15.4.14

Menimbang Partai Islam

SEPERTI dugaan banyak orang, partai (berbasis massa)
Islam tidak ada yang menjadi pemuncak hasil Pemilu 2014, tetapi hasil
perolehan suara mereka mengejutkan.
Bertentangan dengan hasil survei yang menyatakan rendahnya perolehan
suara mereka, yang terjadi justru pelonjakan suara tajam pada PKB. PPP
dan PAN naik sedikit, PKS walau diterpa badai hanya turun sedikit. Hanya
PBB yang suaranya di bawah ambang batas: 3,5%.
Pada Pemilu 1955, dua partai Islam menjadi pemenang kedua dan ketiga.
Jumlah perolehan suara partai Islam sedikit di atas 43% dari jumlah pemilih.
Angka ini menurun pada pemilu-pemilu era Orde Baru. Pada Pemilu 1999,
angka itu menjadi 37,4%, Pemilu 2004 menjadi 38,4%, dan Pemilu 2009
angka ini menjadi 29,3%. Kini, meningkat menjadi sekitar 32% berdasarkan
hasil hitung cepat.

Dari 12 partai peserta Pemilu 2014, yang dianggap sebagai partai Islam
adalah PPP, PKS, dan PBB. Partai berbasis massa Islam ialah PKB dan PAN.
PPP dan PKB dapat dianggap sebagai lanjutan dari Partai NU. PAN, PKS,
dan PBB dapat dianggap sebagai lanjutan dari Partai Masyumi.
Dinamika Pancasila dan Islam
Pemilu 1955 membuat konfigurasi kelompok partai berdasarkan aliran:
Islam, komunis, sosialis, Pancasila. Pasca 1965, partai beraliran komunis
dan sosialis sudah tidak ada. Muncul kelompok politik baru, yaitu Golongan
Karya, yang bekerja sama dengan ABRI. Partai lain ialah PDI (fusi PNI
dengan Parkindo, Murba, Partai Katolik, dan IPKI) serta PPP (fusi NU dengan
Parmusi, PSII, dan Perti). Saat itu PPP, termasuk NU, masih menginginkan
Islam sebagai dasar negara, bukan Pancasila.
Pada 1973, diajukan RUU Perkawinan yang ditolak oleh PPP dan ormas-
ormas Islam karena sejumlah ayat dalam RUU itu bertentangan dengan
syariat Islam. Perdebatan di DPR menjadi ramai karena massa sejumlah
ormas Islam menyerbu ruang Sidang Paripurna DPR. Pak Harto kemudian
menyetujui keinginan ulama- ulama yang menghendaki Pasal 1 dari UU itu
menentukan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan sesuai dengan
hukum agama yang dipeluk. UU itu adalah UU pertama yang memberikan
ruang bagi masuknya ketentuan syariat Islam yang partikular.

Pada akhir 1984, Muktamar NU di Situbondo menerima asas Pancasila dan
menyatakan bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah bentuk final dari
negara yang diperjuangkannya. PPP dan ormas- ormas Islam lain (kecuali
HMI MPO) mengikuti langkah NU: menerima asas Pancasila. Perubahan
sikap ormas dan orpol Islam terhadap Pancasila itu memberikan dampak
berupa perubahan sikap yang besar dalam memandang partai Islam dan
partai Pancasila. Sikap politik warga NU dan ormas Islam lain mencair.
Dalam sistem politik Turki yang 97% penduduknya Muslim, pengertian
sekuler lebih ketat dibandingkan di Indonesia. Di sana, dalam UUD mereka
secara tegas dinyatakan bahwa Turki adalah negara sekuler. Di sana tidak
diatur dalam UU bahwa perkawinan atau pernikahan hanya sah kalau
dilakukan sesuai hukum Islam. Semestinya pernikahan bisa dilakukan di
kantor catatan sipil, tetapi sebagian besar tetap menikah secara Islam.
Pada 1997, Partai Kesejahteraan di bawah Erbakan dilarang oleh militer
karena membawa simbol dan semboyan (jargon) Islam. Saat itu Muslimah
tidak boleh ke kantor atau kuliah dengan memakai jilbab.
Erdogan, melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), kemudian tidak
lagi membawa simbol dan semboyan Islam. Tema yang mereka usung
adalah tema- tema masyarakat luas, seperti keadilan, kesejahteraan, HAM,
dan demokratisasi. Rekam jejak hasil perolehan suara AKP amat
menakjubkan. Pada Pemilu 2002, AKP meraih 34,3% suara. Pada Pemilu
2007, meraih 46,6% suara.

