12.2.10
Pemulihan Nama Gus Dur dan Bung Karno
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Jumat, Februari 12, 2010
Mantan presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur) yang wafat 30 Desember 2009 lalu benar- benar menjadi perhatian publik begitu luas. Semua kalangan menaruh hormat dan kagum atas jasa dan pengabdiannya pada pengembangan prinsip demokrasi dan pluralisme. Wajarlah bila hari-hari ini sejumlah kalangan mengusulkan agar pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Harus diakui bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional, baik berupagelar pahlawan nasional, baik berupa prosedur, kriteria kelayakan, maupun sejumlah prasyarat teknis lain, belum diatur secara permanen dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pahlawan dan Kekuasaan Di era Orde Baru, misalnya, gelar pahlawan nasional nyaris hanya diberikan kepada mereka yang sedikit-banyak memiliki andil bagi kepentingan kekuasaan pada saat itu. Sejumlah tokoh yang mestinya layak mendapatkan gelar pahlawan, namun dianggap tak netral bahkan merugikan kekuasaan politik, dengan mudah sesorang ditolak untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional. Bung Tomo adalah contoh nyata dalam soal ini. Gelar pahlawan saat itu benar-benar amat bergantung pada kemauan dan tafsir politik kekuasaan. Makin menguntungkan kekuasaan, kian mudah diakomodasi menjadi pahlawan nasional. Sebaliknya makin merugikan dan berpotensi mendelegitimasi kekuasaan politik, jangan harap mendapat pengakuan pahlawan nasional. Regulasi Kepahlawanan Agar peristiwa penganugerahan gelar pahlawan nasional ini jauh dari pertimbangan-pertimbangan subjektivitas kekuasaan politik, saatnya kini pemerintah dan DPR mendesain produk perundang- undangan yang meregulasi secara rigid dan elegan tentang penganugerahan gelar pahlawan nasional. Dalam UU ini perlu diatur tentang apa syarat dan kriteri, prosedur, model, jasa dan jenis gelar kepahlawanannya. Seluruhnya perlu dikontekskan dengan dinamika ketokohan sesorang sesuai perkembangan zaman dan kepantasannya dijadikan role of model generasi mendatang. Di titik ini perlu tafsir ulang arti pahlawan nasional yang tidak lagi hanya diberikan kepada mereka yang memanggul senjata, karena ikut berperang pisik melawan penjajah. Gelar itu juga diberikan kepada mereka yang berjasa pada semua bidang yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Gus Dur adalah contoh nyata model tokoh yang pantas diberi gelar pahlawan nasional. Kendati tidak pernah memanggul sejata melawan penjajah, perjuangan dan pengabdiannya pada pengembangan masyarakat dan bangsa Indonesia pada soal demokratisasi, pluralisme, dan kecendekiawanan tak kalah dengan mereka yang memanggul senjata. Karena itu, adalah kewajiban untuk menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Perlunya Rehabilitasi Untuk konteks penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur, ada baiknya bangsa ini melalui elite politik dan pemerintah untuk berbesar hati merehabilitasi (memulihkan) nama baik Gus Dur. Hal ini terkait dengan kontroversi seputar pemakzulan ( impeachment) dari kursi presiden RI pada Sidang Istimewa (SI) MPR RI 23 Juli 2001 , yang tanpa kehadiran Gus Dur lalu mendaulat Megawati menjadi presiden ke-5 menggantikan Gus Dur. Persoalan kontroversi ini harus dituntaskan terlebih dahulu. Sebab, hingga hari ini tak terkuak secara hukum, dengan alat bukti yang meyakinkan: apa kesalahan hukum Gus Dur hingga dimakzulkan dalam SI MPR. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur, jika tidak diiringi pemulihan nama baiknya dalam keterlibatannya secara hukum pada kasus Bulog dan Brunei , akan bisa menodai gelar pahlawan kepada guru bangsa ini. Masih segar dalam ingatan publik, DPR menggelar Sidang Paripurna pada 1 Februari 2001 mengeluarkan keputusan DPR No. XXXVI/DPR-RI/I/2001 yang mendakwa Gus Dur melanggar haluan negara karena terlibat dalam dua kasus. Atas dasar ini DPR menjatuhkan memorandum I sesuai maksud pasal 7 Tap MPR No III/MPR-RI/1978 tentang Memorandum. Yakni, semacam surat teguran dan peringatan kepada presiden untuk memperbaiki kinerja. Dilanjutkan dengan mengeluarkan memorandum II pada 30 Mei 2001 dan dilanjutkan dengan SI MPR tanggal 23 Juli 2001. Gus Dur memilih jalan mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi tiga hal: (1) Pembubaran DPR; (2) Pembubaran Partai Golkar; (3) Pemilu dipercepat. Namun, realitasnya hanya berjarak beberapa jam MPR tetap melakukan SI MPR pada 23 Juli 2001 dengan agenda impeachment (pemakzulan) Gus Dur dan mendaulat Megawati sebagai presiden. Saat itu sejumlah pakar hukum tata negara yang menyangsikan Dekrit Presiden dan SI MPR karena menyimpang dari prosedur hukum ketatanegaraan. Mereka akhirnya berbelok arah ke proses politik untuk melengserkan Gus Dur yang lebih didasarkan sentimen politik atas gaya kepemimpinan Gus Dur. Merehabilitasi Bung Karno Karena ketidakjelasan secara hukum keterlibatan Gus Dur dalam skandal Bulog dan Brunei, sudah semestinya pemerintah merehabilitasi nama baik Gus Dur, sekaligus secara bersamaan menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Model ini mestinya menjadi pelajaran dan momentum untuk mempertimbangkan rehabilitasi Presiden Soekarno yang tak jelas status hukumnya hingga ajal menjemput. Apa kesalahan hukum Bung Karno, para pemimpin negeri ini tak mampu menjelaskan kepada publik, kecuali hanya mampu menjelaskan bahwa Bung Karno pernah menjadi presiden I RI yang secara politis bersalah bukan secara hukum. Gus Dur dan Bung Karno adalah korban ketidakjelasan mekanisme hukum negeri ini dan korban kepengecutan elite politik negeri ini. Semoga perlakuan ini tidak terulang pada para presiden yang kini masih hidup dan yang masih berkuasa. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
ntr suharto juga minta pemulihan nama baik tu...
mksh udah mampir.emang dari GOLKAR udah mengusulkan demikian kan? Gelar Pahlawan dan Rehabilitasi buat mbah Harto? hmmmh,,,,,,,,
Posting Komentar