23.4.10
Gus Dur Ikon Nashrudin Khoujah yang Hidup
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Jumat, April 23, 2010
Gus Dur sebuah alegori karya sastra yang hidup. Menenun sastra kehidupan yang dia sadar berperan sebagai tokoh utama. Kesadaran Gus Dur untuk perubahan peradaban dunia yang lebih baik. al-mukhafazotu ‘alal qodimi sholih…..wal akhdu bil jadidi ashlah, Mempertahankan yang lama itu baik, tapi mengambil sesuatu yang baru, lebih baik lagi. Salah satu prinsip yang diperankan Gus Dur yang diambil dari tradisi-tradisi pendahulunya. Selain sikap tawasuth (di tengah-tengah), tawazun (Keseimbangan/kesetimbangan) dan tasamuh (toleransi) yang dipegang teguh hingga karya sastranya selesai tepat pada ajal menjemputnya.
Sastra di sini merupakan ungkapan-ungkapan pribadi Gus Dur yang berupa pengalaman baik batin maupun fisik, pemikiran ide-ide yang konkret yang diartikulasikan Gus Dur melalui bahasa yang mempesona dan kadang membuat orang tertawa geli. Dalam khasanah Arab yang dipelajari Gus Dur di Pusat Sastra Baghdad sastra dipahaminya sebagai tamaddun atau civilization, peradaban. Gus Dur memang bukan Nabi, namun celotehnya di depan khalayak merupakan bentuk sastra verbal yang bisa dibukukan untuk memperbaiki akhlaq dan peradaban manusia.
Sejarah memang kembali berulang. Fenomena Gus Dur mengingatkan saya akan popularitas Tokoh Nashrudin Khoujah sebagai tokoh pelaku di dalam sastra arab. Sebagian besar pembaca humour sufi Nashrudin Khaoujah adalah tokoh fiktif yang hadir di alam khayal. Namun pada akhirnya semua sepakat akan keberadaan histories tokoh ini melalui catatan-catatan sejarah meskipun catatan-catan itu terkadang kacau balau. Bagaimana tidak, makam sang tokoh sastra sufi ini terdapat di tiga Negara Arab, Turki dan Mesir.
Meski tokoh-tokoh seperti Nashrudin Khoujah, Abunuwas dan Gus Dur mempunyai perbedaan catatan sejarah dan jaman. Namun ketiganya mempunyai kesamaan yakni sama-sama bebas keluar masuk istana dan pernah berperan sebagai pemimpin bangsa (baca:guru bangsa). Sebagai perbandingan saya akan tampilkan homour gus dur ketika bersama KH Mustofa Bisri menghadap Raja Saudi yang jarang tertawa dan Humor Nasruddin ketika menghadap Raja Tiran Timur Lenk.
Presiden Gila
“Melekatnya predikat humoris pada Presiden RI yang keempat itu pun sempat membuat Presiden Kuba Fidel Alejandro Castro Ruz penasaran. Suatu ketika, keduanya berkesempatan bertemu.
Seperti yang diceritakan oleh mantan Kepala Protokol Istana Presiden Wahyu Muryadi pada tayangan televisi, Fidel Castro bertanya kepada Gus Dur mengenai joke teranyarnya.
Dijawablah oleh Gus Dur, “Di Indonesia itu terkenal dengan fenomena ‘gila’,”.
Fidel Castro pun menyimak pernyataan mengagetkan tersebut.
“Presiden pertama dikenal dengan gila wanita. Presiden kedua dikenal dengan gila harta. Lalu, presiden ketiga dikenal gila teknologi,” tutur Gus Dur yang kemudian terdiam sejenak. Fidel Castro pun semakin serius mendengarkan lanjutan cerita. “Kemudian, kalau presiden yang keempat, ya yang milih itu yang gila,” celetuk Gus Dur. Fidel Castro pun diceritakan terpingkal-pingkal mendengar dagelan tersebut. (Okezone.com)
Gelar Naudzubillah
Raja Timur Lenk bertanya kepada Nashruddin,” Nashrudin banyak khalifah dari bani Abbas mempunyai gelar al mutafaq billah, al mutawakil billa, al mu’tasim dll. Andaikata aku termasuk mereka apa gelar yang tepat untukku? Tanpa piker panjang, Nashrudin menjawab,”Raja Besar, Anda tepat dengan gelar Na’udzubilah. (Hikmat Sharif Tarabilisi, tt:34).
Kedua Ucapan tokoh besar yang kini menjadi karya sastra sama-sama mengungkapkan nurani kolektif yang di hadapi pada jamannya. Sindiran halus dan menghujam mampu menyingkapkan kebobrokan moral di masa tersebut. Sebuah kenyataan sastra yang didukung oleh kenyataan histories tokoh-tokohnya.
Dengan cara yang demikianlah Gus Dur, Nashrudin Khaujah dan Abu Nuwas menjadi kenyataan dan symbol dalam menghadapi kehidupan dan bergulat di dalamnya. Mereka sama-sama mencipkatakan dirinya sosok lain yang jauh berbeda dengan sosoknya yang pertama yang menonton kehidupan dan mengolok-ngoloknya.
Mereka menangkap nurani rakyat merubah malapetaka menjadi hiburan. Kisah-kisah yang aneh dan jenaka telah diperankan mereka dengan segala fungsi social, dan politik. Gus Dur, semoga kisah-kisah jenakamu segera dapat memperbaiki degradasi moral bangsa ini dan menjadi warisan budaya Bangsa Indonesia.
sumber:Ahmad Zainul{Kompasiana}
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar