1.3.10
Negeriku,Negeri Seribu Cela dan Cerca.
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Senin, Maret 01, 2010
Wajah negeri ini memang masih tak berbentuk. Kritik yang bercorak menertawakan layak digelontorkan terus- menerus. Pasalnya, dengan menertawakan negeri sendiri, berarti kita memahami bahwa dalam anatomi negeri ini terdapat sekian banyak virus (penyakit) yang salah satu obatnya adalah menertawakan atau “ menelanjangi” diri sendiri. Julukan bagi bangsa Indonesia, yang sering mencuat (setidaknya sampai akhir tahun 2009) di level internasional adalah “bangsa yang terbiasa dipermalukan”,ditertawakan, atau menjadi langganan dagelan, dihina, dicerca, diledek, dan dijadikan objek permainan oleh bangsa-bangsa atau negara-negara lain. Salah satu negara tetangga yang suka dan “rajin” mempermainkan Indonesia adalah Malaysia. Negara jiran yang perkembangannya sudah banyak dibantu oleh TKI kita ini seperti tidak bosan-bosannya mencari peluang atau kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai objek yang dikail keuntungannya. Bayangkan saja, setelah pulau Sipadan-Ligitan berhasil “dijarah” oleh negeri jiran di beberapa tahun lalu, yang tentu saja membuat bangsa ini ternoda citra kedaulatan atau konstitusinya, Malaysia di tahun 2009 kembali mencoba mengusik harmonisasi NKRI atau mengoyak hak milik bangsa Indonesia. Ambalat, yang jauh hari sudah diusik, berkali-kali terus diobok-obok oleh negara itu. Beberapa kali tentara Malaysia memasuki kawasan ambalat tanpa izin, atau menggelar perang psikologis, yang membuat panasnya hubungan dengan Indonesia. Negara tetangga ini sepertinya menganggap kecil remeh) kedaulatan negara (RI) ini. Masalahnya, kenapa negara-negara tetangga ini gampang memperlakukan negeri ini sebagai bangsa yang patut dan “layak” dipermalukan? Atau mengapa mereka senang meledek, memprovokasi, atau membuat suasana tidak nyaman pada negeri ini? Mengapa negara lain gampang menertawakan kita? Pertanyaaan tersebut sebenarnya sebagai gugatan, yang seharusnya menjadi kritik terhadap elite pemimpin negeri ini. Negara lain barangkali tidak akan berani mempermainkan negeri ini, kalau saja elite pemimpinnya mempunyai kapabilitas hebat dalam menunjukkan kepemimpinan kharismatik, independensi, dan integritas moralnya seperti kecerdasan melakukan diplomasi dengan negara-negara lain. Kalau kapabilitas demikian ini dimilikinya, tentulah negara-negara lain akan segan atau tidak berani bermain- main dengan Indonesia. Kalau pulau “semahal” Sipadan-Ligitan sudah lepas dari Indonesia akibat kekalahan Indonesia dalam berdimploasi di forum internasional, seharusnya ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, bahwa negeri ini sedang mengalami “kemiskinan” manusia-manusia andal dalam memimpin negeri ini. Akar masalahnya lagi, elite pemimpin kita diasumsikan sebagai elite yang rentan atau gampang “ditaklukkan” atau dijinakkan, sehingga ketika mencuat problem besar bangsa, problem ini dominan membebani masyarakat, sementara elite pejabatnya tetap diam menikmati “keningratannya”. Itu menunjukkan, bahwa elite pemimpin kita ini sebenarnya masih bermental lembek, tidak teguh menjaga identitas moral, atau rentan menjadi segmentasi kekuatan sindikat global dan negara- negara yang pintar menaklukkannya. Mereka lebih senang menyembah kekuasaan yang didudukinya daripada “menyembah” kepentingan masyarakat. Sepanjang apa yang dibarterkan secara global atau bilateral menguntungkannya, maka apa saja yang menjadi hak rakyat sekalipun digadaikan atau dijadikan objek komoditinya. Ada pesan dari Rasulullah SAW yang mengatakan, “Jika tidak ingin hancur, janganlah menyembah emas, janganlah menyembah dinar, dan janganlah menyembah kemegahan.” Pesan ini mengisyaratkan didikan eksoteris (menyentuh ke nilai-nilai keberagamaan), agar manusia dalam hidupnya tak berkiblat pada emas, uang, dan gaya hidup (status sosial, kemegahan, dan kedudukan), melainkan tetap berkiblat pada agama, menyerahkan torak total jati dirinya kepada- Nya. Manusia diingatkan beliau agar “birahi” dan ambisi yang diimplementasikan atau disejarahkan tak dibiarkan larut dalam keterjajahan “madzhab” kapitalistik, gaya hidup dan kedudukan. Dalam hidup ini, manusia jangan sampai memberhalakan kekayaan, menkultuskan kemegahan, dan diperbudak oleh kekuasaan. Manusia paling hina di muka bumi dan di hadapan Tuhan adalah manusia yang sebenarnya bisa menikmati kemerdekaan, kecerdasan nurani, dan kebeningan moralnya, namun menyerahkan kemerdekaan, kecerdasan nurani, dan kebeningan moralnya itu ke dalam tirani yang dibuatnya sendiri. Manusia yang demikian itu jelas akan hancur, ibarat pepatah “siapa menabur angin, akan menuai badai”. Badai kehancuran sulit dibendung, prahara nasional mustahil dihadang, atau bencana kehidupan berbangsa tak akan gampang diselesaikan tatkala manusia-manusia yang seharusnya jadi penggali kebenaran ( mujtahid), penegak atau pejuang kebenaran (mujahid), dan pembaharu (mujaddid) justru menyukai kecongkakan atau arogansi kejahatan yang diperbuatnya. Dalam QS Az-Zalzalah (kegoncangan) ayat 7-8 ditegaskan, “ Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya akan melihat hasilnya, dan baraangsiapa yang mengerjakan kejelekan (kejahatan) seberat zarrahpun, niscaya akan melihat hasilnya pula.” Ayat ini persis dengan pesan Rasul, “Meratanya kehancuran (azab) dalam suatu kaum adalah berkat (karena) meratanya kejahatan dalam kaum itu.” Meratanya citra buruk di negeri ini pun tak lepas dari semakin meratanya kejahatan kekuasaan yang disembah- sembah elitenya. Peringatan tersebut sudah jelas, bahwa konstruksi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakat akan menjadi ringkih, gampang goyah, tak sulit dihantam kekacauan (chaos), atau mengalami apa yang dikategorikan oleh Allah SWT sebagai “kegoncangan” (az- zalzalah) makro, manakala elite kekuasaan atau pejabatnya mengemas dirinya dalam pola kepemimpinan yang “menajisi” diri dan wilayah sosial-kemanusiaan yang menjadi objek kinerjanya. Sungguh memalukan dan memilukan, suatu konstruksi negara berbasis agama seperti Indonesia sedang terpuruk akibat perilaku komunitas elitenya yang sangat arogan membusukkan etika. Komunitas elitenya sedang terlena dalam buaian romantisme kekuasaan dan perburuan kekayaan yang diberhalakan, yang boleh jadi targetnya mengisi pundi-pundi kekayaan diri, kelompok, dan partainya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar