30.3.10

'Sekte' Liberal dalam Muktamar NU di Makassar


Dalam muktamar Nahdatul Ulama (NU) kali ini, merupakan yang pertama kalinya diadakan di luar pulau Jawa, setidaknya mengisyaratkan bahwa orgnisasi Islam nomor wahid di Indonesia ini terus berbenah untuk maju kedepan dan tentu saja demi masa depan yang lebih baik toward a better future . Pada muktamar ke-32 yang berlangsung pada 22-27 Maret ini, akan dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Susilo Bambang Yudoyono di gedung Celebes Convension Centre (CCC), Makassar pada hari ini. Agenda terpenting pada muktamar kali ini adalah pemilihan calon ketua umum tanfidziyah lima tahun mendatang, dalam perebutan ketua umum ini setidaknya sedari awal telah memunculkan desas-desus hingga ke polemik. Setidaknya para kandidat ini terdiri dari dua kubu, yang pertama mereka adalah para sesepuh yang diwakili oleh Salahuddin Wahid dan yang kedua adalah Ulil Absar Abdalla yang mewakili tokoh muda NU. Hingga kini, tujuh kandidat Ketua Umum PBNU mencuat ke permukaan yakni KH Said Agil Siradj (ketua PBNU), KH Salahudin Wahid (Gus Solah/mantan ketua PBNU), Prof KH Ali Maschan Moesa MSi (mantan Ketua PWNU Jatim), Masdar F Mas’udi (ketua PBNU), Achmad Bagdja (ketua PBNU), Slamet Effendy Yusuf, dan Ulil Abshar Abdalla (aktivis Jaringan Islam Liberal/JIL). Hal yang paling dihindari dari muktamar ini adalah munculnya tokoh islam liberal yang dimotori oleh Ulil, bahkan jauh-jauh hari sejumlah kiai sepuh/senior Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur sepakat menolak faham liberalisme, karena itu mereka akan membendung terpilihnya kandidat Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang proliberal dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar. Tulisan ini setidaknya memberikan ‘pengayaan’ tentang makna liberal sesunggunya, serta konsekwensinya jika merasuk masuk pada nadi kaum muslimin pada umumnya dan nahdiyin pada khusunya. Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘ bebas’ atau ‘merdeka’. Istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, sejak lahir ataupun mantan budak. Dari sinilah muncul istilah ‘liberal arts’ di Eropa, yakni ilmu-ilmu yang patut dipelajari oleh orang merdeka: arithmetika, geometri, astronomi dan music ( quadrivium ), disamping grammatika, logika dan rhetorika ( trivium ). Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk motto Revolusi Perancis 1789 - kebebasan, kesetaraan, persaudaraan ( liberté, égalité, fraternité ) sebagai piagam agung ( magna charta ) bagi liberalisme modern. Sebagaimana diungkapkan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas -apapun namanya- adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia –yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya ( it is contrary to the natural, innate, and inalienable right and liberty and dignity of man, to subject himself to anauthority, the root, rule, measure, and sanction of which is not in himself ). Di sini kita mencium bau sophisme dan relativisme àla falsafah Protagoras yang mengajarkan bahwa “ manusia adalah ukuran dari segalanya” – sebuah doktrin yang kemudian dirayakan oleh para penganut nihilisme semacam Nietzsche. Sebagai anak kandung Humanisme dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16 , liberalisme  telah dikembangkan oleh para pemikir dan cendekiawan di Inggris (Locke dan Hume), di Perancis (Rousseau dan Diderot) dan di Jerman (Lessing dan Kant). Gagasan ini banyak diminati oleh elit terpelajar dan bangsawan yang menyukai kebebasan berpikir tanpa batas. Sebagaimana dinyatakan oleh Germaine de Staël dalam karyanya, Considérations sur les principaux événements de la Révolution française (1818) , kaum liberal menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Di abad ke-18 , kaum intelektual