gambar ilustrasi
Pendekatan Sufistik
Sebuah kitab berjudul “Al-Munqidz minadh-Dhalal” karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ulama besar abad VI hijriyah, telah mengilhami banyak kesadaran spiritual umat Islam, bahkan masyarakat dunia ketika itu. Makna dari judul itu adalah “Penyelamat dari kegelapan”.
Sebuah wacana yang mengingatkan kita semua, bahwa siklus moralitas manusia, akan menuju titik jenuhnya, dan secara dramatis telah memasuki abad-abad kegelapan yang mengerikan.
Dalam konteks kebangsaan kita dewasa ini, bentangan sejarah masa lalu merupakan mosaik yang memantulkan tiga wajah sejarah yang saling memperebutkan hegemoni, tanpa disadari hegemoni-hegemoni itu seringkali membiaskan gambaran, betapa drama para pemimpin negeri, konstelasi ideologi dan kepentingan pragmatis menjadi warna yang saling bergulungan satu sama lainnya. Lalu hari ini, tiba-tiba kita sudah berada di hamparan pulau asing, tanpa horison perspektif dan kaki langit yang jelas. Hari ini adalah kenyataan-kenyataan dari pantulan mosaik yang buram dari masa lalu yang kelam.
Kitab Al-Ghazali itu, tentu saja masih relevan untuk menimbang moralitas kebangsaan kita hari ini, untuk sebuah solusi besar yang mondial. Karena sesungguhnya, masalah-masalah kontemporer dari soal KKN, delegitimasi politik, dan konspirasi masih terus berlangsung.
Di satu sisi, ada lapisan generasi muda yang hendak bangkit mewarnai negeri ini harus tumbuh dengan situasi konflik horisontal dan ideologis, tanpa lahir dari kandungan “kasih sayang” kebudayaan politik generasi tua, sedangkan di lain pihak, desakan-desakan internasional yang sulit dibendung ketika globalisasi terus menggulung belahan bangsa yang belum sama sekali siap menyongsong suatu abad, dimana hegemoni masyarakat industri semakin liar menancapkan “penjajahan baru”.Tidak hanya generasi muda, tetapi juga generasi tua, tidak bisa bicara banyak, dalam menghadapi tantangan-tantangan internasional seperti itu, mengingat moralitas kebangsaan kita masih berada di dalam proses penyembuhan dari penyakit jiwanya.
Makanya, opini publik mengalami kontaminasi luar biasa, bahkan sampai pada tingkat paling maniak, publik harus memendam kekecewaan yang mendalam, karena lipatan-lipatan peristiwa yang terorganisir, dalam fluktuasi yang bergelombang, tanpa bisa diduga kemana arah angin yang menuntun kapal bersar bangsa ini tertuju. Situasinya sedemikian keruh, saling tumpang tindih peran, karena masing-masing kelompok sesungguhnya berada dalam jurang ketakutan, dengan saling membangun alibi yang sangat instan.
Drama Kemelut
Drama kebangsaan itulah yang menyebabkan hilangnya prioritas kerja besar yang mesti diagendakan, berbalik tanpa skenario ke depan yang menjanjikan, keculai perubahan skenario yang serba mendadak, dan membuat berbagai kebijakan terasa gagap. Padahal ada kata bijak yang sering diungkap oleh para Ulama, “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih”, yang berarti meninggalkan atau membersihkan mafsadah bangsa ini harus diprioritaskan ketimbang reformasi. Kaidah arif ini sama seperti tergilas oleh usaha reformasi, yang muncul bukan karena sebuah TIB yang merespon masa depan, tetapi lebih sebagai eskapisme dan kekecewaan atas penidasan struktural maupun kultural di masa Orba.
Hari ini kita menghadapi tiga masalah besar yang mesti diselesaikan tanpa harus mempertimbangkan lagi toleransi-toleransi politis:
Masalah pertama, adalah robeknya spirit merah putih dalam compang camping sejarah hari ini. Merah putih yang menjadi simbol nasionalisme harus banyak ditarik oleh tangan-tangan ambisi yang sangat kotor: Kalau bukan tangan yang menginginkan merebut merah putih agar tergenggam erat di tangannya, sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diraihnya, maka merah putih malah dirobek untuk ditambal dengan warna-warni lainnya atas nama aspirasi publik di negeri yang terbuka peluang-peluang demokrasi dan HAM-nya.
Sementara watak demokrasi TIB sendiri belum mendaratkan dirinya pada landasan kebangsaan yang kokoh, dalam wujudnya yang eksistensial sebagai demokrasi khas Indonesia, sehingga simbol-simbol ideologis di luar merah putih sangat antusias untuk turut mewarnai bendera nasional kita. Lebih sederhana, sesungguhnya ada masalah ideologis saling tarik menarik antar kekuatan politik di negeri ini, ditambah dengan kekuatan politik non ideologis yang opportunis.
Masalah kedua, berkait dengan etika dan etos penyelenggaraan negara. Sampai pada kesimpulan, bangsa kita telah “mati rasa” dengan ungkapan soal etika, mulai dari anak-anak remaja sampai kaum elit di Jakarta. Kita harus jujur dan terbuka, bahwa “akhlak bangsa” kita telah tersungkur dalam degradasi watak-watak kebangsaan dari bangsa-bangsa di dunia, dalam berbagai sektor kehidupan. Kalau boleh diungkapkan dengan satu kata saja, kita hanya bisa berucap, “Astaghfirullahal ‘Adzim”, sebagai ungkapan satu-satunya bagi ketidakberdayaan moral kita.
Sebab apa yang disebut sebagai perselingkuhan moral terjadi dimana-mana, di ketiak-ketiak birokrasi, dibalik kata-kata “perjuangan” di Senayan, bahkan yang paling mengerikan ketika moral dijualbelikan di balik api konflik SARA, lalu dimanage untuk hegemoni kepentingan, tanpa sedikit pun para pelakunya merasa bersalah, karena lembaga peradilan moral kita tak pernah bergeming kecuali hanya terbatas pada teriakan-teriakan protes atas pelanggaran HAM dan formalisme-formalisme hukum yang bisa dimainkan oleh para pemegang opsi hukum di lembaga peradilan.
Drama moral kebangsaan ini, kemudian bisa kita lihat dari tiga aspek yang nyata: moral individu, moral publik dan moral aparat negara, yang masing-masing diperlemah oleh sanksi-sanksi moral dalam ketidakpastian hukum. Lalu pertanyaan yang belum bisa terjawab, karakteristik bangsa seperti apakah yang menjadi predikat kita hari ini? Lalu kapankah kita bisa disebut sebagai sosok bangsa yang bangkit dari reruntuhan moral ini?
Masalah ketiga, mengadapi globalisasi, khususnya paska tragedi Sebelas September lalu hingga bom Bali, sampai krisis Irak, bahkan krisis global baru-baru ini, yang dicemaskan berdampak ke negeri kita, lalu muncul Drama Century yang dahsyat.
Menghadapi globalisasi berarti duduk bersama dalam Tata Dunia Baru, yang sejak awal Indonesia telah dipandang sebagai bangsa dan negara yang tidak begitu penting, sehingga tidak pernah terdengar sedikit pun perjuangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang arah Tata Dunia Baru tersebut. Kalau harus memilih untuk pengambilan keputusan sejarah, bangsa Indonesia lebih memilih menjadi bangsa yang “terhibur” oleh globalisasi, ketimbang sebagai bangsa yang dihargai sama, dengan bangsa-bangsa lain.
Sebagai bangsa yang terhibur, mereka tiba-tiba telah jatuh tersungkur dalam kubangan ekonomi dan mata uang dengan waktu yang singkat dan cepat. Faktanya, bangsa kita tidak pernah serius dalam soal hubungan internasional, lalu sekali lagi hanya bisa menghibur diri dengan ungakapn-ungkapan yang membius, sebagai “bangsa besar.” Bahkan apa sesungguhnya globalisasi itu, kemana arahnya, bangsa kita tidak pernah peduli, karena memang tidak tahu, skenario yang sesungguhnya.
Kacamata Sufistik
Keluar dari tiga masalah besar tersebut, kita perlu urai masing-masing pendekatan melalui kacamata Sufistik, sebuah pendekatan dimensi moral; terdalam dari pengalaman teosofis kita, agar ada kejernihan nurani dalam memandang dimensi ke-Indonesiaan dari sisi hakiki yang selama ini terabaikan, namun sesungguhnya sangat fundamental.
Untuk solusi benturan psikhologis dibalik tarik-menarik ideologi kebangsaan, dunia Sufi memandang dari proses pergumulan ini dengan dua kaidah Sufi yang tertera dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Ulama Sufi besar satu abad paska Al-Ghazali, yang cukup relevan.
Kaidah Alhikam pertama, berbunyi, “Tanda-tanda sebuah bangsa terlalu mengandalkan nama besarnya, egoismenya, amaliahnya, adalah hilangnya optimisme masa depan di depan Allah ketika bangsa itu berbuat kesalahan.”
Kaidah Alhikam kedua, jika ditafsirkan lebih “berkebangsaan” bisa berbunyi, “Kehendak bangsa yang ingin memasuki dunia serba Ilahi, sementara Tuhan masih memposisikan bangsa itu di wilayah atau alam logika sebab akibat historis, sesungguhnya bangsa itu sedang terseret oleh emosi-emosinya yang masih tersembunyi didalam jiwa bangsa itu. Dan sebaliknya suatu bangsa yang telah diposisikan Allah untuk memandang perspektifnya dari serba Ilahi, tiba-tiba mereka memaksakan dirinya untuk terlibat dalam alam logika sebab akibat, sesungguhnya bangsa itu sedang berada dalam degradasi derajat kebangsaannya.”
Hikmah Sufi itu, menggambarkan tentang etika penyelenggaraan kekuasaan dan politik di negeri kita, agar kembali pada proporsi pandangan hidup berbangsa yang benar:
Manakah yang dijadikan dasar perjuangan ideologis, religius, hubungan-hubungan strategis dan kultur yang hendak dibangun, mengingat masing-masing saat ini berada dalam tumpang tindih yang satu sama lain saling mengintervensi. Tidak jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, mana yang masuk sebagai wilayah Ketuhanan, wilayah kemanusiaan, wilayah interaksi kebangsaan yang plural, dan mana wilayah serta tarik menarik budaya dan ideologinya.
Dunia Sufi memandang persoalan lebih bersifat deduktif, dari wilayah kedalam hakikat kultural, kemudian diwujudkan dalam kerangka besar kebangsaan, mengingat sejarah kebangsaan kita sesungguhnya mendahului sejarah kenegaraan kita. Sehingga formalisme negara, tidak akan kokoh manakala tidak mendasarkan pada kultur kebangsaannya.
Nasionalisme modern yang dijadikan wacana Tata Indonesia Baru (TIB) tidak bisa melepaskan diri dari tiga masalah besar sebelumnya: Watak ideologis; Etika penyelenggaraan negara dan Tata Dunia Baru dalam pergumulan globalisasi. Ketiganya muncul dalam kerucut demokrasi yang harus dipraktekkan dalam watak kebudayaan kita, dengan etika-etika dan kepastian hukum yang berlaku. Jangan sampai kita terjebak oleh arus besar globalisasi tanpa menyertakan perimbangan dari berbagai dimensi kebangsaan kita secara lebih demokratik, mengingat kesepakatan tentang demokrasi yang hendak kita bangun masih dalam perdebatan konstelatif yang panjang.
Misalnya, bagaimana wujud demokrasi dalam praktek birokrasi pemerintahan kita, bagaimana pula model yang akan muncul dalam praktek peradilan kita, bahkan dalam hubungan antar partai dan lembaga-lembaga tinggi negara serta hubungan internasional. Pertanyaan berikut masih harus diselesaikan menyangkut keadilan ekonomi, prinsip-prinsip Hankam yang demokratik, dan hubungan antara daerah dengan pusat dalam kerangka Otonomi Daerah.
Tiga Pendekatan
Proses-proses horisontal kebangsaan itu, menurut dunia Sufi diposisikan menjadi tiga konstelasi besar.
Pertama, konstelasi yang berhubungan dengan sistem konstitusi, sistem politik, penegakan HAM serta sistem sosial yang pluralistik ini. Inilah yang disebut sebagai sistem syar’iyat, dimana lapisan-lapisan dunia lahiriyah berinteraksi untuk kepentingan publik.
Pada sistem syar’iyat, aturan hukum -- namun bukan sebagaimana digerakkan oleh kekuatan-kekuatan formalisme syariat Islam selama ini – , kita berpijak pada gagasan besar membangun kehidupan terbuka, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Pada level inilah Allah swt, memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan kebajikan publiknya, yang kelak memberi penguatan struktural pada sistem politik, penyelenggaraan negara, dan kemakmuran ekonomi rakyat. Inilah yang disebut kaum Sufi dengan penataan kehidupan lahiriyah (Ishlahudz-Dzowahir).
Kedua, konstelasi yang berhubungan dengan sistem kebudayaan, penguatan akan keyakinan moral dan akhlak bangsa. Sistem ini disebut sebagai metode Thariqat, dimana inspirasi teologis menggerakkan etika publik dan individu. Hubungan teologis dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, hanyalah hubungan inspiratif, karenanya tidak bisa diformulasikan dalam pasal-pasal formal konstitusi. Kelak secara langsung, hubungan ini akan membentuk watak kebangsaan kita dalam sistem kebudayaan.
Konstelasi ini diperlukan mengingat kultur teologis bangsa kita sangat beraneka, satu sama lain membutuhkan akomodasi yang proporsional. Tanpa akomodasi kultural seperti itu, demokratisasi yang kita kembangkan akan mengalami kebuntuan moral, karena demokrasi hanya akan menimbang mayoritas dan minoritas untuk menentukan kalah dan menang. Jika hal demikian diterapkan di negeri ini, kekuatan-kekuatan minoritas akan tertindas oleh diktator mayoritas, sekalipun mayoritas itu mengatasnamakan Tuhan untuk legitimasi politiknya. Cara ini untuk menghindari mafioso minoritas yang ekstrim dalam tata ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana telah terjadi di masa Orde Baru dulu.
Etika kebangsaan akan berpijak pada tipikal “Thariqat” ini, yang bia dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sistem Diknas kita perlu perubahan reformatorik, bukan saja kualitas dunia kependidikan kita yang telah terdegradasi dari kualifikasi pendidikan internasional, mengingat peringkat kita telah turun derajatnya menjadi urutan sangat bawah, dibanding Vietnam yang sudah berada di urutan ke 40, dan Malaysia di urutan ke 12. Tetapi juga, dunia pendidikan kita telah kehilangan watak keluhurannya dalam membentuk watak budi pekerti generasi muda bangsa ini.
Pendidikan kita tidak memberi garansi moral para calon pemimpin dan politisi untuk memiliki etika, juga tidak menjamin seorang pengusaha dan penguasa bisa bebas dari hasrat KKN. Jika ini dibiarkan akan muncul anarkhisme moral yang sangat mengancam seluruh elemen bangsa ini, ketika moral hanya dijadikan alibi untuk menipu publik. Masya Allah!
Ketiga, konstelasi hakikat, bahwa seluruh muara membangun kebersamaan dalam berbangsa ini harus didasari oleh sebuah tujuan mulia, yaitu memandang Cahaya Ketuhanan dibalik proses bersejarah, bahwa segala muara bangsa ini dariNya, bersamaNya, menuju padaNya, besertaNya, lebur padaNya, hanya bagiNya dan bersandar padaNya. Jika terjadi sungguh sangat bercahaya bangsa ini.
KHM Luqman Hakimhttp://sufinews.com
29.5.10
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar