah sehingga tidak mampu memberi kemampuan minimal untuk bisa lulus.
Perlu dikaji apakah hal itu terjadi karena kurikulum yang ada atau memang karena rendahnya mutu guru. Pelajaran Bahasa Indonesia tak mendapat perhatian memadai dari siswa dan juga guru-guru. Jarang kepala sekolah yang memperhatikan rendahnya angka siswa dalam ujian nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Salah satu faktor yang mengganggu perkembangan bahasa Indonesia ialah pengaruh ”bahasa gaul”. Kalau itu dilakukan dalam bahasa lisan, SMS, Twitter, atau dalam pertunjukan di panggung dan televisi, masih bisa kita pahami. Namun, ternyata di dalam tugas mahasiswa dan makalah juga digunakan bahasa gaul semacam itu.
Kalau praktik semacam itu terus dibiarkan, kita khawatir kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar oleh para tamatan universitas akan menurun. Kalau hal tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin suatu hari kelak kita sulit memahami laporan yang ditulis oleh para sarjana lulusan perguruan tinggi di negeri ini.
Kebiasaan buruk lain ialah kegemaran menyerap bahasa asing, khususnya Inggris, di dalam percakapan sehari-hari atau pidato oleh para pejabat, termasuk (maaf) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan untuk kata-kata yang sudah ada dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, kita juga memakai kata-kata Inggris. Misal kata ”klir” dalam kalimat, ”Masalah itu sudah klir.” Bukankah kita bisa memakai kalimat, ”Masalah itu sudah jelas.” Kita tentu tidak bisa menghindar dari menyerap kata asing, tetapi hendaknya hal itu dilakukan jika memang benar-benar terpaksa.
Rendahnya minat terhadap bahasa Indonesia sedikit banyak akan berpengaruh terhadap minat baca. Studi 0rganization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2006 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia baru mencapai angka 392, jauh di bawah kemampuan rata-rata negara-negara OECD yang ada di angka 492.
Kalau bangsa kita kurang banyak membaca bahan bacaan yang bagus, bisa kita bayangkan seperti apa jadinya bangsa ini di masa depan. Karena itu, kita perlu berjuang untuk merawat bahasa Indonesia sebagai salah satu nikmat dan anugerah Allah kepada bangsa Indonesia. Juga perlu berjuang menumbuhkan minat baca untuk meningkatkan budaya keberaksaraan bangsa.
*Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
image
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar