4.6.10

Kapan kita bisa kalahkan teroris?


Oleh : ABDUL WAHID
Edwind Sutherland, seorang kriminolog yang menelorkan teori “pembelajaran kriminal” dalam bukunya, Criminology, mengingatkan bahwa terjadinya kejahatan di tengah masyarakat bukanlah disebabkan faktor hereditas atau bawaan (keturunan), tetapi ditentukan oleh kepintaran seseorang atau sekelompok orang untuk menempatkan kejadian, keadaan, sikap, dan perilaku masyarakat, atau aspek lainnya, sebagai objek yang dipelajarinya.

Dalam ranah “pembelajaran kriminal” tersebut, gayung bersambut ketika objek yang hendak dikriminalisasikannya ternyata memberikan peluang atau atmosfer buruk dan anomali, sehingga semakin memperlancar dan menyukseskan pembelajaran kriminal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang.

Itulah yang membuat Edwind Sutherland tidak sepaham dengan kriminolog konvensional yang menyebut bahwa kejahatan di masyarakat berhubungan dengan problem kemiskinan atau ketidakberdayaan ekonomi (economical empowerless). Artinya, yang membuat kehidupan di masyarakat berwajah karut marut oleh masalah kriminalitas, adalah dominan disebabkan orang miskin yang nekat berbuat jahat akibat kemiskinannya.

Sutherland tidak menempatkan orang miskin sebagai “aktor” maraknya kriminalitas, sebaliknya kelompok terpelajarlah yang punya andil besar dalam mencetuskan dan memproduksi kejahatan-kejahatan berat seperti korupsi dan terorisme. Kalau orang miskin berbuat jahat, korbannya berstandar minimalis, sementara kalau kelompok berkedudukan mapan dan terpelajar yang melakukannya, akibatnya sangat makro bagi kehidupan bangsa.

Di negeri ini, kelompok elite sudah tercatat sukses sebagai aktor terjadinya dan suburnya kejahatan korupsi. Praktik penyimpangan kekuasaan dengan segala modusnya nyaris tidak pernah habis atau sulit dikatakan berkurang, seperti pepatah “mati satu tumbuh seribu”.

Bayangkan saja misalnya, ketika di satu institusi sedang “digarap” oleh KPK terkait dugaan abuse of power, tiba-tiba di institusi lain diduga kuat elemennya banyak yang jadi koruptor. Kasus Kementrian Luar Negeri soal dugaan korupsi tiket dan Kementrian Sosial soal pengadaan sapi dan lainnya, merupakan sampel yang menunjukkan, bahwa para kriminal elite sangat pintar mempelajari “ruang” yang bisa disulap sebagai objek kriminalitas yang menguntungkan.

Dalam kasus terorisme pun demikian. Kalau aktor dalam kasus teroris tidaklah berasal seseorang atau sekelompok orang terpelajar, terdidik, dan terlatih dengan baik, tentulah tidak akan sampai teroris bisa menjalankan roda organisasinya dengan rapi dan berkelanjutan. Terbukti, meski belum lama ini di satu tempat Sukoharjo bisa dibongkar aktivitas teroris, ternyata tidak ada yang berani menggaransi bahwa kasus ini sudah benar-benar akar teroris yang berhasil diputus. Masih banyak yang mengestimasi bahwa teroris sudah berhasil membentuk sel di mana-mana atau sukses merekrut dan mendidik kader dengan “pembelajaran” segala modus barunya.

Katakanlah aparat kepolisian sekarang memang dibuat sibuk berperang melawan kelompok (komplotan) terorisme yang melarikan diri dari Sukoharjo, namun perang yang dijalani aparat sekarang sebenarnya bagian dari perang berkelanjutan yang disiapkan oleh teroris sebagai eksaminasi kecerdasan dan “pembelajaran” strategi.

Hasil penelitian psikolog Sarlito Wirawan terhadap 44 tahanan dan narapidana perkara teroris menyebutkan, ideologi yang dianut mereka (teroris) sudah terbilang “harga mati”. Prinsip ini khususnya dianut oleh napi/tahanan papan atas dalam aktivitas gerakannya. Salah satu penganut “madzhab” ini adalah Abu Dujana (Kompas, 12 Maret 2010).

