14.4.10

Ketika pejabat kita ditampar oleh film :ALANGKAH LUCUNYA [NEGERI INI]



Kalau ada yang bertanya film apa yang mampu menampar muka para pengambil kebijakan di negeri ini, maka film "Alangkah Lucunya (Negeri Ini)" arahan Deddy Mizwar, adalah jawabannya. Di film yang berangkat dari skenario cerdas Musfar Yasin itu,menggambarkan potret buram, dan menekankan kisah anak-anak terlantar,sebagaimana diterangkan dalam UUD 45 bahwa seharusnya mereka dilindungi oleh negara, namun di film anak-anak tersebut dikisahkan se"realiti sosial" mungkin dengan mengenaskannya. Tapi bukan Deddy, dan Musfar, yang untukkali ketiga bergandengan tangan setelah film Kiamat Sudah Dekat , Ketika , dan Nagabobar Jadi 2 , jika tidak mampu menawarkan keprihatinan dengan cara komedia. Hasilnya, film yang naskahnya telah digodok sejak sembilan tahun lalu, dan mulai dimatangkan empat tahun kebelakang, mengalir menjadi sebuah film Indonesia yang paling cerdas dewasa ini. Demikianlah paling tidak pendapat pemerhati film Yan Widjaja. Menurut Yan, yang mengaku dalam tahun ini telah menonton 32 film Indonesia, belum ada film Indonesia sekomplit Alangkah Lucunya ( Negeri Ini) . Baik dari segi keaktoran, penyutradaraan, pengambilan gambar, skenario, musik, setting, dan semua unsur yang melengkapi serta membangun sebuah film utuh. Apalagi, ujar Deddy seusai preview perdana di Jakarta, kemarin, sembilan peraih Piala Citra terlibat dalam penggarapan film ini. Apa yang istimewa, sehingga film yang menurut rencana akan edar mulai tanggal 15 April itu? Skenarionya! Kekuatan bangunan skenario Musfar telah terbukti di tiga film yang telah di sebut di atas. Menempatkan masalah anak terlantar, dalam hal ini para pencopet cilik yang tak beribu, ayah, apalagi bersanak kadang, sebagai tema utama, cerita dibenturkan dengan keadaan Indonesia kekinian, yang justru membiarkan fenomena korupsi menggurita. Lewat cara komedia yang tidak slapstis , tapi bertumpu pada kekuatan dialog, dan jalan cerita yang runut, terkait, dan kuat, membuat kelucuan, keharuan, keprihatian, kegetiran berhasil ditabrakkan dengan mengharukan di film ini. Sehingga tidak berlebihan jika, banyak penonton tak beranjak dari tempat duduknya, bahkan ketika film telah purna. Kebesaran nasib Fragmen tentang sosok Muluk (Reza Rahadian) sarjana manajemen yang pengangguran, yang bersiborok nasib dengan komunitas pencopet cilik, dibawah asuhan raja preman Bang Jarot (Tio Pasukadewo), membawanya pada sebuah ''kebesaran nasib'' yang tak terpermaknai. Terdorong untuk mengentaskan nasib para pencopet cilik dari jurang kenistaan, Muluk, atas kesepakatan dengan Bang Jarot, hendak memberikan jalan keluar ke dunia yang lebih menjanjikan kepada para pencopet cilik. Caranya, dia akan melibatkan Syansul (Azrul Dahlan), dan Pipit (Tika Bravani) sebagai tenaga pengajar, untuk memberikan bekal pendidikan budi pekerti, dan agama kepada para pencopet cilik. Imbalannya, mereka bertiga mendapatkan managenen fee sebesar 10 % dari hasil copetan, para pencopet cilik. Ketika kesepakatan telah berjalan dengan rapi, dan mulus, dan tabungan para pencopet telah mencapai angkan berpuluh juta, karena berhasil dikelola Muluk dengan profesional, Pak Makbuk (Deddy Mizwar) ayah Muluk, Haji Rahmat (Slamet Rahardjo) ayah Pipit, dan Haji Sarbini (Jajaj Mihardja) calon mertua Muluk, berseberangan ide dengan sepak terjang anak-anak mereka. Managemen fee sebesar 10 % dari hasil copetan, yang notabene adalah uang haram, adalah pangkalnya. Sebagai orang tua, dan kebetulan bergelar Haji, langkah anak-anak mereka menerima managemen fee sebesar 10 % adalah aib yang tak tertanggungkan. Bagaiamana Muluk, Syamsul, dan Pipit menyelamatkan masa depan para pencopet cilik, yang mulai terlihat hasilnya itu, sementara di sisi lain, para orang tua mereka sendiri menentang hasil kerja mereka? Di film ini, kegetiran, keceriaan, kejenekaan, dan kesedihan, sekali lagi tabrakkan dengan mengharukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!