Di kita, dalam kaitan kebijakan ekonomi yang ditawarkan partai-partai
peserta pemilu, yang paling lengkap dan paling banyak diketahui
masyarakat baru Partai Gerindra. Mereka memasang iklan satu halaman
penuh di banyak koran, termasuk koran daerah, juga di televisi. Partai-partai
lain, termasuk partai Islam dan yang berbasis massa Islam, tidak ada yang
memasang iklan seperti itu.
Tidak ada partai Islam ataupun berbasis massa Islam yang coba
mengetengahkan konsep ekonomi Islam yang menurut saya amat sesuai
dengan konsep ekonomi konstitusi. Kalau partai-partai Islam menawarkan
secara luas dan intensif konsep ekonomi Islam, yang intinya adalah
pemenuhan hak-hak ekonomi-sosial-budaya, mewujudkan keadilan sosial,
dan  pemerataan kesejahteraan, niscaya mereka akan lebih banyak dipilih
oleh masyarakat.

Perlu tokoh
Terkait fenomena PKB, tidak bisa lepas dari kehadiran sejumlah tokoh yang
ikut mengampanyekan PKB. Selain karena masyarakat NU tahu bahwa PKB
didirikan Gus Dur, juga karena sosok Rhoma Irama dan  Mahfud MD yang
aktif berkampanye serta gencarnya iklan shalawat. Selain itu, KH Hasyim
Muzadi yang aktif turun ke berbagai basis umat NU untuk mengajak mereka
memilih PKB dan kembalinya tokoh seperti Gus Yusuf Khudlory menjadi
fungsionaris PKB menunjukkan perlunya tokoh dalam suatu partai, seperti
PKB.
Beberapa partai juga berkembang dengan mengandalkan ketokohan
seseorang, seperti Demokrat (SBY) dan Gerindra (Prabowo). PDI-P bisa
tetap mencorong karena mengusung  nama Bung Karno dan kepemimpinan
Megawati. Partai Golkar punya  jaringan kuat sehingga tidak bergantung
kepada tokoh.
PKS adalah partai yang organisasinya berjalan dengan baik. Kaderisasinya
juga. Namun, untuk bisa berkembang, PKS perlu lebih luwes dan mendekat
ke tokoh dan ulama NU ataupun Muhammadiyah. PKS memang tak
mengandalkan tokoh, tetapi kini punya ”presiden” yang masih muda dan
cukup banyak pengalaman. Dialah yang mampu memulihkan rasa pede
yang goyah saat pimpinan PKS sebelumnya terkena kasus.
Akan lebih baik jika jumlah partai, termasuk partai Islam, dikurangi pada
pemilu mendatang. Itu dilakukan dengan menaikkan ambang batas minimal
perolehan suara. Kalau ambang batas perolehan suara dinaikkan dari 3,5%
ke 5%, partai-partai yang ada masih akan tetap bertahan. Kalau dinaikkan
lagi menjadi 7,5%, mungkin tinggal dua partai (berbasis massa) Islam yang
masih bertahan.
Karena itu, harus mulai dipikirkan kemungkinan penggabungan secara
sukarela daripada hilang dari peredaran. Kalau pada pemilu mendatang
partai-partai Islam dan yang berbasis massa Islam tidak melakukan
kegiatan yang diusulkan di atas (menawarkan kebijakan ekonomi secara
terbuka dan meluas), amat mungkin terjadi perolehan suara mereka akan
mandek, bahkan menurun. Kecuali ada tokoh Islam yang punya pengaruh
kuat menjadi pemimpin atau ikonnya.

Oleh Ir. Shalahudin Wahid, artikel dan image bersumber dari kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!