4.4.10

Mengelola NU Sebagai Jam'iyyah


oleh: M.SAEKHAN MUCHITH Kandidat doktor Unnes, Sekretaris Majelis Alumni IPNU Jawa Tengah, bekerja sebagai “buruh” STAIN Kudus.

Muktamar ke-32 NU telah usai.KH Sahal Mahfudh terpilih sebagai Rais Aam dan Prof Dr H Said Aqil Siradj sebagai Ketua Umum Tanfidziyah NU. Keduanya menjadi “nahkoda” NU selama 5 tahun ke depan.Banyak harapan dialamatkan kepada dua tokoh tersebut. Mereka diyakini mampu menekan “syahwat politik” NU; dengan kata lain, NU akan lebih terfokus kepada gerakan perjuangan social seperti pertanian, pendidikan, dan kesehatan dibanding dengan gerakan ranah politik praktis. Mengelola NU tidak semudah yang dibayangkan, karena NU memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan organisasi lainnya. Perbedaan itu terletak pada latar belakang atau tujuan berdirinya. Sebagai organisasi, NU berdiri dimaksudkan untuk melestarikan tradisi atau budaya yang sudah berjalan di tengah masyarakat, yaitu tradisi paham Ahlussunah Wal Jama’ah ( Aswaja). Sedangkan organisasi lainnya didirikan dengan tujuannya mewujudkan gagasan baru yang masih dikonsepkan dan ditawarkan kepada masyarakat. Muchith Muzadi (1994) dalam buku NU dan Fiqh Kontekstual menyatakan, sebelum berdiri NU sudah memiliki tiga elemen utama sebagai pendukung dan penggerak NU. Pertama, pemimpin, yaitu para kiai/ulama penganut paham Aswaja, para pengasuh pondok pesantren. Kedua, tradisi amalan, yaitu amalan Aswaja terutama madzhab Syafii dengan segala tuntutan dan amalannya. Ketiga, anggota, yaitu sekelompok masyarakat yang melaksanakan tradisi paham Aswaja yang memiliki kesadaran untuk berjuang mengembangkan NU. Berdasarkan tiga elemen itulah, ketika tersiar berdiri organisasi NU pada tahun 1926 dengan semangat melestarikan tegaknya paham Aswaja, maka secara otomatis para kiai/ulama memiliki perasaan (sense) sebagai pemimpin NU dan masyarakat yang sudah melaksanakan tradisi Aswaja merasa sebagai anggota NU meskipun mereka belum mendaftarkan diri secara resmi kepada pengurus NU. Para alumni pesantren yang ada di berbagai pelosok kampung langsung berniat mendirikan NU karena merasa sebagai anggota NU meskipun pada saat nyantri di pesantren mereka tidak pernah aktif dalam organiasai NU. Tidak aneh dan tidak mengherankan kalau NU cepat berkembang dan dikenal di kalangan masyarakat. NU tidak usah repot-repot menyosialisasikan visi dan misinya kepada masyarakat. Cukup dengan kalimat NU berfaham Aswaja, otomatis mayoritas masyarakat Indonesia yang melaksanakan tersebut merasa terikat secara ideologis dengan NU. Masyarakat yang seperti itulah yang disebut NU kultural (jama’ah). Sejak berdiri sampai sekarang NU selalu memiliki dua wajah, wajah jam’iyyah ( organisasi formal struktural) dan wajah jama’ah (kelompok ideologis kultural). Sampai sekarang, NU lebih menampilkan wajah jama’ah dari pada jam’iyyah, sehingga dalam perjalanannya NU memiliki berbagai keunikan. Di antaranya, pertama, kebiasaan klaim, setiap masyarakat yang memiliki kebiasaan membaca Al Barzanji, salawatan, tahlilan, ziarah kubur, senang manakiban, salat tarawih 20 rekaat, salat subuh pakai qunut selalu diklaim sebagai warga NU, padahal masyarakat tersebut tidak punya kartu tanda anggota (KTA) NU, tidak kenal nama ketua NU ranting, tidak mengerti apa itu IPNU, Anshor, Fatayat, Muslimat. apa lagi berbagai program yang diputuskan. Kedua, minimnya dokumen formal kelembagaan. Para pengurus NU sering mengatakan bahwa NU memiliki sekian ribu sekolah, sekian ratus pondok pesantren, sekian puluh lembaga kesehatan dan lembaga ekonomi. Tetapi pengurus NU tidak tahu kapan mereka menyeleksi para guru, berapa uang yang dikeluarkan untuk membayar honor guru. Lebih jauh, NU juga tidak memiliki dokumen bagaimana model pembinaan terhadap para guru dan santri di masing-masing pesantren, bagaimana regulasi mengangkat dan memberhentikan para kepala sekolah yang diklaim milik NU tersebut. Ketiga, lemahnya komando, khusus dalam ranah politik. Pengurus NU tidak pernah mampu mengendalikan atau menggiring warganya memilih salah satu kekuatan politik. Kenyataannya, kekuatan politik yang didukung NU secara formal, belum ada yang memenangkan pertarungan politik. Ketua Umum Tanfidziyah NU KH Hasyim Muzadi pernah maju sebagai calon wakil presiden, ternyata kalah dengan pasangan lain. Padahal KH Hasyim Muzadi adalah Ketua Umum Pengurus Besar NU. PKB yang dikampanyekan sebagai satu-satunya partai yang didirikan dan didukung warga NU juga belum menghasilkan kursi secara signifikan di parlemen. Keempat, sense of belonging warga NU terhadap organisasi masih sangat rendah. Urusan membesarkan NU hanya dipahami tanggung jawab pengurus, warga NU tidak pernah merasa memiliki tanggung jawab membesarkan NU. Masih banyak anak-anak warga NU tidak senang masuk di sekolah milik NU. Tak sedikit juga masyarakat yang tidak sreg jika mananam sahamnya di lembaga keuangan milik NU. Bahkan jika warga NU sakit, mereka masih ragu berobat di rumah sakit milik NU. Warga NU juga belum percaya dengan perjuangan partai yang didirikan oleh warga NU. Tatkala NU memiliki media massa, warga NU malu berlangganan atau membaca media massa milik NU. Sifat seperti ini yang menyebabkan semua program yang direncanakan NU tidak bisa berkembang sesuai harapan.Mengelola NU sebagai jam’iyyah merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Artinya, dengan berbagai dinamika masyarakat, maka sudah seharusnya NU segera dikelola secara profesional sebagai jam’iyyah tanpa harus meninggalkan NU sebagai jama’ah. Untuk menuju NU jam’iyyah perlu dilakukan beberapa hal berikut: Pertama, profesionalisme pengurus. Jumlah warga NU sangat besar dan memiliki profesi dan sifat yang bervariasi. Pembinaan dan pemberdayaan harus bersisfat organisatoris, konsekuensinya dalam hal pemilihan pengurus NU harus benar- benar didasarkan oleh kemampuan dan kesediaan waktu. Jangan sampai pemilihan pengurus didasarkan kedekatan keluarga dan nasab dari tokoh yang meninggalkan kemampuannya dan keahliannya. Kedua, kepatuhan atau ketaatan. Diakui atau tidak, fanatisme sebagai warga NU di kalangan warga NU sangat tinggi. Karena tidak dibarengi dengan kepatuhan atau ketaatan yang bersifat organisatoris, maka mekanisme organisasi belum berjalan lancar, bahkan bisa dikatakan macet. Kepatuhan lebih banyak didasarkan kepada pribadi kiai/ulama panutannya masing-masing, kepatuhan belum didasarkan kepada organisasi, meskipun warga NU itu merasa sebagai warga NU. Ketiga, pendataan keanggotaan. Sebagai jam’iyyah, NU harus benar-benar memiliki pendataan jaringan potensi warganya secara tepat. Dalam realitas objektif, warga NU memiliki potensi dan profesi yang bervariasi, baik dari aspek sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. NU harus memiliki peta potensi yang dimiliki warganya. Konsekuensinya harus dimulai dari pendataan keanggotaan secara resmi. Keempat, budaya tertib administrasi. Sebagai organisasi, NU harus membiasakan dokumen resmi, artinya apa yang dikatakan harus didokumentasikan agar mudah dilakukan evaluasi. Ketika NU menyatakan memiliki banayak satuan pendidikan, maka NU sebagai organisasi (jam’iyyah) harus memiliki dokumen resmi yang mampu mengikat secara organisatoris. NU harus memiliki aturan mekanisme pendirian sekolah, memiliki regulasi seleksi dan pembinaan kepada para tenaga pendidk dan kependidikan, memiliki kejelasan mekanisme pembayaran pegawai dan guru., memiliki mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pimpinan satuan pendidikan. Jangan hanya mengklaim tetapi tidak pernah memberi dan membina. Kelima, ketaatan pada produk. Apa yang dihasilkan atau diputuskan secara organisatoris NU harus ditaati seluruh pengurus dan warga NU dimanapun berada. Jangan sampai dengan alasan demokrasi, apa yang diputuskan dalam forum tertinggi seperti muktamar bisa dikalahkan oleh keputusan pengurus NU tingkat wilayah, cabang atau ranting. Apa yang sudah diputuskan dalam bahtsul masail, harus menjadi pegangan dan ditaati seluruh warga NU. Jangan hanya pengurus yang menaati, tetapi seluruh masyarakat yang mengaku sebagai warga NU harus juga memedomani dan menaati keputusan hukum yang diputuskan dalam forum bahtsul masail di seluruh jenjang kepengurusan. Keenam, prioritas muktamar. Dalam setiap muktamar, agenda yang menonjol adalah ramai membicarakan bursa ketua umum. Agenda lain yang jusrtu sangat penting untuk membangun dan mengembangkan potensi warga NU terlupakan. Selama muktamar hanya terjebak kepada memilih siapa, maka selama itu pula agenda mengoptimalkan pengelolaan NU jam’iyyah akan terhambat. Apakah KH Sahal mahfutd dan Prof Dr H Said Agil Siradj yang dalam muktamar ke-32 di Makasar mampu merumuskan langkah- langkah menuju pengelolaan NU jam’iyyah? Kita tunggu saja.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!