
Pada dua tulisan yang lalu, telah saya ajukan three plus one proposisi atawa questions untuk golongan yang suka membid'ahkan golongan lainnya itu. Juga udah kita bahas, dengan sedikit mendetailkan Q4 ketahuan bahwa besar sekali kemungkinan mereka telah salah dalam menuduh bid'ah.
Sudah terbukti, melalui jalan pemikiran mereka sendiri, bahwa orang2 yang menurut mereka lebih dekat kepada Allah dibanding mereka saja (i.e. sebagian sahabat seperti Muawiyah dan kubunya itu) telah gagal mengenali Imam Ali AS sebagai khalifah arrasyid, apatah lagi mereka yang maqamnya di bawah, tentu lebih MUNGKIN*) lagi untuk tidak mengenali para khulafa yang 7 , yang kemungkinan besar udah lewat masanya itu. Maka, boleh jadi, doa dan majelis tahlil itu diperkenalkan oleh seorang khalifah rasyid, alias bukan bidah. Boleh jadi pula doa2 tawassul itu diajarkan oleh seorang khalifah rasyid pula. Dan bukan tidak mungkin majelis ratiban, maulid, haul, dan asyura itu semua sebetulnya adalah ajaran para khulafa arrasyidin. Satu argumen saja sebetulnya udah cukup, jika itu valid secara nash dan aql yang kita sepakati, untuk membuat kita semua mengerti bahwa mengumbar tuduhan bid'ah sama sekali tidak menguntungkan kita semua.
Argumen Q4 sengaja saya dahulukan karena konklusinya, jika sahabats perhatikan, sebetulnya sama persis dengan salah satu penekanan Syaikh Nuruddin di youtube itu: "bagilah laluan... tuduhan2 bid'ah itu belum tentu benar...". Demikian pula, detail dan kesimpulan dari Q1- Q3 di bawah ini agaknya nggak akan jauh berbeda secara esensial dari argumen2 Syaikh Nuruddin. Itulah sebabnya, sengaja saya jadikan ini beberapa tulisan, agar jelas apa strategi (i.e. to argue using their own beliefs) dan proposisinya, dan mana bagian pendetailannya. Dengan strategi dan proposisi yang eksplisit, mudah2 an boleh membuat semuanya menjadi jelas.
Nah, mari kita lanjutkan dengan detail Q1. Hadits utamanya adalah dari ummul mu'minin Aisyah, Rasul SAW berkata, "Jika seseorang melakukan hal baru yang tidak bersesuaian dengan PRINSIP2 AGAMA, maka hal itu harus ditolak". Ini tercatat di Translation of Sahih Bukhari by Muhsin Khan, book 49 /hadits no. 861 **). Di hadits ini, Nabi SAW mendefinisikan bid'ah bukan dalam pengertian bahasa, tapi dalam pengertian syar'i, yaitu hal baru yang tidak bersesuaian dengan prinsip agama. Definisi ini masih berlaku hingga sekarang, karena tidak ada seorangpun dari Khulafa yang empat itu yang membatalkannya.
Pengertian inilah yang seharusnya kita jadikan acuan dalam menilai apakah hal2 baru dalam ibadah itu bid'ah atau bukan. Dan, prinsip2 agama yang dimaksud, sesuai dengan keyakinan golongan yang suka menuduh bid'ah itu, adalah prinsip2 dalam Al Quran dan Sunnah Rasul wa Khulafa urrasyidin.
Untuk hadits2 pendukungnya, mari kita mulai dari Jabir bin Abdillah, yg meriwayatkan Rasul SAW bersabda, "Dia yang memperkenalkan sesuatu yang baik dalam Islam, yang kemudian diikuti orang2 , dia akan mendapatkan pahala amal dari orang2 itu tanpa mengurangi pendapatan pahala orang2 itu sendiri. Dan sebaliknya bagi dia yang memperkenalkan perbuatan buruk dalam Islam dan kemudian diikuti orang2 , maka dia akan menanggung dosa2 amal itu yg dilakukan para pengikutnya itu, tanpa mengurangi beban dosa mereka sendiri. " Hadits ini, dg sedikit variasi lainnya termasuk yang dari Abu Hurairah, tercatat di Translation of Sahih Muslim, book 034 /6466- 70 **). Meskipun latar belakang kontekstual hadits ini adalah mengenai seorang sahabat yang bersedekah kemudian diikuti oleh banyak sahabat lainnya, tapi prinsip dasarnya berlaku umum, bahkan sampai sekarang (karena tidak dibatalkan oleh hadits yang datang belakangan ataupun oleh sunnah khulafa urrasyidin, at least as far as I know). Nah, prinsip dasarnya itu tak lain tak bukan adalah " introducing something good in Islam is allowed, even preferable". Maka, jika sesuatu yang disangka bid'ah itu adalah sesuatu yang baik dalam Islam dan bersesuaian dengan prinsip2 Islam, seperti doa tawassul dan ziarah kubur yang tidak menyalahi prinsip2 tauhid, majelis dzikir, shalawat, maulid, dll itu, yang boleh membawa para pengamalnya kepada qurbatan ilallah, maka hal itu tidak bisa disebut bid'ah, as per definition by Rasul SAW di atas.
Nah, semua hadits2 lainnya yang diungkapkan Syaikh Nuruddin itu ( seperti hadits "Rabbana wa lakal Hamd" dan hadits "baca Qulhu setelah surat setelah Fatihah dalam shalat"), boleh pula dijadikan pendukung prinsip dasar "introducing something good in Islam is allowed, even preferable" ini. Demikian pula, hadits mengenai lafaz Adzan, yang katanya adalah merupakan mimpi dari seorang sahabat yang kemudian disetujui Rasul SAW, pun boleh sebagai pendukung.
Jadi, majelis tahlil, ratib dan shalawat, misalnya, bukanlah bid'ah menurut definisi Rasul SAW ini, sebab semuanya itu bersesuaian dengan prinsip2 Islam. Bukankah semua itu hakikatnya adalah dzikir dan doa yang boleh dilakukan kapan aja, baik bersendirian maupun ber-sama2 ? Nah, sekarang mengenai detail dari Q2. Mari kita simak riwayat2 berikut. Narrated by Israil, Uthman bin 'Abdullah bin Mauhab said, " My people sent me with a bowl of water to Um Salama." Isra'il approximated three fingers ('indicating the small size of the container in which there was some hair of the Prophet. 'Uthman added, "If any person suffered from evil eye or some other disease, he would send a vessel (containing water) to Um Salama. I looked into the container (that held the hair of the Prophet) and saw a few red hairs in it." ( Translation Sahih Bukhari, Volume 7 , Book 72 /784) Nah, praktek tabarruk ini adalah hal baru yang dilakukan oleh Ummu Salamah dan tidak dibenarkan ataupun disalahkan oleh Khalifah arRasyid waktu itu. Beranikah mereka yg mudah menuduh bid'ah itu mengatakan bahwa ummul mu'minin itu telah berbuat bid' ah dhalalah dan terancam ke neraka? Tentu tidak, bukan? Riwayat2 pendukung lainnya adalah seperti berikut ini. Anas said, " Um Sulaim used to spread a leather sheet for the Prophet and he used to take a midday nap on that leather sheet at her home." Anas added, "When the Prophet had slept, she would take some of his sweat and hair and collect it (the sweat) in a bottle and then mix it with Suk (a kind of perfume) while he was still sleeping. "When the death of Anas bin Malik approached, he advised that some of that Suk be mixed with his Hanut (perfume for embalming the dead body), and it was mixed with his Hanut. (Translation Sahih Bukhari, Volume 8 , Book 74 /298) Hajjaj ibn Hassan said: "We were at Anas's house and he brought up the Prophet's cup from a black pouch. He ordered that it be filled with water and we drank from it and poured some of it on our heads and faces and sent blessings on the Prophet. (Musnad Ahmad) Sementara di Bukhari ditambahkan: `Asim said: "I saw that cup and I drank from it." (Sahih Bukhari, Volume 4 , Book 53 /341) Narrated Abu Burda: When I came to Medina . I met Abdullah bin Salam. He said, "Will you come to me so that I may serve you with Sawiq (i.e. powdered barley) and dates, and let you enter a (blessed) house that in which the Prophet entered?" (Sahih Bukhari, Volume 5 , Book 58 /159) Dan masih banyak lagi riwayat2 mengenai tabarruk dan penghormatan kepada sya'air Allah yg dilakukan para sahabat dan salaf saleh. Kita tahu, tabaruk dan menghormati sya'airillah itu dianggap sebagai bid'ah oleh sebagian kaum muslimin. Maka setelah pengetahuan ini, beranikah mereka menuduh orang2 yang mereka cintai, para sahabat dan salaf itu sebagai ahli bid'ah? Tentu tidak, bukan? As for detail dari Q3 , rasanya nggak perlu diungkapkan lagi panjang lebar. Saya yakin para asatidz yang mengamati golongan yang suka membid'ahkan orang2 itu lebih tahu. Fenomena umumnya jelas terlihat, bahwa mereka pun telah terpecah belah menjadi banyak kelompok, satu sama lainnya saling membid'ahkan! Ini despite definisi bid'ah yang mereka gunakan sebetulnya sama persis. Saya pernah mendapatkan penjelasan dari gus Nadir mengenai gimana sih peta mereka itu sebenarnya.
Anyway, agar lebih mantap, detail pertama dari Q3 adalah doa " radhiallahu 'anhu" yang diucapkan setelah nama sahabat disebut. Mereka tidak menganggap ini sebagai bid'ah, justru ini ibadah yg sering mereka amalkan. Pada jaman Rasul SAW dan khulafa yang empat, nggak ada ibadah yang seperti ini, bukan? Maka, bukankah sebetulnya ini adalah bid'ah, as per definisi mereka sendiri itu? Detail selanjutnya, meskipun ini hanya berlaku untuk satu atau dua kelompok dari mereka, tapi tentunya boleh menjadi pendukung. Kelompok2 ini mengamalkan kumpulan dzikir dan doa yg dinamakan, kalau nggak salah nih, Ma'tsurah (pembuka rahasia?), padahal hal ini nggak ada dilakukan oleh Rasul SAW maupun para khulafa yang empat.
Mengapa mereka membid'ahkan majelis tahlil, ratib dan shalawat, sementara mereka menganggap Ma'tsurat sebagai ibadah? Ini jelas tidak adil, padahal sebagai muslim, tentu kita mengklaim diri sebagai pembela dan pembawa keadilan, bukan? :-) Demikian sajian singkat dan sederhana ini, mudah2 an membawa manfaat bagi kita semua. Yang benar tentulah dari Allah, sedang selainnya adalah dari nafsi saya.
0 komentar:
Posting Komentar