26.3.10
KH.MA.SAHAL MAHFUDH: Kaderisasi mandek,Banyak kader petualang.
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Jumat, Maret 26, 2010
Kehadiran KH M.A. Sahal Mahfudh di Muktamar ke-32 NU Makassar menunjukkan betapa kesehatan beliau sangat prima. Selain seluruh agenda diikuti, juga menerima para tamu, termasuk Duta Masyarakat. Berikut hasil wawancara khusus dengan KH M.A. Sahal Mahfudh: Assalamualaikum, bagaimana kabar Kiai? Waalaikumussalam. Alhamdulillah, baik- baik saja. Sehat wal-afiat. Apa arti strategis paling penting bagi muktamar di Makassar ini? Paling tidak ada dua hal yang sangat strategis. Pertama, berkaitan dengan lokasi. Selama ini muktamar diadakan di Jawa, sekarang di luar Jawa. Sehingga mempunyai strategi pendekatan yang sangat hati-hati karena NU luar Jawa itu NU politik. Sementara NU kita ini khittah. Toh dilaksanakan di sini, ini suatu strategi. Kedua, tentu ke depan kita harus mulai pertimbangkan. Sebab terus terang selama ini istilah kembali ke Khittah 1926 kosong. Masih banyak tokoh dan para ulama yang tidak bisa meninggalkan peran politik. Termasuk mengkait-kaitkan NU baik itu masuk dalam pimpinan struktural maupun bukan. Dan ini perlu dipertimbangkan. Mungkin perlu ada reaktualisasi khittah? Apapun istilahnya, terserah. Menurut saya memang perlu dipertimbangkan ulang. Kalau memang kita tetap berpegang pada Khittah 1926 yang beneran, ya harus konsekuen. Semua aparat dari lini mana pun harus bertanggung jawab termasuk para ulama yang tidak dalam struktural. Bagaimana sikap PBNU terhadap kader muda yang cara berpikirnya dianggap ‘kebablasan’? Kalau bicara dari sisi PBNU tentu saja tidak bisa mentolelir. Tetapi kalau sekarang bilang PB kan susah, karena pengaruh orang beda-beda. Ke depan susah juga. Karena pemikiran mereka akan mempengaruhi citra PBNU itu sendiri. Jadi harus berpegang NU yang konsekuen sebagai jamiyyah? Terserah. Maka harus dipikir ulang. Amburadulnya pemikiran- pemikiran sekarang ini di satu sisi masih getol NU, ini positif. Tapi di sisi lain ada yang tidak boleh tidak harus khittah, khittah murni. Meskipun kecil. Katakanlah, saya sendirian memperjuangkan khittah murni itu. Khittah yang semestinya? Khittah semestinya kembali ke ajaran khittah itu sendiri. Yaitu mengembalikan NU sebagai jamiyyah-diniyyah-ijtimaiyyah. Organisasi sosial keagamaan. Tidak ada politik. Dan sebetulnya sikap itu sebagai langkah politis tersendiri. Lantas bagaimana sikap politik warga NU? Di sini warga NU memperoleh kebebasan untuk bersikap sesuai dengan nuansa politik yang mereka cenderungi. Itu lebih bebas jangan terikat pada pengaruh kiai atau perintah kiai atau takut kuwalat dengan mertua atau kiai untuk melampiaskan misi-visi politiknya. Berhasilkah? Ya. Tapi kan belum tentu dianggap tepat pilihan. Tapi kenyataannya banyak yang memilih ke partai sekuler? Itu yang disesalkan. Itu yang dikatakan belum tepat pilihan. Harusnya yang idealis. Yang bebas mutlak kan tidak ada. Dalam pemerintahan sekarang, beberapa menteri merupakan kader NU. Apa pengaruhnya? Bagi NU, sebenarnya yang dikejar bukan posisi. NU bukan mengejar posisi. Tetapi ingin mendudukkan fungsi dan misi. Soal posisi itu no problem. Apakah jadi menteri atau tidak. Meskipun menterinya NU, kalau aspirasinya tidak NU ya apa artinya? Ada yang mengibaratkan NU sebagai kendaraan yang kelebihan penumpang. Sehingga banyak kader yang lompat pagar. Karena sebagai kader dia masih berpikir soal posisi. Bila tidak memperoleh posisi lantas pergi. Bukan hanya posisi, tetapi apa- apa harus ‘saya’. Masih ada yang begitu. Sistem pemilihan rais am dan ketua tanfidziyah seperti selama ini sudah cukup? Sebenarnya sudah cukup. Apalagi sudah ada kontrak politik untuk ketua tanfidziyah. Hanya selama ini kontrak tidak difungsikan. Kontrak ini memang lemah. Karena di dalam kontrak tidak ada janji-akibat. Sanksi tidak ada. Kalau kontrak ini ada sanksinya bagus. Karena itu rais am tidak bisa menindak ketua tanfidziyah apabila melanggar? Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena sama-sama dipilih muktamar. Jadi...? Nggak sesederhana itu. Harus dilihat, rais am-nya itu temperamental, sering mencaci orang atau dia demokratis. Lantas apa yang perlu dibenahi bagi NU ke depan? Secara organisatoris terus terang paling berat. Pembenahan organisasi masih berat. Karena semuanya belum bisa melakukan satu sistem organisatoris. Belum serempak. Jadi masih sendiri- sendiri. Orang masih berpikiran terserah. Jadi harus dibangun kembali karakter warga NU? Bukan hanya sekedar orangnya tetapi sistem. Siapa pun yang masuk di sistem itu harus disiplin dan taat. Konkretnya... Contoh posisi syuriah. Sekarang ini didominasi oleh wibawa dan kealiman seseorang. Bukan sistem. Saya berharap sistem. Jadi bukan karena saya. Saya sendiri ingin, suatu kebijaksanaan bisa jalan bukan karena saya, tetapi karena rais am. Syuriah benar- benar merupakan lembaga. Posisi syuriah menjadi kuat karena tim. Tampaknya perlu pembatasan yang tegas di internal organisasi? Pembatasan itu mutlak. Kalau tidak, bisa overlap antara bagian badan otonom dan lembaga-lembaga lain yang masih dalam struktur setingkat. Keberhasilan penting apa saja yang telah dicapai periode ini? Hanya bertahan pada tidak terlalu politik. Untuk mengendalikan sama sekali tidak terlalu politis, tidak bisa. Kiai risau melihat NU masih diseret-seret ke ranah politik? Saya berharap yang terjun ke politik ya jangan terus bawa-bawa NU. Partai janganlah selalu mengidentikkan dengan NU. Harus lepas. Historis, atau apa itu tidak usah. Yang politik ya politik. Dia mampu atau tidak. Terakhir kiai, banyak yang mengeluhkan kaderisasi tidak ditangani serius? Kaderisasi memang tidak jalan. Harus secepat mungkin ditangani. Memang sulit karena harus dari bawah. Selama ini tidak ada, yang ada hanya nemu saja. Akhirnya banyak kader yang petualangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar