9.10.10

Menakar KAFFAH



Islam kaffah hingga kini masih multitafsir
dalam pandangan mufassir (ahli tafsir).ada sebagian yang memahami Islam kaffah sebagai pelaksanaan syariat Islam secara total termasuk melabelkan negara dengan Islam.Bahkan mereka beranggapan kelompok yang tidak sehaluan adalah "tidak Islami" dan menolak syariat Islam. Salah dalil yang kerap dijadikan legitimasi basis theologisnya adalah Alquran surat Albaqarah ayat 208; "Udkhulu fi as-silmi kaffah".para ahli tafsir dalam memaknai ayat ini terdapat beda pendapat.
Ada yang memaknai kalimat tersebut dengan ; "Masuklah kalian ke dalam syariat islam secara total". Dengan alasan kata silmi artinya adalah syariat Islam.
Pendapat kedua memaknainya dengan; "Masuklah kalian semua ke dalam kepatuhan secara total". Dengan alasan kata silmi artinya adalah ketaatan atau kepatuhan.
Pendapat ketiga memaknainya "Masuklah kalian semua ke dalam ajaran Islam secara keseluruhan".
Pendapat selanjutnya bahkan memaknainya dengan; "Masuklah kalian semua ke dalam keselamatan secara total",karena kelompok ini membaca kata "silmi" dengan "salmi" seperti pendapat Ibn Katsir.
Dari sini kita dapat melihat bahwa kata silmi memiliki arti yang beragam.

Kalau Islam Kaffah itu kemudian di maknai dengan keharusan untuk mendirikan negara Islam,maka sebenarnya Rasulullah sendiri tidak pernah memerintahkan ataupun mewariskan "konsep negara" tertentu. Ayat diatas adalah juga tidak menegaskan bahwa berislam secara kaffah harus dengan mendirikan sebuah negara berlabel Islam.dan tidak berarti pula kelompok yang menolak berdirinya negara Islam dianggap anti syariat Islam.
Kalaupun kita sepakat mengikuti pendapat yang memaknai "Udkhulu fi as-silmi kaffah" dengan menyimbolkan Islam dalam bingkai negara,hal ini juga mensyaratkan tidak adanya perpecahan dan pertikaian.sebab masih ada kalimat setelah kalimat tersebut berupa "wa la tattabi' khutuwati as-syaithan". Kalimat ini oleh al Baidawi ditafsiri dengan perpecahan dan pertikaian.Jadi menurut al Baidawi ayat diatas artinya: MASUKLAH KALIAN KE DALAM ISLAM SECARA TOTAL DAN JANGAN MENGIKUTI SYETAN (YANG MEMECAH BELAH).

Oleh sebab itu usaha untuk memformalkan ajaran Islam ke dalam bentuk negara dalam konteks Indonesia,jelas berlawanan dengan konteks diatas.sebab tidak hanya menimbulkan masalah tapi juga akan menimbulkan konflik sosial dan agama.
Persatuan dan kesatuan yang selama ini diikat oleh pancasila dalam bentuk negara kesatuan akan terancam.yang penting untuk konteks Indonesia adalah "agar syariat Islam bisa jalan namun NKRI tetap utuh".
Kalaupun al Ghozali berpendapat bahwa agama harus dimasukkan kedalam negara, ini harus dipahami dalam konteks "HUBUNGAN SIMBIOSIS MUTUALISMA"(saling menguntungkan). Sebab menurut al Ghozali negara hanya sekedar instrumen penjaga berlakunya syariat islam.Jadi bila kebebasan menjalankan perintah agama sudah dijamin di Republik ini maka tidak perlu membentuk sistem baru yang belum jelas maslahatnya.apalagi Rasulullah sendiri di Madinah tidak mendirikan negara Islam secara Legal-Formal tapi negara Madinah,yaitu negara yang beradab,negara yang berundang-undang,negara yang masyarakatnya adil,makmur dan sejahtera.
Jadi bentuk negara yang dambil Rasulullah adalah bentuk negara Tamadun,negara yang masyarakatnya mutamaddin dan negara tersebut diberi nama Madinah.
Ironisnya,negara yang sekarang masyarakatnya dapat disebut Mutamaddin bukan lagi Mekah dan Madinah,melainkan negara seperti Swiss,Skotlandia,Swedia yang mana masyarakatnya menjunjung keadilan,tidak ada korupsi,tidak ada KKN dan disana HAM dijaga betul.Jadi negara-negara mayoritas Islam tidak ada yang mutamaddin karena sibuk memperjuangkan simbolnya hingga akhirnya nilai-nilai Islam banyak dilanggar,seperti Indonesia.(*RISALAH*-Sya'ban 1428H)

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!