24.3.10
Menyatukan SUNNI dan SYI'AH,Bisakah?
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Rabu, Maret 24, 2010
Oleh: Dr.Aidh Al Qarni.
Selama ini kita tidak dapat menyelesaikan perbedaan antara Sunni dan Syiah, meski sejarah Islam telah berjalan puluhan abad. Kita harus akui bahwa persoalan aliran Syiah dan Sunni sudah selesai dalam kemapanan masing-masing ajaran, dan yang wajib bagi kita adalah untuk tidak mengembangkan perbedaan itu menjadi konflik berdarah. Cukup bagi kita luka dan air mata. Kita sebagai umat Islam tak pernah cukup dengan bencana dan musibah. Gerakan Zionis Dunia telah menjauhkan kita dan ingin mencerabut kita dari akar-akar persatuan. Lantas apa manfaat mengulang kembali penghinaan, pencemaran, hasutan, permusuhan, menyebut kekurangan dan cacat-cacat antara dua kelompok Sunni dan Syiah? Apa manfaat yang diharapkan dari penumpahan darah Sunni atau Syiah? Setiap penganut Sunni dan Syiah percaya kebenaran ajaran dan ketidakbenaran ajaran lainnya. Namun, mereka tidak akan mampu mengubah keyakinan orang lain, yang dianggap sesat atau salah. Kami kaum Sunni percaya bahwa ajaran kami berdasar Al-Quran dan Sunnah Rasulillah. Sementara Syiah menganggap kami mengkerdilkan hak-hak ahlul bait (keluarga dan keturunan) Rasulullah. Kami perlu perjelas dan tandaskan di sini bahwa kami tidak ada sedikitpun pikiran atau upaya merendahkan para keturunan Rasulullah itu. Kami tidak menentang mereka apalagi mencacimakinya. Kami juga meminta kaum Syiah untuk mengurangi cacian dan cercaan kepada para sahabat Rasulullah. Membela ahlul bait Rasulullah dan para sahabat Rasulullah adalah kewajiban setiap kaum muslimin, laki- laki dan perempuan. Karena itu, kalangan intelektual dan ulama Sunni dan Syiah wajib menghentikan perselisihan dan mencegah eskalasi permusuhan, ketidakpercayaan, dan intimidasi. Wahai intelektual Sunni dan Syiah, redakan dendam dan padamkan api hasutan, dan jangan tambah kesengsaraan demi kesengsaraan menimpa umat. Wahai pemikir Sunni dan Syiah, ketahuilah bahwa setiap sesuatu bekerja pada caranya dan segala sesuatu itu berjalan atas jalannya sendiri, sehingga nanti Allah menjadi hakim yang memutuskan dengan adil perbedaan antar kita. Wahai intelektual Sunni dan Syiah, jangan memberi musuh-musuh Islam alasan untuk menghancurkan dan menghapusan keberadaan umat serta mengaburkan misi dan menghina kesucian agama. Wahai intelektual Sunni dan Syiah, cegahlah fatwa perang, penumpahan darah, menyalakan api kebencian, dan perpecahan. Kami, kaum Muslim Sunni dan Syiah selama ini selalu mengajak hidup berdampingan secara damai dan dialog dengan non-Muslim. Lantas apakah kita tidak mampu membuat kedamaian di rumah sendiri antara Sunni dan Syiah. Seseorang yang tidak mampu memperbaiki rumahnya sendiri tidak akan mampu memperbaiki rumah orang lain. Selama ini yang kita dengar adalah suara-suara liar. “Wahai Syiah, bunuhlah Sunni, maka kalian akan masuk surga?” Atau suara dari seberang yang menyatakan; “Hai Sunni, bunuhlah Syiah sebagai tebusan api neraka.” Logika apa itu? Pikiran siapa itu? Mana dasar dan argumennya? Karena itu kami selalu menyatakan: “Hai Sunni, darah Syiah haram kalian tumpahkan. Wahai Syiah, darah Sunni haram kalian keluarkan.” Hemat saya, cara terbaik untuk menyelesaikan persoalan Sunni dan Syiah adalah meminjam tindakan Arab Badui ketika terjadi tabrakan mobil antar mereka. Mereka selesaikan kasus itu dengan cara: “Masing-masing membereskan mobilnya sendiri-sendiri.” Persoalan selesai, tanpa polisi, tanpa denda, dan tanpa penjara. “ Wahai Sunni dan wahai Syiah, mari masing-masing benahi kendaraan masing-masing.” Allah sangat memerintahkan kita untuk berlaku baik dengan non- Muslim, kecuali mereka yang memerangi atau mengusir kita dari rumah kita. Allah berfirman; “Allah tidak melarang kalian memperlakukan orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian dari rumah-rumah kalian, untuk berbuat baik dan adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah sangat suka orang-orang yang berbuat adil.” Berbuat baik kepada non-muslim di sini bermakna tidak menyakiti, berkata baik, berhubungan dengan baik, serta hidup damai berdampingan. Jika kita perlakukan non-muslim dengan sebaik itu, lantas mengapa kita perlakukan sesama muslim yang hanya berbeda keyakinan tidak sebaik itu. Apa yang akan dikatakan orang lain tentang kami yang saling cerca, saling caci, saling hina, dan saling ejek itu. Kita bersaudara dan berinduk sama. Jika kita tidak memperbaiki diri sendiri dan berdiri dalam satu barisan, maka risiko permusuhan dan perpecahan, kegagalan dan kekalahan menjadi masalah kita. Mari kita lupakan api retorika dan kata-kata penuh kebencian dan hampa itu untuk kembali menyimak firman Ilahi: “ Berpegangteguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan berceraiberai.” n Tulisan ini ditulis Dr. Aidh Al-Qarni pada harian Asharqul Awsath edisi Selasa, 10 Rabiul Awal 1429 Hijriyah atau 18 Maret 2008. Tulisan ini cukup lama, namun masih sangat tepat dikaji kembali terkait dengan Dialog Antarmazhab yang diselenggarakan International Conferens of Islamic Scholars (ICIS), 19-20 Desember 2009 di Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar