22.4.10
Fenomena Gus Dur
Posted By
Abdurrahman Haidar
On
Kamis, April 22, 2010
Ketika masih hidup Gus Dur membuat banyak heboh baik dalam pemikiran keagamaan, pemikiran kebudayaan hingga manuver-manuver politik akrobatiknya yang menimbulkan berbagai kontroversi. Demikian ketika Gus Dur meninggal kehebohan juga terjadi, ribuan pelayat sejak dari rakyat jelata hingga petinggi negara menghormatinya. Masyarakat berjajar memenuhi jalan baik di Jakarta, maupun sepanjang jalan antara Surabaya Jombang yang berdiri menghormati tokoh pujaannya.
Tidak hanya kalangan Muslim yang khidmat menyelenggarakan tahlilan selama tujuh malam, kalangan Kristen, Hindu Budha dan Konghucu juga menyelenggarakan doa yang sama, mereka merasa kehilangan tokoh besar sang pelindung yang menjadi panutan. Hal itu menjadi dramatis ketika seluruh media masa baik cetak maupun elektronik yang menyiarkan secara langsung, sehingga presesi pemakaman itu mereka ikuti secara seksama.
Lebih heboh lagi ketika tokoh yang baru meninggal itu secara aklamasi diserukan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia agar diberi gelar pahlawan nasional. Mengingat derasnya arus ini, kelihatan tidak ada kalangan yang terang-terangan berani melawan arus, semua mengiyakan. Tidak disangka pemberian gelar kepahlawanan Gus Dur ini juga dimaksudkan untuk mendongkrak kepahlawanan dua presiden sebelumnya yaitu presiden Soekarno Sang Proklamator dan presiden Soeharto, yang keduanya belum mendapatkan gelar pahlawan. Melalui momen pemberian gelar pada Gus Dur inilah kedua tokoh tersebut akan dipahlawankan.
Gus Dur memang tokoh besar, tetapi besarnya sambutan masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia ternyata di luar dugaan. Selama ini peran Gus Dur sempat dinafikan, seolah tidak memiliki jasa pada bangsa ini, kalah dengan permainan politik para politisi belakangan ini. Padahal Gus Dur merintis perjuangannya sejak akhir 1970-an untuk mendidik dan membebaskan bangsa ini, baik dari keterbelakangan maupun dari represi politik Orde Baru dengan segala risiko.
Kepedulian pada rakyat dan bangsa ini seolah membuat dia tidak pernah lelah berjuang. Hari-hari yang panjang dihabiskan untuk menjalin silaturrahmi dan merentang jaringan dengan masyarakat di semua level baik nasional maupun internasional. Ini dijalankan dengan penuh risiko bertabrakan dengan kekerasan orde baru. Semua dijalankan dengan penuh kesungguhan, ketika tokoh yang lain sedang menikmati bulan madu dengan represif itu. Karena itu ketika gerakan reformasi mencapai puncaknya, akhirnya orang dating juga pada tokoh ini, karena memang sejak dulu muaranya ada di sana.
Tetapi setelah reformasi seolah peran Gus Dur tidak ditoleh lagi, malah orang menganggap kehadirannya sudah tidak dianggap membawa sumbangan pada bangsa ini. Suara itu mulai banyak dihembuskan oleh para pengkritiknya. Tetapi kata Al-Qur’an wamallahu bighofilin amma ta’malun (Tuhan tidak lupa terhadan apa yang kamu kerjakan), orang Jawa bilang Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur), dengan berpegang pada prinsip itu tidak heran dikala meninggalnya Jasa dan perjuangan Gus Dur diingat masyarakat kawula mboten supe (rakyat tidak lupa). Luapan emosi masyarakat dalam menyambut kepergian Gus Dur itu menunjukkan rakyat memiliki memori yang tidak di-clear (dihapus) melalui berbagai opini yang disebarkan, karena memori masyarakat tidak dibentuk melalui pengetahuan kognitif, melainkan melalui pengetahuan afektif dan empiris, karena jasa besar Gus Dur tidak didengar melalui orang lain tetapi dirasakan sendiri oleh rakyat. Proses ini yang membuat masyarakat tidak lupa atas jasa dan perjuangan Gus Dur pada bangsa ini.
Gus Dur sendiri mengajarkan bahwa berjuang dilakukan tidak untuk memperoleh popularitas, tetapi demi pengabdian pada masyarakat itu sendiri, karena itu walaupun tidak pernah dihargai, bahkan dicaci seseorang tidak boleh berhenti berjuang, karena suatu ketika masyarakat akan melihat hasilnya, dan kemudian akan menerima dan mengakui apa yang sudah dilakukan. Sebagai seorang yang memiliki spektrum luas, perjuangan Gus Dur juga memiliki cakupan yang luas, tidak hanya di wilayah agama dan politik, tetapi di ranah sosial, seni budaya bahkan oleh raga.
Luasnya spektrum perjuangan itu Gus Dur tidak pernah terperangkap dalam jalan buntu, setiap kesulitan selalu ditemukan jalan keluarnya. Ketika pintu politik ditutup ia bisa bergerak melalui agama, ketika agama dibatasi ia bisa bergerak dalam dunia seni budaya, ketika seni budaya dihadang ia bisa berjuang melalui alam spiritual dan seterusnya, karena itu perjuangan Gus Dur tidak pernah berhenti, bahkan semakin meluas, sehingga meluas pula spektrum dukungannya. Tidak hanya dari kalangan ras, etnis dan budaya tetapi juga dari kalangan agama yang berbeda beda. Semuanya merasa bahwa Gus Dur adalah tokoh yang membawa berkah bahkan pelindung yang membawa keselamatan.
Sepeninggal Gus Dur tentang bangsa Indonesia dan NU kehilangan tokoh besarnya yang harus segera diganti. Selama ini NU tidak hanya menjadi penyeimbang kehidupan bangsa tetapi malah menjadi penyangga dalam kehidupan berbangsa, karena NU memiliki kepedulian terhadap keragaman yang dimiliki bangsa ini, dsan semuanya mendapatkan perlindungan hak dan kewajiban yang sama. Pengganti Gus Dur mesti bisa meneladani dan melanjutkan semua rintisan yang telah dibuat oleh Gus Dur, agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tetap lestari.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar