30.5.10
Menyingkap NU dan Perpolitikannya > Sebuah Kritik dari Gus Mus
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Minggu, Mei 30, 2010
KH A Musthofa Bisri
NAHDLATUL Ulama, seperti diketahui, merupakan jam'iyah atau organisasi yang didirikan para kiai pesantren.
Mengapa Nahdlatul Ulama, Kebangkitan Para Kiai, dan bukan Nahdlatul Umat? Sebab, tujuan semula organisasi ini memang untuk mempersatukan para kiai. Hadlratussyeikh dalam salah satu risalah beliau menyatakan antara lain: "Innal ghaayah allatii tarmii ilaihaa al-Jam'iyyah hiya tauhiidu shufuufi l ulamaa' warabthihim biraabithatin waahidah..." ("Tujuan jam'iyah ialah mempersatukan barisan para kiai dan menghimpun mereka dalam satu ikatan"). Sudah maklum bahwa kiai -terutama di zaman dulu- memiliki santri dan umat pengikut. Jadi, apabila para kiai "bangkit", otomatis para santri dan umumnya umat pengikut mereka akan ikut "bangkit". Para kiai merasa merekalah yang paling bertanggung jawab menciptakan kemaslahatan umat. Boleh jadi, karena kiai-kiai pesantren yang mendirikannya, struktur organisasi mereka ini pun disesuaikan dengan ''struktur'' pesantren.
Di pesantren, kiailah pemimpin tertinggi pengambil kebijaksanaan yang mengendalikan dan mengarahkan. Sementara, untuk urusan- urusan pelaksanaan kebijaksanaan sehari-hari, lurah pondok atau pengurus pesantren yang menanganinya. Lalu dari sinilah muncul struktur istimewa khas NU: Syuriah sebagai pihak pengambil kebijaksanaan, pengarah, dan pengendali organisasi dan Tanfidziyah sebagai pelaksana harian. Maka, ada ungkapan, "NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil."
Biasanya kiai memimpin pesantren seumur hidup. Meskipun putra, mantu, atau lurah pondoknya sudah qaari', bisa mengajar, tetap saja mereka semua tidak mungkin berebut kepemimpinan pesantren dengan kiainya. Barangkali ini sebabnya, para rais aam pendahulu " dipaksa" menjabat sampai wafatnya. Bahkan, ketika Kiai Abdul Wahab Hasbullah sudah dianggap uzur dan muktamirin lalu memilih Kiai Bisri Sansuri, Kiai Bisri dengan tegas menyatakan, selama masih ada Kiai A. Wahab, beliau hanya mau menjadi pembantunya.
Ketika Indonesia memasuki alam demokrasi dan NU dipaksa sejarah menjadi partai politik, peran tanfidziyah pun menjadi lebih dominan. Apalagi, tidak sedikit kiai pesantren (termasuk yang di syuriah) yang kurang sreg dengan politik praktis.
Sejak itu istilah syuriah- tanfidziyah mulai bergeser maknanya: Syuriah disamakan dengan legislatif dan tanfidziyah dengan eksekutif. Ketua umum sebagai orang pertama organisasi dan rais aam (yang arti harfiahnya juga ketua umum) tidak jelas atau sengaja tidak diperjelas perannya.
Tidak itu saja, pengaruh ''alam demokrasi'' (baca dunia perpolitikan) di Indonesia dengan segala kedegilan-perkembangannya, telah mempersempit ruang garapan NU yang sejak awal ingin berkhidmah kepada agama, bangsa, dan negara. Pendidikan, dakwah, dan ekonomi rakyat misalnya, nyaris terabaikan. Bahkan, NU yang semula dikenal dekat dan selalu membela kaum lemah, sebagaimana tradisi para kiai pesantren, menjadi organisasi yang tidak jelas keberpihakannya. Dirumuskan dan ditetapkannya khitah NU (dalam Muktamar XXVII di Situbondo) ternyata tidak banyak mempengaruhi 'aqliyah-politis-nya warga NU, termasuk para tokohnya. Jarang sekali yang memahami dan memanfaatkan khitah sebagai awal dari perbaikan diri serta pemulihan dan pengoptimalan amal-khidmahnya.
Alih-alih Khitah NU lagi-lagi hanya dijadikan alat politis untuk bertikai bagi sesama pemilik kepentingan. Parahnya lagi, orientasi dan praktik perpolitikan di NU hanya manjur untuk kalangan intern antar sesama orang NU. Seiring dengan perkembangan demokrasi (sekali lagi baca: perpolitikan) di Indonesia yang mengarah kepada ''demokrasi risywah'' akibat dipilihnya sistem pilihan-pilihan langsung seperti pilkades, pilkada, hingga pilpres, NU dan para tokohnya pun tidak luput dari pengaruh ''demokrasi risywah'' dan politik pragmatis.
Tokoh-tokoh NU muncul hampir di setiap kegiatan politik praktis. Dalam pemilihan umum (pileg, pilkada, pilpres) tokoh-tokoh NU tidak hanya terlibat, bahkan sering lebih menonjol keterlibatannya dari politisi: entah menjadi calon, tim sukses, atau sekadar menjadi broker (kosa kata baru di kalangan NU). Ingat waktu pilpres tempo hari, bagaimana para kiai dan tokoh-tokoh NU, termasuk mereka yang ada dalam struktur kepengurusan, dengan semangat jihad meneriakkan dukungan kepada salah satu calon.
Tidak itu saja. 'Aqliyah perpolitikan ala ''demokrasi risywah'' ternyata juga sudah menembus tubuh organisasi NU itu sendiri. Praktik-praktik yang biasa terjadi di pilihan-pilihan umum politik, seperti money politics, black compaign, dsb, sudah menjadi lumrah juga dalam pilihan-pilihan pengurus jam'iyah NU. Para calon ketua dan atau pendukungnya, sering dengan fasih menyebarkan keburukan-keburukan calon saingan; atau dengan tanpa risi, '' menyalami templek'' atau mengiming-imingi sesuatu kepada yang mau mendukung. Seolah-olah belum ada yang pernah membaca sabda pemimpin agung mereka, Rasulullah SAW, yang menyatakan bahwa ada tiga orang yang tidak akan Allah lihat, tidak Allah sapa,dan akan mendapatkan azab yang sangat menyakitkan di Hari Kiamat; salah satunya ialah orang yang -"baaya'a imaamahu laa yubaayi'uhu illaa lid dunya; fain a'thaahu minhaa radhiya wainlam yu'thihi minhaa sakhitha..."- memilih pemimpin semata-mata karena harta dan fasilitas dunia.
Puncak pengaruh perpolitikan yang demikian itu adalah apa yang terjadi menjelang Muktamar Ke-32 NU ini. Baru sekarang ini -sejak Hadlratussyeikh Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, KH Ali Maksum, KH Ahmad Siddiq, KHM Ilyas Ruhyat, sampai dengan KH M Ahmad Sahal Mahfuz- kedudukan rais aam disikapi seperti menyikapi jabatan-jabatan duniawi. Bahkan, -seperti umumnya orang memandang jabatan duniawi- jabatan itu seolah- olah sudah tidak dipandang lagi sebagai amanah, tapi anugerah. Mulai model pencalonan, dukung-mendukung, tim sukses, kampanye hitam, dan sebagainya, sudah mirip -kalau tidak persis- dengan model pilkada dan pilpres. (Saya menerima banyak sms yang menurut saya hanya pantas beredar menjelang pilihan lurah, pilkada, atau pilpres. Sama sekali tidak pantas beredar menjelang muktamar NU; apalagi sudah menyangkut pemimpin tertingginya).
Semoga Allah merahmati dan memberi hidayah kepada mereka yang menyebabkan dan membantu terjadinya hal musykil ini. Saya sedikit menitipkan penggalan pesan Rais Akbar Hadlratussyeikh Muhammad Hasyim Asy'ari yang beliau tulis 76 tahun lalu, tepatnya pada awal Syawal 1355 H untuk para kiai NU, ini: "Inna jam'iyyatanaa al- mubaarakah walillahil hamdu qad haazat iqbaalal 'awaam 'alaihaa... " (Sesungguhnya jam'iyah kita yang mubarak ini alhamdulillah telah mendapat sambutan baik dari masyarakat dan itu tidak lain karena jam'iyah kita bekerja bagi kemaslahatan mereka dan berjuang untuk kebaikan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Selain itu, karena jam'iyah kita ini merupakan organisasi yang berjalan di atas khitah As-Salafus Shalih ridhwaanullahi 'alaihim. Maka, wajib bagi setiap orang dari ulama kita untuk tidak lepas dari pikirannya masalah yang penting ini, yaitu mengupayakan kemaslahatan masyarakat, membimbing mereka, dan mengeluarkan mereka dari gelapnya kesesatan menuju cahaya hidayah dan mengentaskan mereka dari jurang kebodohan dan kehinaan menuju ke puncak ilmu dan keutamaan.
Semua itu merupakan tugas di pundak ulama kita; karena ulama adalah pembawa amanat Allah atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana tersebut dalam hadis Rasulullah SAW...).
* KH A Musthofa Bisri
(dikutip dari Jawa Pos)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar