18.5.10

Jelang Pilkada,NU Perlu Mengingat Pentingnya Khittah


Khittah merupakan istilah yang dipakai oleh jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bentuk pernyataan sikap memisahkan diri dalam keterlibatannya secara organisasi dengan partai politik.
Akhir-akhir ini istilah tersebut banyak digunakan organisasi lain sebagai bentuk penyatuan kembali dari sebuah perselisihan ( konflik internal).
Dengan keputusan kembali ke khittah Muktamar NU tahun 1984 , maka NU kini resmi ormas Islam (religious social organization) yang tidak terlibat dalam dukung-mendukung salah satu bendera partai politik manapun dan kembali memposisikan diri sebagai organisasi keagamaan, keislaman, dan kemasyarakatan (jam’iyyah diniyah, islamiyyah dan ijtima’iyyah).
NU kini fokus pada empat garapan besar, yakni dakwah, pendidikan,sosial, dan ekonomi.Persoalan khittah dalam Muktamar NU yang ke-32 di Makassar terlihat kurang banyak dibicarakan peserta muktamar.Mereka lebih asyik memperbincangkan siapa yang bakal maju memimpin NU lima tahun ke depan daripada membahas persoalan yang tengah dihadapi NU.
Karena itu, tak aneh bila dalam arena muktamar ada persaingan dan lobi-lobi yang begitu ketat dan memanas. Akhirnya, produk muktamar pun biasa-biasa saja, tidak fenomenal.
Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984 seharusnya menjadi cerminan bagi muktamirin sekarang. Muktamar tahun tersebut bisa menghasilkan keputusan yang itu sangat penting untuk kepentingan organisasi dan bangsa Indonesia yang dikenal dengan keputusan Khittah. Apalagi khittah tersebut kini telah mengalami pereduksian makna lantaran orang-orang memiliki tafsir berbeda sesuai kepentingan politik masing- masing.
Di sinilah letak pentingnya pemimpin, karena maju dan tidaknya sebuah organisasi juga tergantung kepada seorang pucuk pimpinan dalam mengambil suatu keputusan (hasibun).Apalagi organisasi sebesar NU, tentulah sangat butuh seorang pemimpin yang benar-benar berjiwa leadership,alim, mukhlis,memiliki konsep manajerial, administratif,dan tentu saja loyal kepada organisasi.

NU dan politik lokal
Tahun 2010
beberapa daerah di Provinsi Jawa Timur, menggelar pemilihan kepala daerah, walikota atau bupati. Kota atau kabupaten yang bakal menggelar pemilihan kepada daerah adalah Surabaya, Blitar, Pasuruan, Ngawi, Jember, Lamongan, Ponorogo, Blitar, Situbondo, Kediri, Sumenep, Gersik, Malang, Mojokerto, Trenggalek, Sidoarjo, Banyuwangi, dan Pacitan. Beberapa calon telah bermunculan, baik melalui jalur partai politik maupun calon perseorangan (independen).
Latar belakang calon pun beragam: ada yang berstatus kiai pengasuh pondok pesantren, pengurus NU, politisi, pengusaha, birokrat, teknokrat, pengamat hingga artis pengumbar aurat.
Posisi ormas-ormas pada setiap pelaksanaan pemilihan kepala daerah bisa dikatakan sangat penting, karena daya pikatnya luar biasa. Karena itu, berbicara beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur berarti juga berbicara tentang Nahdlatul Ulama tersebut.
Hal tersebut dapat dipahami karena ormas memiliki sumber daya berupa tokoh-tokoh berpengaruh dan struktur organisasi hingga pelosok desa/kelurahan (ranting). Lebih dari itu, ormas besar seperti NU jelas memiliki anggota yang sangat banyak. Itu berarti sangat potensial untuk mendulang dukungan suara bagi pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Karena itu pula, bicara pemilihan kepala daerah di Jawa Timur, berarti bicara juga tentang NU, karena sampai saat ini NU sangatlah besar di Jawa Timur.
Akhirnya, siapapun calon walikota dan bupati di daerah Jawa Timur, mestilah mempertimbangkan elite dan warga NU. Sebab, mayoritas warga Jawa Timur hingga kini mengidentifikasi dirinya sebagai nahdliyin.
Saking pentingnya posisi politik warga NU dalam pemilihan walikota dan wakilnya maupun bupati dan wakilnya, telah banyak yang menjalin komunikasi dan merajut sinergi dengan berbagai tokoh NU, baik di jalur struktural maupun kultural, untuk kepentingan politik para calon.
Mudah-mudahan para elite NU yang ada di masing-masing daerah dalam menghadapi pilkada ini bisa memposisikan diri untuk tidak membawa NU pada ranah kepentingan politik praktis.Biar NU tidak terkesan sebagai partai politik lokal yang sewaktu-waktu mendukung dan mengusung calon tertentu dan yang demikian itu selalu berujung kepada kekalahan. Kalau yang demikian itu tetap dilakukan para elite NU, taruhannya akan sangat mahal. Bukan saja kredibilitas pridadi mereka yang hancur, tapi juga NU secara jam’iyyah akan ditolak oleh masyarakat.

*Penulis adalah Staf Pengajar Sekolah Tinggi Islam Al-Karimiyah ( STIA) Sumenep

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!