24.2.12

Faham Islam Moderat; Antara Ekstrimisme Dan Apatisme, Antara Sikap Berlebihan Dan Sikap Tidak Peduli (2)


Mempertahankan Faham Islam Moderat; Antara Ekstrimisme Dan Apatisme, Antara Sikap Berlebihan Dan Sikap Tidak Peduli


Ekstrimisme Di Masa Dahulu Dan Sekarang
Setelah Rasulullah wafat terjadilah fitnah dengan murtadnya beberapa golongan manusia, termasuk datangnya fitnah yang dibawa oleh Musailamah al-Kadzdzab. Setelah itu juga terjadi fitnah pemberontakan terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam hal ini Rasulullah telah menyatakan dalam haditsnya tentang ‘Ammar ibn Yasir yang saat itu berada di barisan ‘Ali ibn Abi Thalib:

وَيْحَ عَمّار تَقْتلُه الفئَةُ البَاغيةُ يدعُوهم إلَى الْجنّة ويدعُونَه إلَى النّار (رواه البيهقي)

(Kasihan ‘Ammar, ia akan dibunuh oleh kelompok pemberontak, ia mengajak kelompok pemberontak tersebut ke surga, dan mereka mengajaknya ke neraka).

Di antara ekstrimisme dalam masalah akidah di masa dahulu setelah turunnya wahyu atas Rasulullah adalah fitnah Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku dirinya sebagai nabi, demikian pula pengakuan kenabian dari isterinya yang bernama Sabah binti al-Harits ibn Suwaid. Pengakuan serupa juga dari al-Aswad ibn Zaid al-‘Ansi, seorang pendusta berasal dari Shan’a yang kemudian dibunuh oleh Fairuz al-Dailami.

Ekstrimisme juga terjadi di akhir periode kehidupan sahabat Rasulullah. Adalah fitnah yang dilancarkan oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Damasyqi dan al-Ja’ad ibn Dirham. Mereka adalah di antara orang-orang yang berfaham “nyeleneh” dalam masalah Qadar. Walhasil, para sahabat saat itu melarang untuk mengucapkan salam kepada mereka dan melarang kaum muslimin menshalatkan jenazah-jenazah mereka. Mereka adalah yang dimaksud dengan hadits nabi:

القَدَرِيّة مَجُوسُ هذِه الأمّة (رواه أبو داود)

(Kaum Qadariyyah -mereka yang mengingkari Qadar Allah seperti faham Mu’tazilah- adalah kaum Majusinya umat ini).

Ekstrimisme Dalam ِAkidah Dan Furu’.

Ekstrimisme juga terjadi dengan datangnya fitnah kaum Khawarij. Kelompok ini telah mengkafirkan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah dan dua orang sahabat juru tahkim; Abu Musa al-Asy’ari dan ‘Amr ibn al-‘Ash. Demikian pula kaum Khawarij ini mengkafirkan semua orang yang terlibat dalam perang Jamal, mengkafirkan sahabat Thalhah ibn ‘Ubaidillah, Zubair ibn al-‘Awwam, ‘Aisyah dan semua orang yang menyetujui tahkim. Kaum Khawarij berkeyakinan bahwa pelaku dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil telah menjadi kafir[1]. Kemudian kaum Khawarij ini terpecah belah menjadi sekitar 20 kelompok, satu sama lainnya saling mengkafirkan.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir al-Thabari dalam kitabnya Tahdzib al-Atsar, Rasulullah bersabda:

صِنفَانِ لَيسَ لَهُمَا نَصيْبٌ فِي الإسْلام المُرْجئَة وَالقدَريّة

(Ada dua golongan yang keduanya tidak memiliki bagian dalam Islam; al-Qadariyyah dan al-Murji’ah). Hadits ini di shahihkan oleh al-hafizh Abu al-Hasan al-Qaththan dan dikutip oleh al-Imam Abu Hanifah dalam beberapa risalahnya dalam masalah akidah.

