Oleh : Rosidin
Agama adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita sebagai manusia, karena hampir kita sebagai manusia di dunia ini memiliki agama, bahkan agama menjadi identitas kelompok manusia yang berbeda satu kelompok dengan kelompok yang lain. Tetapi agama juga bisa jauh dari kita sebagai manusia, karena agama menjadi misteri bagi kita sendiri dan tidak semua kita bisa menjelaskan secara jelas dan gamblang atas apa yang dirasa dan dialami dari pengalaman keagamaan yang kita anut dengan pengalaman keagamaan orang lain.
Dalam psikologi ada konsep intrinsik dan ekstrinsik untuk melihat orientasi keagamaan seseorang. Secara sederhana orientasi intrinsik merupakan motivasi keyakinan yang dinyatakan, diperlihatkan oleh seseorang dan dilihat oleh orang lain, atau makna yang ringkas type keagamaan yang taat yang teramati. Orientasi dalam bahasa agama bisa di9maknai niat orang beragama.
Analogi konsep psikologi atas intrinsik adalah hal yang biologis atau berlandaskan jasmaniah (somatic). Orientasi intrinsik dirawat untuk dirinya sendiri, bukan karena yang lain. Sedangkan ektrinsik agak lebih menginternalisasi keyakinan, dirawat untuk sesuatu yang lain atau mendapatkan sesuatu yang menjadi kepentingan dirinya. He atau She adalah merupakan bagian dari motivasi beragama untuk mendapatkan beberapa bayaran atau pahala atau motivasi, termasuk dari luar dirinya atas agama untuk dirinya sendiri. Secara teori, jika ditegakkan berdasarkan keinginanan menukar. Dalam psikologi bisa disebut motivasi ganda, ini bisa cara untuk memperlihatkan perilaku dan keinginan. Karakteristik type keberagamaan intrinsik mempunyai sikap kedewasaan beragama dan integritas. Dan sikap intrinsik akan mengarah pada pembangunan kapasitas yang komplit komitmen pada diri sendiri dan yakin dan tidak terpengaruh dari luar dirinya yang berakibat pada merusak siakp independensinya. Gordon dan Allport meyakini sikap ektrinsik pasti mempunyai sikap personal yang butuh atas sebagian untuk yang dimilikinya akan berfaedah pada orientasi keberagamaan. Pertanyaannya, orientasi keagamaan kita lebih ke intrinsik atau ekstrinsik?
Kenapa tipe keagamaan intrinsik dan ektrinsik ini penting dijelaskan, karena berdampak pada sikap keagamaan. Ekstrinsik seseorang membutuhkan partisipasi yang lain untuk penyatuan dengan agamanya sebagai orientasi keagamaannya. Secara sederhana orientasi bisa dimaknai tujuan, sedangkan sikap dalam definisi psikologi adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada suatu objek. Dari kedua type orientasi ini intrinsik dan ektrinsik merupakan bagian dari pengalaman setiap orang dalam memeluk agamanya dan berdampak pada sikap keagamaan yang diperlihatkan dalam hidup sehari-hari yang nampak.
Jalaludin Rakhmat mengartikan keberagamaan intrinsik, yaitu keseluruhan perilaku seseorang yang diusahakan berdasarkan agama yang diyakininya. Dan keberagaman ektrinsik artinya suatu perilaku seseorang yang menggunakan agama untuk tujuan-tujuan yang lain, seperti yang dicontohkan di atas yaitu adanya kepentingan. Adanya konsistensi antara keyakinan beragama dengan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari oleh Glock dan Stark, sebagai sebuah komitmen keberagamaan. Mereka mengungkapkan, bahwa komitmen keberagamaan meliputi dimensi, 1) keyakinan atau ideologi, yaitu sikap dan pengharapan berpegang teguh akan kebenaran doktrin; 2) praktek agama dan ritaul-ritual; 3) pengalaman (experiental), yaitu, berupa semuan kejadian yang dirasakan dan dialami seseorang selama menjalankan praktek keagamaannya; 4) pengetahuan dan intelektual; 5) konsekwensi, yaitu akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari.
Paling tidak terdapat tiga konsep tentang orientasi agama. Ketiga konsep tersebut --yaitu religion as end (agama sebagai tujuan akhir), religion as mean (agama sebagai alat), dan religion as quest (agama sebagai pencarian)-- pernah diperkenalkan Allport dan Ross (1967) ketika menganalisis kecenderungan pemeluk agama dalam menempatkan agama dalam kehidupannya. Setiap orientasi agama tersebut diasumsikan memberi dampak yang nyata terhadap pemeluk seseorang agama dalam menjalankan praktik kehidupannya sehari-hari.
Pertama, agama sebagai tujuan akhir. Tatkala kemudi orientasi agama dibelokkan ke arah the end, maka agama akan masuk perangkap finalitas yang paripurna, sehingga ia kebal (imune) dari kritik. Apa yang dikatakan agama akan menjadi “sihir” dan doktrin kebenaran yang mutlak. Pemeluk agama yang berpegang pada orientasi ini akan cenderung kurang memiliki pemahaman kritis terhadap agama, terutama pada aspek pembedaan bagian mana wilayah agama murni dan bagian mana wilayah tafsir atas agama. Mereka kerap kali bersikap taken for granted terhadap agama. Pada akhirnya, agama kian terjangkit virus stagnasi spiritual, dan cenderung menguatkan eksklusivisme dan fanatisme para pemeluknya. Mereka cenderung menutup mata dari setiap perubahan realitas dan menutup telinga dari kritik yang ditujukan padanya.
Kedua, tatkala tingkat kritisisme terhadap agama lenyap sama sekali, dan fanatisme semakin mengakar kuat dalam keyakinan si pemeluk agama, maka agama dengan mudah akan dimanipulasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Di sinilah religion as mean (agama sebagai alat) mulai tercium aromanya. Dalam situasi begini, agama dijadikan budak bagi kepentingan (interest) yang sama sekali tidak terkait dengan nilai-nilai universal agama itu sendiri.
Jadi jelas bahwa pada hakikatnya para pemeluk agama yang berorientasi religion as end dan religion as mean hanya memanfaatkan agama sebagai justifikasi perilaku mereka saja yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai universal agama. Maka tanpa tedeng aling-aling dapatlah dikatakan bahwa, perilaku seperti itu sama artinya dengan tindak “mematisurikan agama”. Dalam konteks ini kritik Frued menjadi penting, Frued mengatakan, a), ketika agama sepenuhnya terfokus pada “keseluruhan yang lain”, maka kontak dengan realitas menjadi hilang. Pertanyaan-pertanyaan religius mudah menjadi sebuah bentuk desepsi-diri dan eskapisme, b), ketika agama semata-mata bertumpu pada pemenuhan harapan dan bukan pada kebenaran intrinsik, maka agama itu berarti menolak kepuasan murni kebutuhan-kebutuhan. Agama semacam ini tidak perlu dipertanyakan kembali pada struktur kekanak-kanakan, c), ketika agama diwujudkan dengan ketaatan yang kaku dalam putusannya, dalam kata hati legalistik, obsesi, pengulangan do’a-do’a, landasan-landasan dan ritaul-ritual, maka gagasan-gagasan agama mendekati perilaku-perilaku delusif. Untuk itu, diperlukan orientasi lain dari agama, berbeda dari dua orientasi sebelumnya.
Ketiga, religion as quest. Individu dengan orientasi ‘pencarian’ tidak akan menganggap agama sebagai sesuatu yang sudah final dan paripurna. Orientasi agama seperti ini membentuk pemeluk agama menjadi pribad-pribadi yang antikesempurnaan, tapi tetap mempunyai visi ke depan untuk mengejar kesempurnaan secara terus menerus melalui pelbagai cara.
Efek positif yang timbul ketika individu-individu umat beragama memilih keagamaan yang berorientasi pencarian, paling tidak adalah tumbuhnya kritisisme atau sensitivitas terhadap agama. Sikap kritis terhadap agama bukanlah sikap tercela dan perlu dipandang sebagai hal negatif dan mengingkari hakikat agama. Dengan bersikap kritis, diharapkan pemeluk agama justru akan menemukan hakikat terdalam dari pesan-pesan agama itu sendiri. Mereka dituntun untuk menemukan agama sebagai sebuah proses memeluk agama dengan akar keberagamaan yang kuat dalam menghujam di dalam jiwa dan kesadarannya. Pemeluk agama akan belajar untuk berpikir, menafsir dan menimbang mana yang merupakan semangat agama dan mana yang merupakan reduksi atas agama. Dengan jalan seperti itu, stagnasi dan kejumudan spiritual akan terpelanting jauh-jauh dari agama. Orientasi keagamaan ini yang disulut di sini adalah dinamika dan gejolak keberagamaan yang selalu hidup dan progresif. Keterbukaan terhadap kemungkinan-kemungkinan lain, baik di dalam maupun di luar agama semakin lebar. Kecurigaan-kecurigaan terhadap yang lain (other) segera terbendung dengan sendirinya. Hidup beragama diharapkan dapat saling menghormati satu sama lain.
Kesimpulan
Sebenarnya orientasi, sikap keberagamaan dalam kacamata psikologi akan mengarahkan seseorang menciptakan sistem makna. Dan sistem makna akan mengarahkan perilaku kesalehan dalam kehidupan. Memenuhi tujuan agama yaitu memberikan kontribusi terhadap terwujudnya kehidupan religiositas. Religiositas dimaknai kemampuan memilih yang baik di dalam situasi yang serba terbuka. Setiap kali kita akan melakukan sesuatu, maka kita akan mengacu pada salah satu nilai yang dipegangi untuk menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada. Religiositas juga dimaknai sebagai upaya transformasi nilai, dan menjadi realitas empiris dalam proses panjang tumbuhnya kesadaran iman.
Kemudian agama sebenarnya lebih menitik beratkan pada kelembagaan yang mengatur tata cara penyembahan manusia kepada penciptaannya dan mengarah pada aspek kuantitas, sedangkan religiositas lebih menekankan pada kualitas manusia beragama. Agama dan religiositas merupakan kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi, karena keduanya merupakan konsekuensi logis kehidupan manusia yang diibaratkan selalu mempunyai dua kutub, yaitu kutub pribadi dan kebersamaannya di tengah-tengah masyarakat. Artinya memahami religiositas sebagai cara untuk terhadap keimanan tentang ajaran-ajaran agama, dan mestinya berdampak dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat untuk saling memahami dan menghormati yang lain.
Penulis adalah Dosen Jurusan Pemikiran Islam, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon (sumber artikel)
19.3.12
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar