30.3.10

Muktamar NU,Gus Ulil dan JIL


Empat tahun “menghilang” ke Amerika Serikat, Ulil Abshar-Abdalla pulang ke Indonesia dan melempar kejutan. Dia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-32, Januari mendatang. Menurut Ulil, Nahdlatul Ulama sudah berubah dan saatnya dipimpin orang yang lebih muda. “Tentu dengan dukungan kiai-kiai senior,” katanya. Kepada para senior di Nahdlatul Ulama ini, Ulil juga siap menjelaskan berbagai pendapatnya yang dianggap kelewat liberal. Dia mengatakan pikiran dan kritiknya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Untuk melaksanakan niatnya, ia melakukan dialog dengan kalangan NU dan pesantren. Ulil berdialog bersama Forum Kiai Muda, di antaranya, KH Abdullah Syamsul Arifin dari Jember, Ustad Romli, Syaichul Islam, Dr M Mas’ud Said, dan KH Abdurrohman Navis. Setelah memberikan ceramah di Masjid At-Taqwa, Rewwin Waru Sidoarjo, menantu KH A Mustofa Bisri ini memanfaatkan sebuah forum yang digelar di Pesantren Bumi Sholawat asuhan KH Agoes Ali Masyhuri, Tulangan Sidoarjo, Minggu (11 /10) kemarin. Para kiai muda NU yang selama ini berbeda pendapat terkait JIL ( Jaringan Islam Liberal) yang dikomandoi Ulil dimaksudkan sebagai tabayun (penjelasan mengenai suatu masalah), dan debat terbuka. Tujuan dilaksanakan acara tersebut untuk membudayakan tabayun di kalangan warga nahdliyin sekaligus memberi pelajaran terkait berbagai perbedaan yang ada. “Sebagai orang tua, saya ini harus bisa mengayomi siapa saja. Salah satunya dengan membudayakan forum tabayun dan menjauhkan dari caci maki dan sejenisnya,” kata KH Agoes Ali Masyhuri, pada Duta, kemarin. Memang, lanjutnya, dalam pertemuan itu tidak diharapkan adanya titik temu, namun paling tidak sudah ada ruang untuk bertemu untuk berdialog. Di antara yang cukup menarik, adalah kehadiran Ustadz Romli dan Syaichul Islam yang tengah menimba ilmu di Mesir. Sedangkan Uli sendiri pada kesempatan tersebut melakukan debat dengan meyakinkan. “Berbagai perbedaan itu sangat biasa dan tidak perlu diributkan. Bila ada yang kurang tepat harus dibenarkan dan jauh dari pengadilan. Sebab, kesemuanya itu adalah aset NU. Namun yang perlu diketahui dan diingat terkait hal-hal yang bersifat aqidah dan konsep wahyu merupakan hal yang sangat sensitif. Hal ini perlu dimengerti. Kalau sudah ada pengertian dengan sendirinya tidak akan terjadi caci maki, namun terjadi tabayun,” kata Gus Ali, yang juga Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim. Ada yang menilai, Ulil nekat bila mengincar kursi PBNU. “Bukannya sombong, saya rasa modal saya memadai. Saya punya pendidikan pesantren yang baik, mengaji fikih sesuai dengan hierarki pesantren, punya pemahaman kitab kuning cukup baik. Saya lulus dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan punya pendidikan Barat. Saya juga lahir dari keluarga NU dan berkiprah di NU cukup lama,” tutur Ulil Abshar-Abdalla. Untuk maju sebagai ketua umum, memang perlu restu kiai, seperti kiai Langitan, Tebuireng, dan Asembagus. Bagaimana penerimaan pesantren-pesantren itu terhadapnya. Ia pun memang baru pergi ke Asembagus, Situbondo dan bertemu beberapa kiai. Ia yakin bakal mendapat restu dari kiai pesantren. Memang ada yang beranggapan Ulil berikiran terlalu bebas. Tapi, ia yakin mereka bisa paham kalau dijelaskan. Apalagi, sebagian kalangan NU merespons negatif Jaringan Islam Liberal (JIL). Dan itu, jelas tak menguntungkan pencalonan Ulil. “Pencitraan negatif itu datang dari luar NU dan merembes ke NU. Saya ingin mengubah citra itu. Pikiran dan kritik saya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok- kelompok radikal di Indonesia. Bagi saya, liberal juga bukan berarti bebas tanpa batas. Saya akan berusaha mendekatkan ide-ide saya dengan bahasa NU. Di NU sendiri sebenarnya banyak sekali tradisi liberal. Dalam kasus bunga bank, misalnya, tak ada keputusan final bahwa bunga bank termasuk riba yang haram. Ada tiga pendapat di NU,” kata Ulil Abshar-Abdalla. Adakah ia punya pendapat soal perlunya reformasi di tubuh NU. “ Menurut saya, NU ke depan bukan hanya milik muslim tradisional. Tantangannya adalah bagaimana mendekatkan NU ke kelas menengah kota dan bagaimana berhadapan dengan kelompok radikal. Diaspora kaum muda NU juga sudah sedemikian luas, tak hanya di pedalaman, tapi juga di kota-kota besar. Jumlah mereka besar. Banyak juga yang bersekolah hingga ke berbagai negara, dari Mesir, Saudi, Pakistan, hingga Inggris dan Amerika. Ini yang harus diperhatikan NU di masa depan. Dan saya kira untuk merangkul mereka dibutuhkan pemimpin muda,” tuturnya seraya tertawa. Pada bagian lain, Ulil menilai kecenderungan NU yang kerap tergiur terjun ke politik. Menurutnya, hal Itu memang masalah besar. Aura partai memang merusak langgam NU. NU memang sulit berpisah dengan politik karena, sebagai ormas besar, bobot politiknya juga besar sekali. “Idealnya sih kiai memang tidak berpolitik. Seperti kata Arief Budiman, mereka harusnya menjadi cendekiawan di atas angin. Tapi okelah, tantangan ke depan, bagaimana NU menempatkan diri secara proporsional,” kata Ulil. Ulil Abshar-Abdalla (lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967) adalah seorang tokoh pemikir Islam di Indonesia. Ulil berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang. Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Rois Am PBNU periode 1994 1999). Pernah nyantri di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari’ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Meraih gelar S2 di Universitas Boston, Massachussetts, AS. Saat ini menyelesaikan studi program Ph.D (doktor) di the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Universitas Harvard, AS. Gus Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi ( ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Jaringan Islam Liberal yang dipimpinnya adalah sebuah kelompok diskusi yang sering menyuarakan upaya liberalisasi tafsir Islam. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (sumber : dutamasyarakat.com)

3 komentar:

Istifadah mengatakan...

Pada bagian lain, Ulil menilai kecenderungan NU yang kerap tergiur terjun ke politik. Menurutnya, hal Itu memang masalah besar.
Kepangan omongane dewe. Ya opo rek?

awah mengatakan...

hati2 agen asing mau memecah belah muslim

sulist mengatakan...

Hati2 NU, drusak sama Ulil dg Jaringan Iblis Laknatullah (JIL)-nya... Ngomong asal tp g ngaca ya niy orang...muntah w liat mukanya.

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!