Saat itulah terjadi fitnah Mu’tazilah yang juga disebut dengan kaum Qadariyyah. Di masa al-Hasan al-Bashri terjadi perselisihan antara beliau dengan Washil ibn ‘Atha yang diikuti oleh ‘Amr ibn ‘Ubaid. Dua orang disebut terakhir ini memiliki keyakinan sesat dalam masalah Qadar, dan mengungkapkan bahwa pelaku dosa besar bukan seorang mukmin juga bukan seorang kafir (al-manzilah Bian al-Manzilatain). Kedua orang ini kemudian diusir oleh al-Hasan al-Bashri dari majelisnya. Selanjutnya kedua orang ini mengasing di pojokan masjid Bashrah, hingga dikenal kedua orang ini dan para pengikutnya sebagai kaum Mu’tazilah (kaum yang meng-asing dan “nyeleneh”). Nama Mu’tazilah diambil dari sikap ekstrim dan “nyeleneh” mereka dalam berpendapat dengan menyalahi pendapat mayoritas umat Islam. Mereka menyatakan bahwa seorang yang fasik dari umat Muhammad ini bukan seorang mukmin dan bukan pula seorang kafir. Kaum Mu’tazilah ini dikenal juga dengan kaum Qadariyyah. Ini karena Washil ibn ‘Atha memiliki faham ekstrim dalam masalah Qadar. Ia menyatakan bahwa perbuatan manusia bukan ciptaan Allah. Menurutnya Allah hanya menciptakan tubuh-tubuh manusia, adapun perbuatannya adalah ciptaan mereka sendiri. Dengan pendapat ini Washil ibn ‘Atha telah menetapkan adanya pencipta kepada selain Allah. Selanjutnya kaum Qadariyyah atau Mu’tazilah ini terpecah menjadi hampir 20 golongan, satu sama lainnya saling mengkafirkan[2].

Di masa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib juga terjadi fitnah dari kaum Saba’iyyah. Mereka adalah pengikut ‘Abdullah ibn Saba’. Mereka mengatakan bahwa ‘Ali ibn Abi Thalib adalah Tuhan, Yang memberi rizki, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. Sebagian dari mereka kemudian dibakar hidup-hidup oleh ‘Ali ibn Abi Thalib, termasuk ‘Abdullah ibn Saba’ yang dibunuh olehnya. Dalam hal ini ‘Ali ibn Abi Thalib berkata:

إنّيْ إذَا رأيتُ أمرًا مُنكَرًا # أجَجْتُ نَارِي ودَعَوتُ قَنْبرًا

(Sesungguhnya apa bila aku melihat perkara mungkar maka aku akan menyalakan api dan memanggil Qanbar -salah seorang algojonya-).

Ekstrimisme juga terjadi dari fitnah yang disebarkan kaum Murji’ah. Mereka adalah kelompok yang mengatakan bahwa dosa sebesar apapun yang dilakukan seseorang muslim maka tidak akan disiksa dan tidak akan masuk neraka. Mereka mengatakan; sebagaimana kebaikan tidak memberikan arti sedikitpun bila dilakukan dalam keadaan kufur, demikian pula keburukan dan dosa-dosa besar tidak akan memberikan pengaruh sedikitpun selama adanya keimanan. Artinya menurut mereka orang-orang mukmin pelaku dosa besar tidak akan masuk nereka dan tidak akan disiksa.

Faham ekstrim juga dilancarkan kaum Jabriyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa perbuata manusia tidak ada hakekatnya. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak memiliki kehendak, ia tidak ubah seperti kapas ditiup angin kesana kemari. Kemudian di masa khalifah al-Muqtadir Billah al-‘Abbasi terjadi fitnah dari al-Husain ibn Manshur al-Hallaj. Orang ini mengaku ahli tasawuf dan memiliki beberapa orang pengikut. Faham ekstrim dalam akidah yang disebarkannya adalah perkataannya “Saya adalah Allah” atau “Dalam jubah ini tidak ada apapun kecuali Allah”. Ketika al-Hallaj dihukum bunuh oleh Khalifah saat itu, murid-muridnya mengatakan bahwa saat darah mengalir dari tubuhnya menuliskan kalimat “La Ilaha Illallah, al-Hallaj Waliyyullah”. Tentang kesesatan al-Hallaj ini, al-Imam al-Rifa’i al-Kabir berkata: “Jika ia dalam kebenaran maka ia tidak akan berkata saya adalah al-Haq -Allah-“.

Termasuk ekstrimisme yang terjadi di masa lampau adalah faham dari Ibn Taimiyah al-Harrani di sekitar permulaan abad ke-8 hijriah. Ia mengatakan bahwa jenis alam ini tidak memiliki permulaan (azali), sebagaimana ia tulis sendiri dalam 5 kitab karyanya; Minhaj al-Sunah al-Nabawiyyah, Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, Kitab Syarh Hadits al-Nuzul, Kitab Syarh Hadits ‘Imran Ibn al-Hushain dan Kitab Naqd Maratib al-Ijma’. Dengan fahamnya ini, Ibn Taimiyah telah menyamai kesesatan para folosof yang oleh Ibn Taimiyah sendiri telah dikafirkan. Ibn Taimiyah mengkafirkan para filosof karena mereka mengatakan bahwa alam ini, baik jenis maupun materinya tidak memiliki permulaan (azali). Namun ia sendiri mengambil separuh kekufuran mereka dengan mengatakan bahwa yang azali dari alam ini adalah hanya jenisnya saja.

Ibn Taimiyah mengkritik dan menyalahi ijma’ kaum muslimin yang dikutip Ibn Hazm dalam kitab Maratib al-Ijma’. Dalam kitab tersebut Ibn Hazm menuliskan bahwa kaum muslimin telah sepakat tentang kekufuran orang yang mengatakan adanya sesuatu yang azali selain Allah. Bahwa pada azal (keberadaan tanpa permulaan) tidak ada suatu apapun selain Allah, dan segala sesuatu selain Allah adalah ciptaan Allah.

Faham ekstrim Ibn Taimiyah ini juga dijelaskan oleh al-Muhaddits al-hafizh al-faqih Taqiyuddin al-Subki, salah seorang ulama mujtahid pada masanya. Beliau berkata:

يَرَى حَوَادثَ لاَ مبدَا لأوّلِها فِي الله سبحَانه عمّا يَظُنّ بهِ

(Ia -Ibn Taimiyah- berpendapat bahwa segala makhluk ini tidak memiliki permulaan, menurutnya makhluk ini azali bersama Allah. Maha suci Allah dari apa yang ia sangkakan ini)[3].

Faham ekstrim lainnya dari Ibn Taimiyah, ia mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy, Dia tidak lebih besar dari pada arsy kecuali seukuran empat jari. Dalam pada ini Ibn Taimiyah menisbatkan sifat duduk kepada kepada Allah yang hal tersebut merupakan suatu yang mustahil. Di antara yang menguatkan bahwa Ibn Taimiyah memiliki keyakinan seperti kaum Mujassimah (Kaum sesat menyatakan bahwa Allah adalah benda) adalah perkataan al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya; al-Nahr al-Madd Min al-Bahr al-Muhith dalam tafsir ayat kursi[4]. Beliau berkata: “Dan saya telah membaca sebuah kitab tulisan Ahmad ibn Timiyah, orang yang saya hidup semasa dengannya, ia tulis dengan tangannya sendiri dalam bukunya berjudul Kitab al-Arsy, mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi dan Dia meluangkan tempat pada kursi tersebut untuk Ia dudukan Nabi Muhammad di atasnya. Keyakinan Ibn Taimiyah ini ia khayalkan dari al-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haq al-Barinbari. Dan Ibn Taimiyah mengaku bahwa ia menyeru kepada keyakinan -tajsim- al-Barinbari ini, dan ia mengambil keyakinan ini darinya”. Tulisan al-Imam Abu Hayyan ini terdapat dalam manuskrif tulisan tangan di Halab Siria.

Di antara pernyataan ekstrim lainnya dari Ibn Taimiyah adalah statemennya bahwa peperangan yang dilakukan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan bala tentaranya adalah bukan sesuatu yang wajib dan bukan sesuatu yang sunnah[5]. Pernyataan Ibn Taimiyah ini jelas menyesatkan. Ia menyalahi firman Allah:

فَقَاتلُوا الّتِي تَبْغِي (الحجرات: 9)

“Maka perangilah kelompok yang memberontak” (QS. Al Hujurat: 9).

Pernyataan Ibn Taimiyah ini juga mengandung unsur penghinaan kepada Amir al-Mu’minin al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib.

Sikap ekstrim Ibn Taimiyah lainnya adalah pernyataan dia dalam menentang perkara-perkara yang telah menjadi konsensus (ijma’) ulama. Dalam pada ini al-hafizh Abu Zur’ah al-‘Iraqi dalam kitabnya berjudul al-Ajwibah al-Mardliyyah menyebutkan bahwa Ibn Taimiyah telah menyalahi ijma’ ulama dalam banyak masalah. Disebutkan bahwa jumlah tersebut mencapai 60 masalah. Di antaranya, Ibn Taimiyah mengatakan bahwa neraka akan punah. Pernyataan sesatnya ini telah dibantah oleh al-hafizh al-Subki dalam sebuah risalah yang beliau tulis berjudul al-I’tibar Bi Baqa’ al-Jannah Wa al-Nar. Bagi anda yang hendak mengetahui lebih jauh kesesatan dan sikap ekstrim Ibn Taimiyah silahkan membaca karya al-Imam Ibn al-Mu’allim al-Qurasyi penulis kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu’tadi. Baca pula kitab ‘Uyun al-Tawarikh karya Shlah al-Din al-Shafadi. Lihat pula ungkapan al-Dzahabi -yang notabene murid Ibn Taimiyah sendiri- dalam karyanya berjudul Bayan Zagl al-‘Ilm Wa al-Thalab. Al-Dzahabai mengatakan siksaan yang diterima oleh Ibn Taimiyah dan para pengikutnya adalah sebagian yang harus mereka terima. Kitab Bayan Zagl al-‘Ilm Wa al-Thalab ini adalah benar sebagai karya dari al-Dzahabi sebagaimana hal tersebut disebutkan oleh al-hafizh al-Sakhawi dalam kitab al-I’lan Bi al-Taubikh Liman Dzamm al-Tarikh.

Sikap ekstrim Ibn Taimiyah, baik dalam akidah maupun furu’ ini kemudian diikuti oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab dan para pengikutnya (kaum Wahhabiyah). Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab ini berasal dari daerah al-Dar’iyyah wilayah Najd yang di dalam hadits nabi disebutkan bahwa dari wilayah tersebut akan muncul “Tanduk setan” (Qarn al-Syaithan). Orang ini meninggal sekitar 200 tahun lalu. Ia memiliki banyak sekali kesesatan yang membahayakan, terutama dalam masalah akidah. Syekh al-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, mufti Mekah pada masanya, telah menulis kitab dalam mengungkap kesesatan sekaligus sebagai bantahan kepadanya dan kepada orang-orang yang mengikutinya dengan judul al-Durar al-Saniyyah Fi al-Radd ‘Ala al-Wahhabiyyah.

Di antara kesesatan kaum Wahabiyyah ini, mereka mengharamkan tawassul dengan para nabi dan mengharamkan ziarah ke makam orang-orang saleh untuk mendapatkan berkah. Mereka menganggap bahwa para pelakunya adalah orang-orang syirik dan orang-orang kafir. Kaum Wahhabiyah ini kemudian mengkafirkan mayoritas umat Islam, menghalalkan darah dan harta mereka dan menganggap mereka sebagai orang-orang musyrik sebagaimana kaum jahiliyah sebelum diutusnya Rasulullah.

Kaum Wahhabiyah ini mengharamkan membaca shalawat kepada Rasulullah dengan suara keras setelah dikumandangkan adzan. Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan menyebutkan bahwa Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab telah membunuh seorang muadzin buta yang saleh dan memiliki suara yang indah hanya karena ia membacakan shalawat kepada Rasulullah setelah adzan. Ibn ‘Abd al-Wahhab melarang muazdin tersebut melakukan hal itu, namun muadzin tersebut tidak mengindahkannya. Akhirnya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab memerintahkan salah seorang pengikutnya untuk membunuh muadzin saleh itu.

Bahkan sebagian pengikut ajaran Wahhabiyah ini berkata: “Tongkat saya ini lebih berharga dari pada Muhammad, karena tongkat ini bermanfaat dapat membunuh ular atau lainnya, sementara Muhammad telah mati dan sama sekali tidak memberikan manfaat, dia tidak lain hanyalah orang yang membawa kitab semata dan telah habis”.

Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab, perintis gerakan Wahhabiyah ini mengatakan bahwa dirinya menyeru kepada ajaran Islam, dan bahwa siapapun yang berada di bawah tujuh lapis langit ini adalah orang-orang musyrik, dan bahwa siapa membunuh orang musyrik maka ia akan mendapatkan surga. Ia juga mengharamkan perayaan maulid Nabi Muhammad. Bahkan terhadap sebagian orang ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi[6]. Na’udzu Billah.

Sikap ekstrim dalam akidah semacam ini berlanjut terus hingga datang suatu kelompok baru yang tidak kalah sesat di daerah Qadiyan di wilayah Pakistan. Mereka dikenal dengan al-Qadiyaniyyah (atau Ahmadiyyah), pengikut Ghulam Ahmad yang berasal dari Negara Pakistan. Ia mengaku bahwa dirinya adalah seorang nabi yang diutus. Ia mengatakan bahwa kenabiannya adalah “Kenabian pembaharu” (Nubuwwah Tajdidiyyah), juga mengatakan bahwa kenabian tersebut adalah “Kenabian bayangan”. Menurutnya kenabian bayangan ini berada di bawah kenabian Nabi Muhammad, sebagaimana ia sebutkan dalam karyanya berjudul al-Khuthbah al-Ilhamiyyah. Keyakinan sesat al-Qadiyaniyyah dewasa ini menyebar di wilayah Eropa, Amerika dan Inggris. Dakwah mereka sudah menyebar sekitar 120 tahun, dan berada di bawah pengawasan dan pembelaan negara Inggris.

Di awal kemunculannya saat menyeru dengan kenabiannya, Ghulam Ahmad hendak dibunuh oleh orang-orang Islam. Kemudian ia mencari perlinduangan atau suaka ke negara Inggris. Setelah diterima, negara Inggris membuat syarat kepada Ghulam Ahmad agar ia menentang seluruh gerakan jihad dari kaum muslimin yang berada di negara India. Karena itu kemudian Ghulam Ahmad menyatakan dirinya mendapatkan wahyu dari Allah bahwa kita wajib berterima kasih kepada negara Inggris, karena mereka telah berbuat banyak kebaikan dan banyak pemberian, adakah kebaikan tidak dibalas kecuali dengan kebaikan?!. Menurutnya haram bagi kita dan seluruh kaum muslimin memerangi negara Inggris. Dengan jalan inilah Ghulam Ahmad mendapatkan suaka dari negara Inggris. Selanjutnya dikemudian hari keturunan Ghulam Ahmad melanjutkan dakwah sesatnya ini. Hingga hari ini faham-faham ekstrim yang menentang Islam masih berkembang di negara India, ini ditambah lagi dengan tangan-tangan ektrim kaum Hindu yang menghancurkan masjid-masjid dan membunuh ribuan kaum muslimin.

Kesesatan yang sama yang ditanamkan kaum penjajah di tubuh orang-orang Islam adalah munculnya kelompok bernama al-Baha’iyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa pimpinan mereka yang bernama Bahauddin al-Mirza ‘Ali Muhammad al-Syairazi telah menyatu dengan Tuhan. Mereka mengambil faham madzhab al-Hallaj, seorang ekstrim yang mengaku sufi. Al-Baha’iyyah ini permulaan munculnya berada di daerah Persia, kemudian pada sekitar permulaan abad ini mereka pindah ke negara India. Sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan segala sesuatu, baik di langit maupun di bumi, Dia menyatu dengan segala benda dan tubuh manusia.

Syekh Muhyiddin ibn ‘Arabi, salah seorang sufi terkemuka di masanya, yang sekarang makamnya berada di Damaskus Siria, berkata:

مَنْ قَالَ بالْحُلُوْل فَدِيْنُهُ معْلولٌ وَمَا قَالَ بالإتّحَاد إلاّ أهْلُ الإلْحَاد

(Siapa yang berkata hulul -berkeyakinan Allah menyatu dengan manusia- maka agamanya cacat, dan tidaklah seseorang berkata dengan ittihad -keyakinan Allah meyatu dengan alam- kecuali ia adalah seorang yang kafir).

Hanya saja beberapa karya Ibn ‘Arabi banyak dimasuki sisipan-sisipan dari luar yang tidak bertanggung jawab, seperti kitab Fushush al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyyah. Hendaklah kita menghindari isi dua kitab yang penuh kerancuan ini, keduanya seringkali dijadikan rujukan oleh beberapa orang yang mengaku sufi.

Telah banyak fitnah-fitnah dari sikap dan faham ekstrim yang dihadapi kaum muslimin. Bahkan faham-faham ekstrim tersebut semakin banyak bahkan terpecah-pecah menjadi bebagai kelompok dan terus berkembang. Sikap ekstrim dalam masalah keyakinan, yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas, adalah penyebab utama dari berbagai musibah dan fitnah yang dihadapi kaum muslimin dewasa ini. Musibah inilah yang timbulkan oleh antek-antek kaum Khawarij dan pengikut Ibn Taimiyah, baik dalam masalah politik maupun dan cara beragama.



Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!