1.11.09

Pesantren di Pentas Percaturan Ekonomi Global


Secara historis, pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang berbasis pengajaran tekstual yang eksistensinya mulai tampak pada akhir abad ke-18. Dalam istilah Gus Dur, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang melanjutkan estafet pendidikan pra-Islam. Orang pertama kali yang mendirikan pesantren di pulau Jawa adalah MaulanaMalik Ibarahim. Dalam perkembangannya, pesantren juga sangat memberikan peranan penting bagi bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat pada masa penjajahan kolonial, di mana pesantren diakui secara umum telah menjadi benteng perlawanan yang tampak pada pada kulminasi dukungan dan bantuan pada Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah. (Gus Dur, 2007 , 123). Potret historis di atas mengandung pengertian bahwa pesantren memiliki peranan dalam membentengi umat, bangsa, dan negara. Sejalan dengan peranan tersebut, dewasa ini pesantren dihadapkan pada proses globalisasi dunia, sehingga produk-produk dunia luar berupa pemikiran, budaya, teknologi, dan lain sebagainya dengan mudah dan bebas berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Indonesia. Proses tersebut, dalam istilah ekonomi dunia disebut sebagai free trade atau perdagangan bebas atau pasar bebas. Gerakan pasar ini ternyata diamini oleh banyak negara, termasuk juga negara Indonesia. Pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan adanya bentuk kerjasama di bidang ekonomi yang akrab disebut Free Trade Aggrement (FTA). Berdasar pada realitas di atas, tampak jelas bahwa masyarakat Indonesia, termasuk juga kaum santri, tidak bisa keluar dari himpitan dunia global, melainkan secara otomatis ikut bermain dalam pentas percaturan global. Pertanyaannya adalah bagaimana pesantren membangun SDM yang siap dan mampu bermain di pentas percaturan global? Tulisan berupaya menjawab pertanyaan tersebut dan bertujuan membangun kembali sikap kritis kalangan pesantren, memberikan ramuan segar dalam menyiapakan SDM para santri dan masyarakat pada umumnya. Rekonstruksi mentalitas santri Keberadaan pasar bebas di Indonesia menggugah penulis sebagai generasi bangsa untuk mengungkap secara mendalam pesan apa yang bersemayam di balik kebebasan global. Menurut hemat penulis, minimal ada dua pesan para pemilik modal asing dalam membawa produk-produk daganganya ke bumi pertiwi Indonesia. Pertama, penguasaan atau dominasi kapital. Artinya, tujuan utama para pemilik modal asing dalam menyebarkan produk dagangannya ke Indonesia adalah memiliki keuntungan sebanyak-banyaknya. Tujuan ini sangat berdampak negatif bagi pemilik modal lokal. Rasionalisasinya adalah, minat para pembeli produk lokal semakin berkurang karena produk-produk global yang memiliki kualitas lebih dan harga mudah dijangkau. Fenomena tersebut semakin tampak dan dirasakan masyarakat Indonesia, dengan hadirnya produk-produk dari China dengan harga yang sangat murah dan model yang lebih unik daripada produk global lainnya. Saat ini masyarakat lebih banyak yang memilih membeli produk produk China dengan harga terjangkau daripada membeli produk-produk lainnya dengan harga yang mahal. Dengan adanya produk global inilah, secara tidak langsung produk lokal akan termarjinalkan, dan pemilik modal lokal akan gulung tikar. Dalam konteks yang lebih luas, hadirnya produk global, akan memperkecil pendapatan ekonomi masyarakat Indonesia, bahkan akan memperpuruk kondisi ekonomi bangsa, khususnya masyarat pedesaan yang status sosialnya menengah ke bawah. Dengan mengikuti asumsi tersebut, pesantren yang berbasis pedesaan dan masyarakat menegah ke bawah juga akan mengalami keterpurukan ekonomi sehingga tidak mampu mengawal pendidikan masyarakat kearah yang lebih maju dan berkualitas. Kedua, dominasi tradisi dan budaya, yaitu perebutan akar-akar tradisi lokal, dan kemudian diinjeksikan tradisi global. Dominasi ini akan berdampak hilangnya bangunan moralitas bangsa Indonesia. Berbicara tentang tradisi, pesantren yang kerap menyuarakan dan menanamkan tradisi-tradisi lokal keagamaan, dengan adanya pasar bebas juga terganggu eksistensinya. Hal ini disebabkan tradisi global yang ditawarkan bersifat adaptif dengan zaman. Masyarakat yang sudah terlena oleh zaman modern, akan semakin gandrung menikmati produk-produk global yang diklaim sebagai bagian dari modernitas. Mereka asyik menikmatinya tanpa berpikir dampak yang akan terjadi pada pencerabutan akar tardisi. Misalnya kehadiran produk fashion dari Eropa dan China yang modelnya sangat mencerminkan keterbukaan, saat ini banyak dilirik dan dinikmati masyarakat Indonesia, bahkan tidak jarang juga dipakai oleh kalangan pesantren. Kenyataan di atas, secara implisit bisa dikatakan telah berhasil merebut tradisi atau mendominasi tradisi lokal yang dipopulerkan kaum pesantren, yaitu busana muslim. Dari dua pesan dominatif dalam perdagangan bebas tersebut, pesantren sebagai benteng bangsa, khususnya umat Islam, harus kembali merebut akar tradisi tradisi lokal yang telah dibangunnya dengan membangun dan mempersiapkan sumber daya manusia para santri, sehingga mampu beradaptasi dengan realitas global. Untuk mengawal tujuan mulia tersebut, penulis dalam tulisan ini ingin menawarkan metode penggalian atau pemantapan SDM yang berpijak pada tradisi lokal. Metode yang dimaksud adalah daurah tsaqofah yaitu manajerial kebudayaan yang dilakukan untuk membangun mental intelektual dan spiritual, berpikir terbuka, mampu mengembangkan potensi diri dengan tetap berpijak pada tradisi, diramu dengan model kekinian sesuai perkembangan zaman, bersifat istiqomah, bertahap, dan sistematis.oleh: AHMAD NUR Ketua Lakpesdam NU, dan PK3 STAI Nurul Huda Situbondo

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!