Juru kunci gunung Merapi Mbah Maridjan dikabarkan meninggal karena tidak mau turun gunung untuk ikut mengungsi ketika Merapi meletus Selasa sore (26/10). Rumah dan desanya hancur porak poranda.
Mbah Maridjan pernah menjadi Rais Ranting NU Kinahrejo dan kemudian diangkat menjadi wakil rais di MWC NU Cangkringan. Ia merupakan figur setia yang selalu mendampingi Merapi, apapun kondisinya. Namanya mulai dikenal luas saat Merapi meletus tahun 2006.
Dilahirkan pada tahun 1927, ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982. Ia selalu menjadi rujukan bagi para pendaki Merapi yang ingin melakukan pendakian. Warga juga menunggu komandonya untuk mengungsi jika Merapi akan meletus.
Kediaman Mbah Maridjan selalu ramai oleh kunjungan dari masyarakat, baik yang sekedar ingin bersilaturrahmi atau meminta nasehatnya. Saat NU Online mendatangi rumahnya tahun 2007 lalu, sudah banyak tamu yang menunggunya.
Ketika NU Online memperkenalkan diri dari Nadhlatul Ulama Jakarta, wajahnya langsung sumringah, “Dari tempatnya Gus Dur ya mas,” katanya.
Ia lalu bercerita bahwa Gus Dur pernah berkunjung ke rumahnya dan menunjukkan rasa kekaguman kepada Ketua Umum PBNU periode 1984-1999 ini.
Berbeda dengan kesannya di publik yang ‘keras kepala’, ia merupakan orang yang humoris sehingga para tamunya langsung merasa akrab. Joke-joke segar keluar dari bibirnya dan membikin para tamu tertawa ngakak tanpa rasa sungkan. Semelekete, kata-kata ikonik yang menjadi ciri khasnya.
Sebuah musholla yang merupakan bangunan baru, berdiri tegak disamping rumahnya. Ia menuturkan, tempat ibadah ini dibangun dari uang hasil kontrak iklan sebuah minuman berenergi.
Kini, Merapi telah kehilangan penunggu setianya. Mbah Maridjan menolak ikut mengungsi, apapun risikonya, 40 tahun ia mengabdikan dirinya tanpa pamrih. Sebuah tekad yang tak masuk akal, kecuali dilihat dari perspektif budaya Jawa.
Hangrungkepi momongane, melindungi dan setia sampai akhir kepada sesuatu yang dulu pernah diamanahkan oleh Sultan HB IX (almarhum) kepada mbah Maridjan. Ia bagaikan prajurit yang tak mau meninggalkan posnya, walaupun nyawa taruhannya.
Mbah Maridjan pernah menjadi Rais Ranting NU Kinahrejo dan kemudian diangkat menjadi wakil rais di MWC NU Cangkringan. Ia merupakan figur setia yang selalu mendampingi Merapi, apapun kondisinya. Namanya mulai dikenal luas saat Merapi meletus tahun 2006.
Dilahirkan pada tahun 1927, ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada tahun 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak tahun 1982. Ia selalu menjadi rujukan bagi para pendaki Merapi yang ingin melakukan pendakian. Warga juga menunggu komandonya untuk mengungsi jika Merapi akan meletus.
Kediaman Mbah Maridjan selalu ramai oleh kunjungan dari masyarakat, baik yang sekedar ingin bersilaturrahmi atau meminta nasehatnya. Saat NU Online mendatangi rumahnya tahun 2007 lalu, sudah banyak tamu yang menunggunya.
Ketika NU Online memperkenalkan diri dari Nadhlatul Ulama Jakarta, wajahnya langsung sumringah, “Dari tempatnya Gus Dur ya mas,” katanya.
Ia lalu bercerita bahwa Gus Dur pernah berkunjung ke rumahnya dan menunjukkan rasa kekaguman kepada Ketua Umum PBNU periode 1984-1999 ini.
Berbeda dengan kesannya di publik yang ‘keras kepala’, ia merupakan orang yang humoris sehingga para tamunya langsung merasa akrab. Joke-joke segar keluar dari bibirnya dan membikin para tamu tertawa ngakak tanpa rasa sungkan. Semelekete, kata-kata ikonik yang menjadi ciri khasnya.
Sebuah musholla yang merupakan bangunan baru, berdiri tegak disamping rumahnya. Ia menuturkan, tempat ibadah ini dibangun dari uang hasil kontrak iklan sebuah minuman berenergi.
Kini, Merapi telah kehilangan penunggu setianya. Mbah Maridjan menolak ikut mengungsi, apapun risikonya, 40 tahun ia mengabdikan dirinya tanpa pamrih. Sebuah tekad yang tak masuk akal, kecuali dilihat dari perspektif budaya Jawa.
Hangrungkepi momongane, melindungi dan setia sampai akhir kepada sesuatu yang dulu pernah diamanahkan oleh Sultan HB IX (almarhum) kepada mbah Maridjan. Ia bagaikan prajurit yang tak mau meninggalkan posnya, walaupun nyawa taruhannya.
Mbah Marijan Dan Aktifitas ke-NU-an
Pernah menjabat sebagai rais NU Desa Kinahrejo, Mbah Maridjan lalu diangkat menjadi salah satu wakil rais di MWC NU Kecamatan Cangkringan. KH Nur Jamil, ketua PCNU Sleman mengatakan Mbah Maridjan figur yang sangat dihormati masyarakat dan total dalam ber-NU.
“Beliau tokoh kunci di Sleman dan sangat fanatik dalam ber-NU,” katanya.
Nur Jamil menuturkan dalam sebuah pertemuan bersama para pemuda, masyarakat dan tokoh NU pada tahun 2006 saat menjelang letusan Merapi waktu itu, Mbah Maridjan menuturkan “Saya ini agamanya NU”. Tradisi NU yang sanga kuat seperti yang dimiliki masyarakat Madura seringkali menyebut agamanya juga NU.
Meskipun tidak memiliki pengetahuan agama yang kuat, tetapi ia rajin mengikuti acara-acara pengajian selapanan (36 hari sekali dalam hitungan jawa) yang dilakukan oleh NU setempat.
“Belakangan memang aktifitasnya keluar sudah agak berkurang karena umurnya yang semakin udzur,” imbuhnya.
Ketua PBNU Muhammad Maksum, yang juga mantan ketua PWNU Yogyakarta memberikan apresiasi yang mendalam terhadap Mbah Maridjan. “Beliau orang yang teguh memegang amanah sampai akhir hayatnya. Tokoh NU lokal yang layak kita hormati,” tandasnya. (mkf)
**** NU ONLINE****
Pernah menjabat sebagai rais NU Desa Kinahrejo, Mbah Maridjan lalu diangkat menjadi salah satu wakil rais di MWC NU Kecamatan Cangkringan. KH Nur Jamil, ketua PCNU Sleman mengatakan Mbah Maridjan figur yang sangat dihormati masyarakat dan total dalam ber-NU.
“Beliau tokoh kunci di Sleman dan sangat fanatik dalam ber-NU,” katanya.
Nur Jamil menuturkan dalam sebuah pertemuan bersama para pemuda, masyarakat dan tokoh NU pada tahun 2006 saat menjelang letusan Merapi waktu itu, Mbah Maridjan menuturkan “Saya ini agamanya NU”. Tradisi NU yang sanga kuat seperti yang dimiliki masyarakat Madura seringkali menyebut agamanya juga NU.
Meskipun tidak memiliki pengetahuan agama yang kuat, tetapi ia rajin mengikuti acara-acara pengajian selapanan (36 hari sekali dalam hitungan jawa) yang dilakukan oleh NU setempat.
“Belakangan memang aktifitasnya keluar sudah agak berkurang karena umurnya yang semakin udzur,” imbuhnya.
Ketua PBNU Muhammad Maksum, yang juga mantan ketua PWNU Yogyakarta memberikan apresiasi yang mendalam terhadap Mbah Maridjan. “Beliau orang yang teguh memegang amanah sampai akhir hayatnya. Tokoh NU lokal yang layak kita hormati,” tandasnya. (mkf)
**** NU ONLINE****
0 komentar:
Posting Komentar