Temuan Sarlito tersebut setidaknya mengingatkan kita tentang betapa militannya seseorang atau sekelompok teroris dalam mempertahankan keyakinan, ideologi, atau kebenaran yang dipelajarinya. Meski gerakannya dianggap sebagai kekuatan kiri dan subversif, yang berpola menghancurkan, menciptakan instabilitas, dan menghadirkan atmosfer chaos serta penderitaan massal, tetapi mereka tetap tidak meyakini bahwa gerakan radikalistik-destruktifnya berada di jalur kebenaran.

Kalau seperti itu yang terjadi, maka idealnya kita sekarang yang harus belajar pada paradigma gerakan yang dibangun teroris. Kalau paradigma gerakan yang dikonstruksinya gigih dipertahankan atau tak tergoyahkan oleh kekuatan (pengaruh) apapun, seperti kekuatan yang bersumber dari negara dan doktrin fiqih dan teologis dari aliran manapun, maka seharusnya kita pun menempatkan gerakan teroris ini sebagai objek pembelajaran.

Yang bisa kita jadikan sebagai objek pembelajaran adalah sikap militannya (teroris) dalam meyakini kebenaran ideologi gerakan. Mereka taat pada perintah pemimpin, layaknya pemimpin ini sebagai “wahyu” yang wajib dikiblatinya secara mutlak, sementara pemimpinnya juga mampu meyakinkan pada anak buahnya bahwa manajemen dan gaya kepemimpinanya berpegang teguh pada kebenaran, keadilan, kejujuran, dan amanat.

Kalau teroris bisa seperti itu, kenapa kita sebagai elemen bangsa tidak memiliki sikap militan dalam mencintai Indonesia? Kenapa kita tidak bisa membangun mental integralisme dalam melawan segala bentuk ancaman dan gerakan terorisme yang bermaksud mencabik-cabik negeri ini dan memproduksi dan mengeskalasikan kekacauan (kekerasan) di mana-mana?

“Harga mati” yang sudah dipatok oleh teroris mengenai gerakan yang diyakininya, seharusnya menyadarkan kita bahwa kita selama ini masih mengidap kemiskinan komitmen dan kesetian pada republik ini. Kita sudah diingatkan oleh Muladi, yang mengutip dalam The Arab Convention on the Suppression of Terrorism (1998), bahwa terorisme merupakan tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.

Jika kita tidak mengidap kemiskinan itu, tentulah kita setiap saat kita selalu belajar memelekkan mata, mencerdaskan nalar, atau mengasah kepekaan sosial terhadap fenomena penyakit masyarakat seperti penyimpangn ideologi, pengamputasian norma agama, dan penihilan jiwa nasionalistik.

Kita tentu tidak akan sampai kecolongan berkali-kali oleh modus operandi teroris yang dari waktu ke waktu semakin menunjukkan progresivitas dan kecerdasannya, bilamana kita rajin membaca perkembangan keragaman gerakan yang dibangun dan dimodifikasi oleh teroris. Gerakan perang terbuka yang sedang dirajut teroris, yang disebut-sebut sebagai modus baru, merupakan pola mematikan secara massif yang layak distigma sebagai neo-harakirisme.

Dalam ranah tersebut, komunitas aparat penegak hukum merupakan elemen fundamental bangsa yang sebenarnya paling dilecehkan oleh kepintaraan teroris. Mereka (teroris) terus berpacu mengemas kemampuan intelektualitasnya untuk meramu jurus-jurus yang bisa digunakan menyebarkan peristiwa mengerikan atau “tragedi nasional”, sementara aparat penegak hukum kurang berusaha keras merumuskan strategi jitu untuk mengimbangi atau menjawab setiap gerakan yang dilancarkan teroris.

Kata orang bijak, belajar sesuatu yang bermakna tidak harus dari kiai, tetapi bisa dari seorang penjahat kejam semacam teroris yang sudah sukses menjalankan aksinya. Keberhasilannya dalam ranah penyebaran praktik keangkaraan sosial, wajib diikuti oleh aparat dan rakyat untuk bersama-sama menyukseskan program-program penyejahteraan rakyat, pemanusiaan manusia, dan menjadkan cinta kedaualatan negeri sebagai “harga mati”.

* Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum dan pengajar Program Pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang dan penulis buku “State Terrorism” dan “Kejahatan Terorisme”

Artikel pada DUTA MASYARAKAT
Image: http://maramissetiawan.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!