27.10.10
Hubungan Antara Ijtihad dengan Bid’ah Hasanah
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Rabu, Oktober 27, 2010
Dalam istilah ushul-fiqih, hal yang tidak dikerjakan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah disebut “at-Tark”, yang secara bahasa artinya meninggalkan suatu pekerjaan. Ulama ushul sepakat bahwa at-Tark bukan berarti larangan. Ketika Nabi tidak mengerjakan sesuatu bukan berarti beliau tidak menganggapnya haram. Ini adalah suatu hal yang sangat logis dan tidak harus sangat cerdas untuk memahaminya.
Sering ada yang berkata: “Kalau memang ini baik tentu Rasulullah sudah mengerjakannya.” Ini adalah pemahaman yang kaku. Rasulullah sudah memberi kita dasar untuk pengembangan bentuk amaliah, sehingga beliau tidak harus memberi terlalu banyak contoh kepada kita. Kelebihan umat Muhammad adalah kepedulian mereka terhadap dunia keilmuan, sehingga tanpa harus diberi banyak contoh mereka akan kreatif.
Banyak hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah, mungkin karena tidak sempat, tidak terfikir atau situasi tidak mendesak untuk itu. Suatu contoh, Rasulullah SAW baru terfikir untuk puasa Asyura’ setelah melihat orang Yahudi mengerjakannya, karena puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah berkaitan dengan hari Asyura’. Seandainya dari dulu orang Yahudi tidak puasa Asyura’, bisa jadi beliau tidak berpuasa Asyura karena tidak terfikir oleh beliau untuk itu.
Atau seandainya orang Yahudi melakukan walimah untuk memperingati hari Asyura’, bisa jadi Rasulullah juga akan memperingati hari Asyura dengan bentuk walimah, bukan puasa, karena walimah adalah salah satu bentuk ibadah shodaqoh yang juga layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur.
Demikian juga dengan istilah “beriman sesaat”. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, bahwa Sahabat Abdullah bin Rawahah sering mengajak orang untuk dzikir bersama dengan berkata:
تَعَالَ نُؤْمِنُ بِرَبِّنَا سَاعَةً
“Mari kita beriman pada Tuhan kita sesaat”
Suatu ketika Abdullah bin Rawahah mengatakan itu pada seseorang dan orang itu langsung marah, ia menganggap Abdullah bin Rawahah telah membuat Bid’ah dengan kalimat “beriman sesaat”, iapun mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dengan berkata:
يَا رَسُوْلَ الله أَلاَ تَرَى إِلى ابْنِ رَوَاحَةَ يَرْغَبُ عَنْ إِيْمَانِكَ إِلَى إِيْمَانِ سَاعَة
“Ya Rasulullah, sesungguhnya Abdullah bin Rawahah telah meninggalkan iman dengan caramu dan memilih iman sesaat.”
Maka Rasulullah SAW berkata:
يَرْحَمُ اللهُ ابْنَ رَوَاحَةَ إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِيْ تُبَاهِى بِهَا الْمَلاَئِكَة
“Semoga Allah merahmati Abdullah bin Rawahah, dia itu menyukai majlis yang dibanggakan oleh para Malaikat.”
Riwayat lain menyatakan bahwa Sahabat Mu’adz bin Jabal juga sering mengungkapkan kalimat itu. Sepertinya, Abdullah bin Rawahah adalah orang bertama yang memiliki ide kalimat “beriman sesaat”. Setelah kasus pengaduan kepada Rasulullah itu kemudian kalimat ini menjadi populer dan Mu’adz bin Jabal yang paling sering menggunakannya.
Coba kita perhatikan, seandainya inisiatif itu tidak muncul dari seorang Abdullah bin Rawahah atau Mu’adz bin Jabal, mungkin tidak akan pernah ada ikrar dari Rasulullah bahwa istilah “beriman sesaat” itu boleh digunakan.
Dari dua riwayat itu dan riwayat lain yang senada, kita bisa menyimpulkan, bahwa Rasulullah sudah memberikan contoh kepada kita sebagai dasar pemikiran untuk inisiatif baik. Apalagi lagi Rasulullah pernah bersabda “Man Sanna Sunnatan ..” (Barang siapa yang mengawali suatu bentuk perbuatan baik dst). Maka kumpulan riwayat itu menyimpulkan seolah-olah Rasulullah SAW berkata “Cerdaslah dan kreatiflah kalian, selama ide kalian itu baik dan tidak menyalahi Syari’at.”