dan politisi Eropa memakai istilah liberal untuk membedakan diri mereka dari kelompok lain. Sebagai adjektif, kata ‘liberal’ melambangkan sikap anti feodal, anti kemapanan, rasional, bebas merdeka ( independent ), berpikiran luas lagi terbuka ( open-minded ) dan, oleh karena itu, hebat ( magnanimous ). Dalam ranah politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang ‘mati- matian’ sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Munculnya republik-republik menggantikan kerajaan-kerajaan konon tidak terlepas dari liberalisme ini. Sementara di bidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi –jika tidak dibolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu, liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial, gerakan liberal mencakup emansipasi wanita, penyetaraan gender, pupusnya kontrol sosial terhadap individu dan runtuhnya nilai-nilai kekeluargaan. Biarkan wanita menentukan nasibnya sendiri, sebab tak seorang pun kini berhak dan boleh memaksa ataupun melarangnya untuk melakukan sesuatu. Sedangkan dalam urusan agama, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu, liberalisme mereduksi agama menjadi urusan privat. Artinya, konsep amar ma’ruf maupun nahi munkar bukan saja dinilai tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan dengan semangat liberalisme. Asal tidak merugikan pihak lain, orang yang berzina tidak boleh dihukum, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka, menurut prinsip ini. Karena menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi, maupun sosial, maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme. Pada awalnya, paham liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja. Namun di kemudian hari, wabah liberalisme merasuki pengikut Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh Gereja Katholik Roma, agar sesuai dengan semangat zaman yang sedang dan senantiasa berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip humanisme dan tidak bertentangan dengan sains yang anti-Tuhan namun dianggap benar itu. Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak- terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah vis-à-vis otoritas Gereja, dan penghapusan sistem kependetaan ( clericalism ). Inilah yang kemudian dikecam oleh Paus Pius IX, Leo XIII dan Pius X. Kecenderungan-kecenderungan seperti ini mereka sebut “modernisme”. Di dunia Islam, virus liberalisme juga berhasil masuk ke kalangan cendekiawan yang konon dianggap sebagai “pembaharu” ( mujaddid ). Mereka yang menjadi liberal antara lain: Rifa‘ah at- Tahtawi ( 1801-1873 M), Qasim Amin ( 1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq ( 1888-1966 M) dari Mesir, dan Sayyid Ahmad Khan (1817- 1898 M) dari India. Di abad keduapuluh muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut- pengikutnya di Indonesia. Pemikiran dan pesan-pesan yang dijual para tokoh liberal itu sebenarnya kurang lebih sama saja. Ajaran Islam harus disesuaikan dengan perkembangan zaman, al-Qur’an dan Hadits mesti dikritisi dan ditafsirkan ulang menggunakan pendekatan historis, hermeneutis dan sebagainya, perlu dilakukan modernisasi dan sekularisasi dalam kehidupan beragama dan bernegara, tunduk pada aturan pergaulan internasional berlandaskan hak asasi manusia, pluralisme dan lain lain-lain. Pendek kata, meminjam ungkapan Binder: “ liberalism treats religion as opinion and, therefore tolerates diversity in precisely those realms that traditional belief insists upon without equivocation. ” Maka wajarlah jika kemudian ia menilai bahwa “ Islam and liberalism appear to be in contradiction. ” Dari uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa paham liberalisme mencakup tiga hal. Pertama , kebebasan berpikir tanpa batas alias free thinking . Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran dalam arti lain selalu meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan alias sophisme, skeptisisme , agnostisisme, dan relativistisme . Dan ketiga , sikap longgar dan semenamena dalam beragama ( no commitment and free exercise of religion ), para penganut sakte inilah yang mendukung tumbuhnya aliran-aliran sempalan yang jelas-jelas melakukan penistaan terhadap agama. Sangat gamblang bahwa liberalisme adalah salah satu sakte yang diimpor kedalam Islam yang hanya merusak, merugikan, dan  mendatangkan kedisharmonisan serta malapetaka pada umat. Wallahu a’lam. Penulis adalah ILHAM QADIR , Aktivis Lembaga Indonesia Bersih, Ketua forum Kajian Islamic Thought and Civilization (FITAC)  Makassar. Email: ilhamqadir@yahoo.comEmpat tahun “menghilang” ke Amerika Serikat, Ulil Abshar-Abdalla pulang ke Indonesia dan melempar kejutan. Dia mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-32, Januari mendatang. Menurut Ulil, Nahdlatul Ulama sudah berubah dan saatnya dipimpin orang yang lebih muda. “Tentu dengan dukungan kiai-kiai senior,” katanya. Kepada para senior di Nahdlatul Ulama ini, Ulil juga siap menjelaskan berbagai pendapatnya yang dianggap kelewat liberal. Dia mengatakan pikiran dan kritiknya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok-kelompok radikal di Indonesia. Untuk melaksanakan niatnya, ia melakukan dialog dengan kalangan NU dan pesantren. Ulil berdialog bersama Forum Kiai Muda, di antaranya, KH Abdullah Syamsul Arifin dari Jember, Ustad Romli, Syaichul Islam, Dr M Mas’ud Said, dan KH Abdurrohman Navis. Setelah memberikan ceramah di Masjid At-Taqwa, Rewwin Waru Sidoarjo, menantu KH A Mustofa Bisri ini memanfaatkan sebuah forum yang digelar di Pesantren Bumi Sholawat asuhan KH Agoes Ali Masyhuri, Tulangan Sidoarjo, Minggu (11 /10) kemarin. Para kiai muda NU yang selama ini berbeda pendapat terkait JIL ( Jaringan Islam Liberal) yang dikomandoi Ulil dimaksudkan sebagai tabayun (penjelasan mengenai suatu masalah), dan debat terbuka. Tujuan dilaksanakan acara tersebut untuk membudayakan tabayun di kalangan warga nahdliyin sekaligus memberi pelajaran terkait berbagai perbedaan yang ada. “Sebagai orang tua, saya ini harus bisa mengayomi siapa saja. Salah satunya dengan membudayakan forum tabayun dan menjauhkan dari caci maki dan sejenisnya,” kata KH Agoes Ali Masyhuri, pada Duta, kemarin. Memang, lanjutnya, dalam pertemuan itu tidak diharapkan adanya titik temu, namun paling tidak sudah ada ruang untuk bertemu untuk berdialog. Di antara yang cukup menarik, adalah kehadiran Ustadz Romli dan Syaichul Islam yang tengah menimba ilmu di Mesir. Sedangkan Uli sendiri pada kesempatan tersebut melakukan debat dengan meyakinkan. “Berbagai perbedaan itu sangat biasa dan tidak perlu diributkan. Bila ada yang kurang tepat harus dibenarkan dan jauh dari pengadilan. Sebab, kesemuanya itu adalah aset NU. Namun yang perlu diketahui dan diingat terkait hal-hal yang bersifat aqidah dan konsep wahyu merupakan hal yang sangat sensitif. Hal ini perlu dimengerti. Kalau sudah ada pengertian dengan sendirinya tidak akan terjadi caci maki, namun terjadi tabayun,” kata Gus Ali, yang juga Wakil Rais Syuriah PWNU Jatim. Ada yang menilai, Ulil nekat bila mengincar kursi PBNU. “Bukannya sombong, saya rasa modal saya memadai. Saya punya pendidikan pesantren yang baik, mengaji fikih sesuai dengan hierarki pesantren, punya pemahaman kitab kuning cukup baik. Saya lulus dari LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) dan punya pendidikan Barat. Saya juga lahir dari keluarga NU dan berkiprah di NU cukup lama,” tutur Ulil Abshar-Abdalla. Untuk maju sebagai ketua umum, memang perlu restu kiai, seperti kiai Langitan, Tebuireng, dan Asembagus. Bagaimana penerimaan pesantren-pesantren itu terhadapnya. Ia pun memang baru pergi ke Asembagus, Situbondo dan bertemu beberapa kiai. Ia yakin bakal mendapat restu dari kiai pesantren. Memang ada yang beranggapan Ulil berikiran terlalu bebas. Tapi, ia yakin mereka bisa paham kalau dijelaskan. Apalagi, sebagian kalangan NU merespons negatif Jaringan Islam Liberal (JIL). Dan itu, jelas tak menguntungkan pencalonan Ulil. “Pencitraan negatif itu datang dari luar NU dan merembes ke NU. Saya ingin mengubah citra itu. Pikiran dan kritik saya selama ini sebenarnya tak diarahkan ke NU, tapi dialamatkan ke kelompok- kelompok radikal di Indonesia. Bagi saya, liberal juga bukan berarti bebas tanpa batas. Saya akan berusaha mendekatkan ide-ide saya dengan bahasa NU. Di NU sendiri sebenarnya banyak sekali tradisi liberal. Dalam kasus bunga bank, misalnya, tak ada keputusan final bahwa bunga bank termasuk riba yang haram. Ada tiga pendapat di NU,” kata Ulil Abshar-Abdalla. Adakah ia punya pendapat soal perlunya reformasi di tubuh NU. “ Menurut saya, NU ke depan bukan hanya milik muslim tradisional. Tantangannya adalah bagaimana mendekatkan NU ke kelas menengah kota dan bagaimana berhadapan dengan kelompok radikal. Diaspora kaum muda NU juga sudah sedemikian luas, tak hanya di pedalaman, tapi juga di kota-kota besar. Jumlah mereka besar. Banyak juga yang bersekolah hingga ke berbagai negara, dari Mesir, Saudi, Pakistan, hingga Inggris dan Amerika. Ini yang harus diperhatikan NU di masa depan. Dan saya kira untuk merangkul mereka dibutuhkan pemimpin muda,” tuturnya seraya tertawa. Pada bagian lain, Ulil menilai kecenderungan NU yang kerap tergiur terjun ke politik. Menurutnya, hal Itu memang masalah besar. Aura partai memang merusak langgam NU. NU memang sulit berpisah dengan politik karena, sebagai ormas besar, bobot politiknya juga besar sekali. “Idealnya sih kiai memang tidak berpolitik. Seperti kata Arief Budiman, mereka harusnya menjadi cendekiawan di atas angin. Tapi okelah, tantangan ke depan, bagaimana NU menempatkan diri secara proporsional,” kata Ulil. Ulil Abshar-Abdalla (lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967) adalah seorang tokoh pemikir Islam di Indonesia. Ulil berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa’i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, Mustofa Bisri, kyai dari pesantren Raudlatut Talibin, Rembang. Ulil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. M. Ahmad Sahal Mahfudz (Rois Am PBNU periode 1994 1999). Pernah nyantri di Pesantren Mansajul ‘Ulum, Cebolek, Kajen, Pati, serta Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang. Dia mendapat gelar Sarjananya di Fakultas Syari’ah LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta, dan pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Meraih gelar S2 di Universitas Boston, Massachussetts, AS. Saat ini menyelesaikan studi program Ph.D (doktor) di the Department of Near Eastern Languages and Civilizations, Universitas Harvard, AS. Gus Ulil pernah menjadi Ketua Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Maya Manusia) Nahdlatul Ulama, Jakarta, sekaligus juga menjadi staf peneliti di Institut Studi Arus Informasi ( ISAI), Jakarta, serta Direktur Program Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Ia dikenal karena aktivitasnya sebagai Koordinator Jaringan Islam Liberal. Jaringan Islam Liberal yang dipimpinnya adalah sebuah kelompok diskusi yang sering menyuarakan upaya liberalisasi tafsir Islam. Dalam aktivitas di kelompok ini, Ulil menuai banyak simpati sekaligus kritik. Atas kiprahnya dalam mengusung gagasan pemikiran Islam ini, Ulil disebut sebagai pewaris pembaharu pemikiran Islam setelah Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (sumber : dutamasyarakat.com)

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!