2.5.10

Melawan radikalisme (baca:Terorisme) dengan tradisi



Oleh : SYARIF HIDAYAT SANTOSO
Tahun 2010 ini, Polri menunjukkan kesuksesannya dalam menumpas teroris. Ironisnya, fakta menunjukkan bahwa sebagian teroris justru berasal dari desa-desa di berbagai tempat di Indonesia. Ini menjadi bukti bahwa habitat para teroris bukan lagi area urban di mana radikalisme yang sempit begitu mudah ditransformasi, tapi telah menjangkau rural area dan sub urban. Sesaat setelah pengeboman Marriot, Juli 2009, Mabes Polri merilis 11 teroris yang berasal dari Jawa Timur.

Para teroris ini berasal dari basis-basis Islam rural seperti Bojonegoro, Lamongan, Jombang, Kediri, Bangil. Seorang teroris jaringan Noordin M. Top sendiri pernah bersembunyi di Sumenep sekian waktu.

Pedesaan, utamanya di Jawa Timur, sebenarnya merupakan tempat tradisi Islam konservatif dipraktikkan secara masif. Islam desa bukan sekadar pencerminan survivalitas nilai normatif. Lebih dari itu, Islam desa menggabungkan antara ritual dengan identitas psikologi masyarakat populer menjadi tradisi agama yang bercirikan lokalitas. Maka, dalam Islam desa seorang muslim bukan cuma dilihat dari identifikasi ritual agamanya, tapi juga adaptasinya terhadap tradisi.

Tradisi menjadi perekat dan identitas bersama. Seorang muslim tidak cuma dilihat pengamalan rukun agama tapi juga apresiasinya terhadap tradisi seperti tahlil, sya’banan, manaqiban, dan lainnya. Muslim yang hidup di pedesaan pasti akan merasa tersisihkan jika ia menganut paham gerakan Islam ekstrem yang rigid. Para radikalis cenderung tidak berpartisipasi dalam tradisi populer masyarakat, namun lebih mengamalkan ritual baku saja.

Justru karena tersisihkan secara psikologis dan sosial inilah, maka aktivis gerakan radikal biasanya mendirikan habitat tersendiri yang eksklusif dan introvert. Berbagai tempat ekslusif mereka dirikan, atau kalau seandainya mereka tak mampu mendirikan tempat khusus, mereka menyelenggarakan pertemuan periodik yang hanya berlaku di kalangan mereka. Mengikuti teori sekte ala Erns Troeltsch, kelompok-kelompok eksklusif ini cenderung memilih menjadi minoritas di luar mainstream serta mengikuti doktrin militan. Bagi kelompok bertipe sekte, tradisi lokal dianggap problematis, tak otentik dan memusuhi ortodoksi yang diyakininya.

Merambahnya kompleks perumahan ke daerah sub urban dan pedesaan juga berefek melunturkan nilai tradisi. Berbeda dengan kehidupan desa yang agraris dan aktif memelihara kekerabatan, kompleks perumahan justru berpeluang menerima nilai-nilai baru yang lebih individualis, bebas, dan pragmatis.

Tradisi Islam di kompleks perumahan tak semasif di pedesaan. Selain reduksi nilai kekerabatan, tradisi Islam Jatim yang aktif direferensi masyarakat tradisional justru mulai dinilai aspek ekonomisnya. Alasan ini rasional, karena berbagai perayaan tradisi sejak tahlilan sampai slametan selalu membutuhkan biaya yang tak sedikit. Bagi masyarakat yang tak lagi terikat kekerabatan, cara paling ekonomis dalam menyikapi tradsi ini adalah mengubah formatnya menjadi lebih irit atau bahkan mengabaikannya sama sekali.

Di sinilah urgensinya tradisi Islam yang sering dituding konservatif dan khurafat (supertitious) itu. Puritanisme yang getol mengkritik tradisi sebenarnya telah menceraikan individu-individu dengan nilai komunitasnya. Padahal, tradisi bukan saja inovasi tematis terhadap teks besar sebuah ritual, tapi juga mempersatukan dimensi kejiwaan masyarakat secara umum. Lewat tradisi, masyarakat muslim tenggelam dalam soliditas dan solidaritas yang satu, meskipun secara khusus individu-individu dalam komunitas tersebut memiliki perilaku keberagamaan minim. Psikologi masyarakat dididik dalam sistem pemaknaan tradisi secara berulang dan membenam di alam bawah sadar. Pasti sulit menemukan terorisme akan lahir dari kejiwaan massal berorientasi komunitas ini.

Sayang, tradisi Islam dijepit puritanisme dan pragmatisme sekaligus. Puritanisme mempermasalahkan otentisitas tradisi, sementara pragmatisme mempersoalkan efisiensi ekonomis tradisi. Efeknya, radikalisme yang berstruktur sederhana, bedouinistis, serta kontra ortodoksi mayoritas begitu mudah tumbuh.

Puritanisme memang gampang mendapat pendukung karena logika yang dibangun tidak begitu dalam, ringkas, dan sederhana, sehingga publik seakan-akan begitu mudah memahaminya. Berbeda dengan tradisi yang untuk membutuhkan kesahihannya membutuhkan alur analisa ilmu agama yang luas dan dalam.

Pragmatisme ekonomi juga berefek meredupnya soliditas. Di masa lalu, para partisipan tradisi biasanya berpartisipasi dengan sukarela tanpa undangan. Kini, seiring dianutnya nilai ekonomi, para partisipan tradisi hanyalah mereka yang diundang untuk terlibat, sehingga transformasi batiniah tradisi menjadi tak begitu maksimal. Bagi masyarakat urban, tradisi dianggap ritual islam yang ruwet.

Karenanya, diperlukan revitalisasi tradisi di masa modern. Bukan saatnya lagi tradisi lokal ditabrakkan dengan teks yang multitafsir. Bukan pula nilai ekonomi sebagai referensi. Tradisi lokal yang menjadi referensi populer akan memperkuat kesatuan nilai Islam moderat karena dia dibangun oleh ekologi struktur yang seragam. Calon teroris akan dengan mudah dideteksi jika mereka hidup di komunitas ini, karena biasanya teroris radikal selalu berpaham beda dan menyempal dari keberagamaan populer.

Radikalisme juga akan sulit hidup di ruang tradisi lokal ini, karena akan berhadapan dengan kontekstualitas tradisi. Kita boleh berorientasi ekonomi, namun jangan sampai orientasi tersebut menghapus sesuatu yang arkaik yang ternyata memiliki kegunaan menghentikan laju radikalisme dan terorisme.


* Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Negeri Jember (Unej)

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!