_________________________________________
Dan sebagai tambahan dari hadiah ku ini, berikut tulisan yang saya kutip dari Tim Lembaga Bahtsul Masa’il PC NU Jember dalam buku : “Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & DzikirSyirik” yang juga menyebutkan Dalil – dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh para Sahabat ra pada masa Rasulullah, yaitu :
1. Hadits Muadz bin Jabal ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir(20/271) dan al Imam Ahnad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain, yang menceritakan hal yang beliau (Muadz) lakukan ketika terlambat datang shalat berjama’ah. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam Ibadah, seperti shalat atau lainnya apabila sesuai dengan tuntunan syara’.
2. Hadits al Ash bin Wa’il ra, yang diriwayatkan oleh al Thabarani, Al Hafizh al Haitsami –guru al Hafizh Ibnu Hajar- mengatakan dalam Majmu Zawaid (6/10631) para perawi hadits ini tsiqat dan perawi hadits shahih, yang menceritakan bagaimana suku Dzuhl bin Syaiban bertawassul dengan nama Nabi atas inisiatif pemimpin mereka dan belum mereka pelajari dari Nabi saw. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dengan demikian tidak selamanya perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi saw selalu keliru dan buruk.
3. Hadits Bilal ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (1149), Muslim (6247), al Nasai dalam Fadhail al Shahabah (132), al Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al Hakim (1/313), yang menceritakan bagaimana beliau (Bilal ra) selalu menjaga wudhu dan shalat dua rakaat setiap selesai adzan ataupun wudhu. Hadits ini memberikan faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh derajat tsb berdasarkan Ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan, dan tanpa bertanya kepada Nabi saw.
4. Hadits Ibnu Abbas ra, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (3061), yang menceritakan beliau (Ibnu Abbas ra) mundur ke belakang berdasarkan Ijtihadnya, padahal sebelumnya Rasulullah saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau. Hadits ini membolehkan berijtihad membuat perkara baru dalam agama apabila sesuai dengan syara’.
5. Hadist Ali Bin Abi Thalib ra, yang diiriwayatkan oleh Imam Ahmad (865), yang menceritakan bagaimana Abu Bakar ra membaca Al Quran dengan suara lirih dan Umar ra yang membaca dengan suara keras, sedangkan Ammar membaca dengan mencampur berbagai ayat al Qur’an. Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat Bid’ah Hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihadnya masing-masing. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh oleh Nabi saw pasti buruk atau keliru. Dan agaknya cara Ammar bin Yasir membaca Al Quran sesuai dengan Tradisi Tahlil di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah Indonesia.
6. Hadits Amr bin Ash, yang diriwayatkan oleh Abu dawud (334), Ahmad (4/203), al Daruquthni (1/178), yang menceritakan beliau (Amr bin Ash) melakukan tayamum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Dengan demikian tidak semua perkara yang tidak diajarkan oleh Nabi saw itu pasti tertolak, bahkan dapat menjadi Bid’ah Hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara seperti dalam hadits ini.
7. Hadits Umar bin Khaththab ra, yang diriwayatkan oleh Muslim (1357), al Tirmidzi (3592), al Nasai (884) dan Ahmad (2/14), yang menceritakan seorang laki laki yang mengucapkan Allahu akbar kabiran wal hamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.
8. Hadits Rifa’ah bin Rafi’ ra, yang diriwayatkan oleh al Bukhari (799), al Nasai (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340), dan Ibnu Khuzaimah (614), yang menceritakan kedua orang sahabat yang mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam Iftitah dan dzikir dalam I’tidal. Hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi saw), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Bahkan di dalam buku tersebut juga diceritakan bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal melakukan Bid’ah Hasanah yang belum pernah dilakukan oleh Nabi saw, yaitu beliau mendoakan Imam Syafi’i di dalam shalatnya selama 40 tahun (Al Hafizh al Baihaqi, Manaqib al Imam al Syafi’i, 2/254), dan bagaimana beliau membaca doa Khatmil Qur’an sebelum ruku’ (Ibn al Qayyim, Jala’ al Afham, hal. 226),
Dan juga diceritakan bagaimana Bid’ah Hasanah yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah dalam berzikir yaitu membaca mengulang-ulang surat al fatihah dari sejak setelah shalat subuh hingga matahari naik sambil pandangannya selalu diarahkan ke langit tanpa ada nash dari Nabi saw. (Umar bin Ali al Bazzar; Al A’lam al Aliyah fi Manaqib Ibn Taimiyah, hal 37-39).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar