1.11.09
Pergeseran Nilai di Pesantren > Sebuah Tela'ah
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Minggu, November 01, 2009
Pesantren kini mengalami banyak kemajuan. Di antara kemajuannya adalah, madrasah-madrasah di lingkungan pesantren semakin mengejar ketertinggalannya dengan sekolah-sekolah umum. Dalam hal ilmu agama, pesantren memang menjadi basis bagi identitas moral. Sayangnya, di tengah masyarakat banyak lulusan-lulusan pesantren yang tidak memiliki akses yang luas di dunia kerja. Karena itu, Program Beasiswa di berbagai Perguruan Tinggi terkemuka di Indonesia yang disediakan oleh Direktorat Pondok Pesantren tentu menjadi salah satu peluang bagi para alumni pesantren. Namun demikian, seringkali program-program seperti ini tidak tepat sasaran. Hal ini disebabkan karena, pihak pesantren sendiri kurang mendapatkan akses informasi tentang kebijakan pemerintah. Sementara itu, biasanya perekrutan calon penerima beasiswa dilakukan melalui Kantor Wilayah Depag. Dari berbagai style pondok pesantren yang ada, justru antara satu pondok dengan pondok yang lain terjadi perpecahan. Meskipun banyak orang mengatakan bahwa perpecahan semacam itu membantu meningkatkan suhu kompetisi di kalangan pesantren. Dan dengan meningkatnya kompetisi diharapkan saling berlomba- lomba dalam hal kebaikna. Kalau memang kompetisinya mengarah pada kebaikan, tentu hal itu dapat kita dukung. Akan tetapi, dalam beberapa kasus, justru perpecahan di pesantren semakin melemahkan mutu pendidikan di pesantren. Perpecahan di pesantren disebabkan karena adanya perbedaan keinginan, kebutuhan dan kepentingan pada akhirnya memunculkan kesalingtidakpercayaan di antara para pengasuh pondok pesantren. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Karena, antar-kiai seharusnya saling mendukung satu sama lain. Terlebih lagi, belakangan ini ada semacam fenomena baru dalam kancah pesantren. Sebelum Gus Dur menjadi presiden ada istilah ”Kiai Langitan”, tetapi sekarang ini muncul istilah ”Kiai Kampung”. Dalam pemahaman kita, Kiai Kampung biasanya berpegang teguh pada silsilah tertentu—jaringan kiai antar satu pesantren ke pesantren lainnya. Kenyataan ini tentunya harus dipahami sebagai bagian dari dinamika politik. Perbedaan kepentingan di pesantren-pesantren yang kemudian mengarah pada perpecahan, pelemahan persatuan dan kesatuan menjadi keprihatinan Direktorat Pondok Pesantren, meskipun hingga saat ini belum ditemukan pemecahannya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Direktorat Pondok Pesantren untuk menanggulangi perbedaan di kalangan pesantren adalah, misalnya dengan memberikan ”bantuan halaqah”. Bantuan diarahkan untuk dilaksanakan secara bersama-sama oleh lebih dari dua pesantren. Misalnya, anggaran untuk halaqah sebesar Rp. 30 juta yang dilaksanakan oleh tiga pesantren, sehingga masing-masing pesantren mendapatkan anggaran halaqah sebesar Rp. 10 juta untuk satu halaqah. Cara ini memang belum menunjukkan hasil, tetapi yang jelas, perpecahan di antara pesantren-pesantren sangat menjadi keprihatinan bersama. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah kajian yang diselenggarakan oleh LDNU (Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama) Masdar F. Mas’udi mengatakan, ke depan ikon kajian-kajian keislaman akan diarahkan di masjid-masjid, bukan lagi di pesantren. Padahal, masjid tidak selamanya berada di pesantren. Walaupun setiap pesantren pasti memiliki masjid. Ketika ikon keislaman berpusat di masjid, tentu saja pesantren akan semakin kehilangan akses dengan masyarakat. Hal ini tentu saja bukan sebuah kemunduran. Hanya saja, pesantren kemudian disadari telah mengalami penurunan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, khususnya dalam kaitannya pesantren sebagai ikon budaya dan basisnya para ulama. Setelah ditinggalkan oleh banyaknya sesepuh pesantren, tampaknya banyak pesantren yang semakin sulit menjumpai ulama yang bisa diteladani secara lahir dan batin. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Ditpontren, sekarang ini ada sekitar 15.000 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam hal ini, upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pesantren menjadi concern Ditpontren. Salah upaya yang dilakukannya adalah dengan turut serta menguatkan Ma’had Ali di pondok pesantren. Melaui program-program yang diselenggarakan ke depan Ma’had Ali akan dirangsang agar lebih qualified , sehingga dapat berkompetisi dengan perguruan-perguruan tinggi yang ada di luar pesantren. Di antara program-program yang diselenggarakan adalah program halaqah, empowering, lomba karya ilmiah dan sebagainya. Dengan adanya Ma’had Aly di pesantren-pesantren di harapkan ke depan pesantren kembali menjadi ikon budaya. Kalau dulu para ulama mampu menulis kitab kuning yang dibaca di seluruh dunia, maka melalui Ma’had Aly ini diharapkan akan muncul para mu’allif atau mushannif (pengarang, -red.) yang juga karyanya dapat dibaca di seluruh dunia. Tentunya dengan karya-karya berbahasa Arab, baik dengan model kitab kuning yang dikaji di pesantren-pesantren maupun dengan bahasa Arab “kitab putih” yang disusun secara lebih sistematis. Suwendi, M.Ag Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berlaku sebelum diorbitkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, belum pernah menyebutkan nomenklatur tentang keberadaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Padahal, pesantren sudah hadir di Nusantara sejak lama. Bahkan dalam sebuah sumber dikatakan, bahwa pesantren mulai tumbuh semenjak datangnya Islam di Nusantara. Dengan kata lain, pengakuan ( recognize ) tentang keberadaan pesantren masih sangat lemah. Pesantren baru masuk dalam Sisdiknas bersamaan dengan diberlakukannya UU No. 20 Tahun 2003. Narasumber telah menjelaskan beberapa kebijakan pemerintah, dalam hal ini oleh Ditpontren. Informasi yang tadi telah dikemukakan narasumber tentu saja penting bagi pesantren. Hanya saja masalahnya, banyak hal yang ternyata tidak menyentuh dunia pesantren sendiri. Karel A. Steenbrink dalam sebuah penelitiannya menyebutkan, ada sebuah pergeseran yang terjadi di dunia pesantren. Dulu intelektualitas pesantren disimbolkan dengan adanya palabelan Kiai Haji (KH), tetapi setelah ada regulasi pemerintah di pesantren telah menimbulkan perubahan pelabelan menjadi Doktorandus (Drs.) Sadar atau tidak, suatu saat nanti label KH. akan berubah menjadi Profesor Doktor (Prof. Dr.). Hal semacam ini tampaknya sudah terjadi di dunia pesantren. Yang menjadi masalah adalah, dikhawatirkan akan terjadi disorientasi para lulusan pesantren yang semula lebih pada orientasi intelektualitas, lalu setelah ada kebijakan negara berubah pada orientasi pengakuan pemerintah, seperti labelisasi akademis dan sebagainya. Karenanya, dapat diperkirakan, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, label KH akan sangat langka dijumpai di lingkungan pesantren. Dalam konteks ini, ide untuk menyetarakan Ma’had Aly yang ada di pesantren dengan perguruan tinggi lainnya akan menimbulkan sejumlah persoalan di kalangan pesantren sendiri. Drs. H. Thabrani Sekarang ini pesantren semakin tidak laku di pasaran. Karena, model pendidikan yang sekarang laku adalah yang disponsori oleh ” orang-orang umum”, kemudian bergaya pesantren, ketimbang orang-orang pesantren yang sulit mendapatkan pekerjaan. Bahkan, tidak sedikit para kiai pesantren yang masuk penjara. Pernah suatu ketika ada seorang kiai yang ditawari untuk membuat pesantren. Kiai itu menjawab, ”Membuat pesantren adalah pekerjaan yang mudah. Yang sulit adalah menghidupi pesantren, karena rata-rata orang yang belajar di pesantren umumnya berlatar belakang ekonomi bawah. Sehingga, kalau ada tanah misalnya 2 hektar, maka langkah pertama adalah dengan membuat sarana untuk menghidupi pesantren, baru membuat pesantren. Masalah lainnya yang sekarang menggejala di pesantren adalah, hilangnya identitas pesantren di sejumlah pesantren terkemuka di Nusantara. Misalnya, manakah sesungguhnya yang disebut dengan Pesantren Babakan, Buntet, dan sebagainya? Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh fragmentasi yang terjadi di banyak pesantren yang ada, sehingga sulit sekali menemukan jati diri pesantren yang sesungguhnya. Dari berbagai masalah yang ada di pesantren, semuanya mengarah pada penurunan mutu pendidikan keluaran pesantren. Harapan kita bukan menjadikan pesantren sekarang seperti terdahulu, tetapi bagaimana mengembangkan pola-pola pendidikan pesantren untuk meningkatkan mutu pesantren ke depan. Sebab, sekarang ini tampaknya dari sisi kualitas pesantren mengalami masa surut. Jadi, salah jika ada yang mengatakan pesantren mengalami masa pasang surut, karena yang terjadi adalah surut yang terus berlanjut. Biarkanlah pesantren itu ada, tetapi tidak perlu mengembalikan pesantren seperti pesantren masa lalu. Yang penting adalah lulusan pesantren dapat mewarnai kehidupan masyarakat. Pesantren dari dulu tidak mendahulukan simbol, tetapi mementingkan praktek keseharian. Sehingga, masyarakat akan semakin menerima keberadaan lulusan pesantren. Tradisi pesantren bukanlah satu penghalang untuk maju ke depan. Dr. ‘Ainurrafiq Dalam pergaulan pesantren terdapat semangat kebersamaan yang sangat kental. Akan tetapi, setelah menginjak masa mahasiswa, semangat itu tidak terasa lagi, sekalipun para alumni sudah tergabung dalam sebuah gerakan mahasiswa. Semangat kebersamaan ini terus berkurang, seiring dengan menanjaknya kiprah para lulusan pesantren. Biasanya, kalau seseorang menjadi Eselon I, ia mencoba untuk mengembalikan dirinya layaknya masih dalam masa pendidikan di pesantren. Ini disebabkan karena Eselon I biasanya jumlahnya sedikit. Yang menjadi keprihatinan adalah, kenapa semangat kebersamaan yang terbangun di pesantren itu tidak berlanjut hingga para alumninya berkiprah di bidangnya masing-masing. Sampai sekarang belum ada satu formula yang mampu mengembalikan semangat senasib seperjuangan para alumni pesantren yang sudah berkiprah di tengah masyarakat. Padahal, kalau para alumni pesantren yang sudah berkiprah tersebut masih menjaga jaringan dan semangat kebersamaannya, maka mereka dapat memanfaatkan peluang-peluang politis dalam rangka meningkatkan mutu pesantren dan memberdayakan lulusannya. Ahmad el Chumaedy Modal sosial yang terdapat dalam dunia pesantren yang tidak ditemukan di lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah adanya networking dan nilai-nilai luhur yang sudah establish di pesantren, misalnya keikhlasan dan semangat kemandirian. Jejaring ( networking ) pesantren sudah ada semenjak pesantren itu ada di Nusantara. Hal ini misalnya dapat diperhatikan dari hubungan yang terjalin antara satu pesantren dengan pesantren lainnya berdasarkan interaksi intelektual yang dilakukan oleh kiai dan santrinya. Dulu orang yang belajar di pesantren tidak hanya pergi ke satu pesantren, tetapi juga ke beberapa pesantren lainnya. Jadi, ada semacam perjalanan intelektual ( rihlah ilmiyah ) yang dilakukan oleh santri dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Sehingga, hal ini tentunya dapat memperkaya keilmuan kader ulama yang mendalami ilmu agama. Sayangnya, tradisi pesantren semacam ini mengalami pelemahan yang luar biasa parah. Bebagai kemunduran yang terdapat di dunia pesantren ditengarai karena munculnya modernisasi di dunia pesantren. Dengan meminjam konsep Max Weber, modernisasi (rasionalisasi) ditandai dengan adanya institusionalisasi terhadap pranata-pranata sosial yang ada di tengah masyarakat. Pesantren adalah salah satu pranata sosial yang memiliki basis nilai yang sangat kuat. Dalam pandangan Gus Dur, pesantren adalah sebuah subkultur yang mempunyai sistem nilai tersendiri—dalam hal ini berbasis pada nilai-nilai keislaman. Dengan sistem nilai yang dibangunnya itu pesantren mampu melakukan pencerahan terhadap masyarakat di sekitarnya. Namun, modernisasi pesantren dengan sangat efektif telah melunturkan nilai-nilai luhur yang ada di pesantren. Dengan kata lain, pesntren kini telah tergerus oleh modernitas. Ini ditandai dengan terbentuknya institusi-institusi formal di pesantren- pesantren. Hal ini tentu saja menimbulkan proses pelemahan modal sosial di pesantren-pesantren semakin tidak terkendali. Dari sini dapat dikatakan, bahwa kemunduran yang ditengarai terjadi di pesantren tidak semata-mata terjadi dengan sendirinya, tetapi lebih disebabkan karena ada skenario besar yang telah merasuk di tubuh pesantren, yaitu yang disebut dengan modernisasi—dalam pengertian sekularisasi—di pondok pesantren. Di sinilah kemudian dibutuhkan adanya respons dari kalangan pesantren untuk tidak hanya mengembalikan tradisi pesantren, tetapi juga ruh yang ada di pesantren yang selama ini membuat pesantren tetap survive dan dapat mencerahkan moralitas masyarakat. Suwendi, M.Ag Salah satu karakiteristik dari modernisasi adalah adanya penguatan terhadap budaya formal. Sementara wujud dari formalisasi adalah adanya institusionalisasi—sebuah proses pembentukan kelembagaan menjadi sangat resmi. Sehingga wajar jika dikatakan bahwa di satu sisi pesantren adalah sebuah kultur tersendiri, bahkan dikatakan Gus Dur sebagai subkultur. Akan tetapi, ketika pesantren berhadapan dengan modernisasi menyebabkan hilangnya ruh pesantren. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim PPIM ( 2000) , diulas tentang proses demokratisasi di pesantren. Modernisasi pada dasarnya berupaya untuk mewujudkan demokratisasi. Salah satu yang dihadapi isu demokrasi sekarang ini adalah pesantren, karena di dalam pesantren terdapat kiai yang mempunyai kharisma yang sangat tinggi. Padahal, ketika kharisma sangat menonjol akan berakibat pada lemahnya demokratisasi. Namun, dari hasil penelitian tersebut diungkapkan, ternyata lebih dari 80 % masyarakat pesantren sangat demokratis. Dengan kata lain, potensi untuk menghidupkan nilai-nilai demokrasi di pesantren sangat besar.*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar