25.5.10

Menjaga Keindonesiaan Kita


Berbagai permasalahan bangsa —mulai kasus Century, Gayus, markus, Mbah Priok, Sri Mulyani, bencana, terorisme, kemiskinan, pengangguran, hingga money politics, telah membuat bangsa ini berbeda-beda sikap dan pandangan. Ini wajar. Yang tidak wajar dan memprihatinkan adalah, masing-masing mempertahankan keyakinan dan kebenarannya sendiri.
Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Karenanya, diperlukan kearifan historis agar nasionalisme bangsa tetap terpelihara. Memori historis yang menyatakan bahwa bangsa ini dibangun dari perasaan senasib, sepenanggungan, seperantauan, harus digelorakan untuk menumbuhkah jiwa nasionalisme dalam sanubari setiap anak bangsa.
Harus kita sadari, memori itu pula yang membangun identitas bangsa seperti tergambar dalam semboyan Bhlnneka Tunggal Ika. Tan Hana Dharma Mangrwa, walaupun kita berbeda-beda, sesungguhnya kita satu, tiada satu kewajiban pun untuk mendua. Ini benar-benar harus kita pahami dan jalankan dalam tata cara kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, kebhinekaanlah sejatinya adalah ruh bagi kukuhya persatuan dan kesatuan. Kebhinekaanlah daya lekat bagi terciptanya nasionalisme di bumi Pancasila Ini. Kebhinekaanlah motivasi membangun peradaban yang bermartabat dan terhormat.
Menjaga keindonesiaan kini memang tidak sekadar mempertahankan wilayah. Yang jauh lebih penting adalah menjaga semangat untuk mengisi kemerdekaan. Di tengah arus zaman yang tidak mengenal sekat batas negara karena globalisasi, nation yang oleh Ben Anderson didefinisikan sebagai komunitas terbayang, harus mampu kita realisasikan dalam wujud kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Cita-cita itu tak boleh lagi hanya slogan kosong tanpa makna. Kita harus merealisasikannya dalam langkah konkret.
Dengan begitu, nation bukan sekadar spirit ikatan bersama dalam pengorbanan dan kebersamaan seperti yang dicetuskan Ernast Renan dalam esai “What is nation?”. Yang tak kalah urgen, dalam konteks kekinian menjaga keindonesiaan adalah membangun karakter khas bangsa. Bangsa yang berdikari atas kehidupan ekonomi, berdaulat secara politik, dan memiliki kepribadian yang khas sesuai kebudayaan bangsa yang plural. Artinya, kini kita harus mampu membangun dan mengembangkan sumber daya manusia paripurna yang unggul dalam setiap bidang kehidupan.
Perdebatan keyakinan dan kebenaran harus ditempatkan dalam koridor keindonesiaan. Deng demikian, kita semua bisa mengukur sejauh mana relevansinya bagi kemajuan mengatasi perselisihan akibat saling serang terhadap keyakinan. Dengan menempatkan semua perbedaan dalam kemajemukan Indonesia, kita akan mampu melihat Indonesia tidak dari satu sudut pandang tertentu.
Indonesia adalah perpaduan semua perbedaan yang sebetulnya sangat rawan disintegrasi. Negeri dengan kurang lebih 17.000 pulau ini memuat ratusan suku bangsa yang mempunyai akar budaya, pandangan hidup, karakter, sikap yang tentu berbeda pula. Bahkan, aliran kepercayaan juga mendapatkan tempat yang layak seperti warga negera lainnya untuk hidup di negeri ini. Alhasil, nasionalisme bangsa haruslah diletakkan dalam akar kebhinekaan.
Momentum kebangkitan nasional kini mestinya menjadi ajang mengingat apa yang pernah dicita-citakan founding fathers, membingkainya dalam apa yang harus kita lakukan dalam kekinian demi masa depan bangsa yang gilang-gemilang. Menjaga keindonesiaan kita adalah membuat setiap anaka bangsa merasa bangga dan benar-benar merasa menjadi bagian bangsa.
Bangga karena akar sejarah yang tercetak, bangga akan kebesarannya, bangga akan kemajemukan dan budayanya yang ramah-tamah. Dan, yang tak kalah penting, semua anak bangsa benar-benar merasakan bahwa kita semua adalah satu bagian dari bangsa ini. Bagian yang mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam memerankan kehidupan. Yang kaya memperhatikan yang miskin, yang punya kuasa selalu memperhatikan konstituennya, serta yang berada di daerah tidak merasa ketinggalan informasi dari mereka yang berada di pusat.
Merasa menjadi bagian bangsa adalah kunci bagaimana peradaban besar bangsa akan terus kontinu untuk dilestarikan. Sebuah peradaban yang antidiskriminasi ras, agama, maupun suku. Peradaban yang dibangun pada landasan kebersamaan akan perasaan yagn senasib dan sebangsa. Peradaban yang terbayang dalam komunitas-komunitas imajinasi tentang masa depan yang cerah. Masa depan yang penuh dipandang dengan optimistis dan harapan akan kebaikan yang selalu mengiringi langkah. Bukan masa depan yang pernah Ahmad Wahib tulis pada catatan hariannya tertanggal 6 Juni 1969.
Dalam catatan harian tersebut menulis, “Ia menulis Aku tidak mengerti keadaan di Indonesia ini. Ada orang yang sudah sepuluh tahun jadi tukang becak. Tidak meningkat-ningkat. Seorang tukang cukur bercerita bahwa dia sudah 20 tahun bekerja sebagai tukang cukur. Penghasilannya hampir tetap saja. Bagaimana ini?”
Sebuah tulisan yang berisi kontemplasi Wahib dan menggugat cita-cita kemerdekaan yang akan membawa pada kemakmuran dan kesejahteraan ternyata masih jauh dari harapan. Cita-cita yang tersematkan dalam undang-undang dasar, kini hanya menjadi sepenggal kata yang dijanjikan para politisi pada saat kampanye, menjadi kalimat sakti yang mampu membius rakyat untuk bermimpi tapi sejatinya cuma mengantarkan sang politisi pada nikmatnya kekuasaan.
Kita sudah lama merdeka namun apa yang pernah didengungkan sejak dulu hingga kini belum sampai disarikan demi kemakmuran rakyat. Kemakmuran dan kehidupan layak masih dinikmati segelilir komunitas. Kemerdekaan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup hanyalah milik mereka yang kaya. Buktinya, hasil pembangunan selama ini malah menghasilkan jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Bahkan, kemiskinan dan pengangguran juga masih sangat tinggi. Pengemis, gelandangan, anak kecil tak sekolah juga masih mudah kita temui di perempatan-perempatan lampu merah di kota-kota besar.
Tidak ada yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Tidak pula ada orang yang bersedia memperhatikan nasib mereka. Kemerdekaan memang telah lama kita rengkuh, tetapi hakikat kemerdekaan belumlah kita aplikasikan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Model pembangunan yang masih Jawa-sentris, primordial kesukuan yang masih kental, toleransi antarpemeluk agama yang masih kaku, adalah bukti nyata intisari kemerdekaan kita masih sebatas slogan. Belum menjadi simbol bangsa yang mempunyai cita-cita mencapai kemakmuran bersama.
Kita belum mampu duduk bersama di atas permadani 17.000 ribu pulau. Kemerdekaan kita masih menyisakan PR besar untuk diselesaikan. Kemerdekaan kita masih sebatas bungkusnya yang mewah, tetapi rasa kemerdekaan kita belum tersebar luas untuk dinikmati seluruh anak negeri. Kini, sudah saatnya kita menebarkan ruh kemerdekaan tidak hanya di ibukota, melainkan juga ke pelosok pulau-pulau kecil yang merupakan bagian bangsa, sehingga dirasakan selurah anak negeri, tidak hanya menjadi milik pejabat, pengusaha, politisi, artis, ataupun ilmuwan saja.(dutamasyarakat.com)

Penulis AHAN SYAHRUL, peneliti pada Center for Public Policy Studies ( CPPS) Surabaya

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!