10.2.10
Gus Dur dan Joke
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Rabu, Februari 10, 2010
Meskipun KH Abdurrahman Wahid sudah wafat, masyarakat Indonesia dan dunia tidak akan pernah kehilangan sosok yang akrab disapa dengan panggilan Gus Dur itu. Jasadnya yang ringkih dengan berbagai penyakit memang telah terkubur, tetapi amal, jasa, dan kepribadiannya akan tetap hidup. Berbagai kalangan, terutama dari lingkungan keluarga dan nahdliyin, telah mencanangkan niat untuk meneruskan perjuangan Gus Dur. Mereka bahkan telah menyusun serangkaian program yang membuat pikiran dan perjuangan Gus Dur dapat dipelajari menjadi teladan bagi generasi muda bangsa. Manusia Sanguine Di antara keteladanan Gus Dur adalah kecerdasan, kesederhanaan, keberanian, ketegaran, dan kepribadiannya yang terbuka. Keterbatasan fisik tidak menjadikan Gus Dur seorang yang melankolis, minder, dan inferior. Mengikuti teori kepribadian Hans Eysenck (1970) , Gus Dur adalah tipe manusia sanguine. Eysenck membagi kepribadian manusia menjadi empat tipe: melancholic, phlegmatic, choleric, dan sanguine. Dua tipe yang pertama termasuk dalam kategori introverted ( tertutup), sedangkan dua tipe yang terakhir termasuk dalam kategori extraverted (terbuka). Dalam kamus psikologi, sanguine berarti bloody: sosok yang optimistis, penuh semangat, dan hangat. Menurut tipologi kepribadian Eysenck, manusia tipe sanguine memiliki delapan karakteristik: sociable (suka bergaul), outgoing (peramah), talkactive (banyak/suka bicara), responsive (cepat tanggap), easy going (supel, tidak suka repot- repot), lively (lincah), carefree (periang, tanpa beban), dan leadership (pemimpin).
Seperti dikemukakan banyak tokoh, salah satu kelebihan Gus Dur adalah pikirannya yang terbuka dan suka bersilaturahmi. Buya Syafii Maarif, mantan ketua umum PP Muhammadiyah, secara eksplisit mengatakan betapa dirinya kalah dibandingkan dengan Gus Dur dalam hal silaturahmi. Saking gemarnya bersilaturahmi, Gus Dur merupakan Presiden Indonesia yang memecahkan rekor kunjungan ke luar negeri. Seakan tidak peduli dengan besarnya anggaran negara yang harus dibayar, Gus Dur tetap menjadwalkan kunjungan ke luar negeri. Karena itu, semasa pemerintahan Gus Dur, beberapa kalangan membuat joke: jika Presiden Soekarno mengurangi sila Pancasila menjadi trisila atau bahkan satu sila, yaitu gotong royong, Gus Dur menambah sila dasar negara menjadi enam, yaitu silaturahmi. Gus Dur adalah sosok yang egalitarian. Sikap egalitarianisme itu tecermin dari kepribadiannya yang humoris.
Gus Dur tidak hanya suka membuat joke yang menyindir orang lain, tetapi juga dirinya sendiri. Gus Dur tidak hanya membuat orang lain tertawa, tetapi juga menertawakan dirinya. Ketika masih menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak sepi dari tudingan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Gus Dur diduga terlibat kasus Buloggate, sebuah kasus yang membuatnya lengser. Di tengah tekanan politik, Gus Dur menyikapi tuduhan KKN dengan enteng. Dalam sebuah pengajian di depan warga nahdliyin, Gus Dur membuat joke: ”Semua Presiden Indonesia KKN. Presiden Soekarno KKN: kanan kiri nyonya. Presiden Soeharto KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Presiden Habibie KKN: kecil-kecil nekat. Nah, saya juga KKN; kanan kiri nuntun.” Karena sikapnya yang suka humor itu, Gus Dur diterima oleh hampir semua kalangan. Bagi Gus Dur, joke memiliki makna lebih dari sekadar menghibur. Sebagaimana ditulis dalam buku Melawan Melalui Lelucon (Tempo, 2000) , joke adalah salah satu media kritik. Sebagai seorang budayawan, Gus Dur sangat piawai mereka-reka cerita yang sarat kritik pedas, tetapi tetap jenaka dan santun.
Salah satunya adalah joke tentang seorang priyayi kota yang terperosok jurang/kolam. Ceritanya, suatu ketika seorang priyayi kota berjalan-jalan ke kampung. Karena tidak menguasai medan, sang priyayi terperosok ke jurang. Berkali-kali sang priyayi berteriak minta tolong. Dalam posisi yang sekarat, datanglah seorang petani desa memberikan pertolongan. Merasa dirinya sudah diselamatkan, sang priyayi menawarkan ” imbalan” kepada sang petani. ”Sebagai balas budi, Bapak boleh mengajukan permintaan apa saja kepada saya.” Dengan sangat tulus, petani menjawab,”Saya tidak minta balasan apa-apa dari Bapak.” ”Saya ini orang mampu, silakan Bapak mengajukan permintaan,” desak priyayi kota. Karena terus-menerus didesak, akhirnya petani desa menyampaikan permohonan, ”Saya cuma minta satu hal. Jangan laporkan kepada Pak Soeharto kalau saya sudah menolong Bapak.”
Joke ini disampaikan Gus Dur sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan Presiden Soeharto yang represif. Pemerintahan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tidak memberikan kebebasan berpendapat. Banyak aktivis yang ditangkap karena mengkritik pemerintah. Rakyat hidup dalam ketakutan. Seseorang yang berkata benar, kalau bertentangan dengan pemerintah, bisa masuk bui. Joke petani desa itu menggambarkan betapa pada masa Presiden Soeharto, orang berbuat baik pun ketakutan. Begitulah strategi kultural Gus Dur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar