Oleh: Ali Syahbana*
'Demam' Pancasila biasanya muncul saat momen-momen seperti; Hari Lahir Pancasila, Hari Kesaktian Pancasila atau pelbagai seminar kebangsaan yang bernuansa kebangsaan. Kalau mau dihitung, mungkin sudah ratusan -bahkan lebih- tulisan atau artikel yang berkeliaran membahas Pancasila baik yang bersinggungan dengan sisi sosial, agama, agama dan lain sebagainya. Nah, tulisan ini pun, meski sekedar estafet dari kebanyakan artikel yang beredar, tak pelak 'ikut-ikutan' mencoba meng-ketengahkan Pancasila versi ke-penulisan dan gaya penyampaian penulis sendiri.
Seperti kita ketahui, Pancasila sebagaimana ditetapkan dan tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Ia merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia yang seolah-olah merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Namun menjadi ironis saat belakangan ini banyak bermunculan oknum-oknum atau gerakan-gerakan yang kembali berusaha menjungkalkan Pancasila dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Mereka berjuang untuk merubah tatanan negara menjadi Khilafah Islamiyah, pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Salah satu alasan mereka adalah pandangan dan keyakinan bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia.
Lantas, apakah Pancasila sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai Islam? Sehingga -menurut mereka- perlu dikubur dan dilenyapkan dari permukaan Indonesia.
Jika kita perhatikan sejarah, Pancasila tidak hanya dirumuskan oleh pemimpin nasional. Namun ada juga tokoh-tokoh bangsa yang berstatus ulama yang urun rembug dalam perumusannya termasuk yang dari kalangan Nahdlatul Ulama sekaliber KH Wahid Hasyim dan kalangan lainnya semisal Muhammadiyah.
Dengan keberadaan ulama-ulama tersebut tentu berdampak pada wujud rumusan Pancasila yang islami, pancasila yang secara praktis menampilkan ke-rahmatan lil'alamin ajaran Islam. Bukan Pancasila yang sepi dari nilai-nilai keislaman.
Selain itu, Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, sebenarnya memiliki keselarasan dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas penduduk bangsa Indonesia. Pancasila telah mampu menopang dan mengakomodir berbagai suku, ras, dan agama yang ada di Indonesia.
Keselarasan pancasila dengan ajaran Islam bisa dibuktikan denga klop-nya sila-sila Pancasila dengan apa yang telah tergaris dalam al-Qur’an.
Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa misalkan, secara luas mencerminkan nilai ketauhidan dan kebebasan dalam berkeyakinan. Warga negara Indonesia diberikan kebebasan untuk memilih satu kepercayaan, dari beberapa kepercayaan yang diakui oleh negara.
Dalam Islam, Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan dan selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu mengesakan Tuhan. Semisal QS. Al-Baqarah ayat 163 yang memiliki arti; "Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa . Tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang".
Dalam kacamata Islam, Tuhan adalah Allah semata, tidak ada tuhan selain Dia. Akan tetapi jika ada keyakinan yang menyatakan Tuhan mereka bukanlah Tuhan sebagaimana yang diyakini umat islam, maka ajaran Islam tidak menentang keyakinan tersebut sebab tidak ada paksaan bagi mereka untuk beragama Islam. Hal ini tentu sesuai dengan rumusan universal Al Qur'an yang berbunyi; “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 256).
Mayoritas kitab tafsir Al Qur'an menyebutkan akan adanya suatu riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, yaitu seorang lelaki bernama Abu Al-Husain dari keluarga Bani Salim, Ibnu Auf, mempunyai dua orang anak lelaki yang telah memeluk agama Nasrani sebelum Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan sebagai nabi. Kemudian kedua anak itu datang ke Madinah (setelah datangnya agama Islam), maka ayah mereka selalu meminta agar mereka masuk agama Islam dan ia berkata kepada mereka, “Saya tidak akan membiarkan kamu berdua, hingga kamu masuk Islam.” Mereka lalu mengadukan perkaranva itu kepada Rasulullah saw. dan ayah mereka berkata, “Apakah sebagian dari tubuhku akan masuk neraka?” Maka turunlah ayat ini, lalu ayah mereka membiarkan mereka itu tetap dalam agama semula.
Sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab bisa bermakna bahwa melalui misi bangunan karakter keadilan dan keberadaban manusia, bangsa Indonesia telah meletakkan penghargaan dan penghormatan hak-hak yang melekat pada tiap-tiap pribadi manusia.
Al Qur'an sendiri dengan ayat-ayatnya yang bersifat universal, mencakup segala aspek tanpa kenal zaman wal makan, relevan sampai kapanpun dan dimanapun, telah banyak mengajarkan umatnya untuk bersikap adil, berakhlak mulia, saling menghormati dan menghargai antar sesama. Hal ini salah satunya tercermin dalam surat Al Maidah ayat 8 yang memiliki makna; "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Sila ketiga berbunyi Persatuan Indonesia bermakna bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bermisikan menyatukan seluruh elemen di Indonesia, bangsa yang satu dan bangsa yang menegara. Dan telah ma'lum dalam konsep Islam akan wujud ajaran untuk selalu menjaga persatuan. Baik persatuan antar umat islam sendiri dengan bingkai "mu'min ikhwah" nya maupun dengan non-islam dalam bingkai kemanusiaannya. (baca missal: QS. Ali Imran: 103 dan QS. Al-Hujuraat: 10).
Begitu juga dengan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang merupakan sila ke empat yang mengedepankan asas musyawarah dengan didasari hikmat kebijaksanaan, pun selaras dengan tatanan islam yang mengajarkan untuk bersikap bijaksana dalam mengatasi permasalahan kehidupan dan bermusyawarah dalam suasana yang demokratis. Dalam surat Ali Imran ayat 159 Allah menegaskan yang maknanya; "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
Cerminan nilai-nilai keislaman juga melekat pada sila kelima yang menekankan adanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam islam teramat banyak konsep-konsep yang bermuatan keadilan. Baik adil terhadap diri sendiri, adil terhadap orang lain, kepada alam ataupun lingkungan. Misi besar Islam yang menyejahterakan umatnya baik di dunia maupun di akhirat tentu belum bisa optimal tanpa diterapkannya nilai-nilai keadilan. Inilah yang menjadikan islam memerintahkan umatnya untuk berlaku adil dalam segala hal. (lihat QS. an-Nahl ayat 90).
Walhasil, Pancasila merupakan bangunan dasar atau ideologi negara yang sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Islam yang luwes dengan rumusan-rumasan globalnya, dengan sifat rahmat bagi penghuni alamnya (rahmatan lil 'alamin) membuat Pancasila bisa 'nyempil' di dalamnya. Dengan begitu, patutlah kita sebagai bagian dari warga negara Indonesia senantiasa berusaha melestarikan dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semoga dengan hal tersebut kita menjadi manusia yang secara tidak langsung mengamalkan nilai-nilai universal ajaran islam. Menjadi umat yang berislam secara praktis, bukan sekedar teoritis atau secara teori belaka.
Wallahua'lam bis shawab.
* Penulis adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang belajar di Universitas Ibn Tofail Kenitra, Maroko.(www.nu.or.id)
15.10.12
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar