2.4.10

Gus Dur,Cah Angon dan Lir-ilir


Belum lama saya melakukan kajian terhadap tembang “Ilir-Ilir”. Tembang ini diciptakan sudah sangat lama, sekitar lima abad silam. Ada beberapa pendapat mengenai pencipta tembang ini. Ada yang menyebut Kanjeng Sunan Ampel dan Sunan Giri. Ada pula yang menyatakan tembang itu buah karya Sunan Kalijogo. Mayoritas lebih cenderung pada Kanjeng Sunan Kalijogo, melihat kedekatannya pada adat dan budaya Jawa. Tembang ini selalu menarik dikaji karena deretan syair-syairnya menyimpan falsafah kehidupan yang begitu dalam dan luas. Masih terngiang di telinga saya ketika budayawan Emha Ainun Nadjib mencoba mem-break down syair-syair tersebut dalam berbagai sudut pandang. Sebuah upaya yang patut kita apresiasi, mengingat satu tembang tidak cukup ditafsirkan dalam beribu- ribu jilid buku dan berates-ratus tahun. Ya, beragam sudut pandang bisa dipakai, tergantung dari sudut pandang mana kita menafsirinya, karena makna yang terkandung di dalamnya sangat dalam dan luar biasa, menyimpan falsafah dalam segala ranah kehidupan. Menariknya ada salah satu bait syair tembang “Ilir-Ilir” yang begitu mengingatkan kita tentang KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia adalah tokoh besar dan kharismatik yang menjadi idola banyak orang. Ini ini terlihat ketika Gus Dur meninggal. Saat itu semua corak masyarakat dari berbagai kalangan mengirim doa buat Gus Dur. Mereka merasa sangat kehilangan tokoh yang bisa merangkul semua golongan, tokoh yang bisa diterima semua golongan dan tokoh yang selalu memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan demokrasi. Walaupun berasal dari kalangan ulama dan kiai, Gus Dur bisa berdialog dan membaur dengan warna pelangi masyarakat. Tokoh besar seperti Gus Dur inilah yang kemudian mengingatkan saya pada sosok “bocah angon” yang tersirat dalam tembang “Ilir-ilir”. Hal ini karena ada banyak kriteria “cah angon” dalam tembang itu yang juga dimiliki Gus Dur. Dan memang Gus Dur adalah salah satu tokoh abad ini yang pantas menyandang gelar “cah angon” tersebut. Simaklah syairnya yang berbunyi “Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi”. Dalam bahasa Indonesia, syair itu artinya “Anak gembala, anak gembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu”. Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa idiom yang dipilih adalah “cah angon” (anak gembala), bukan jenderal, sastrawan, seniman, cendekiawan, budayawan, atau lainnya? Ini karena seorang pemimpin itu harus mempunyai daya angon, daya menggembala, dan bisa ngemong (mengasuh), memesrai, dan merangkul semua pihak. Tentu saja ia boleh seorang jendral, cendekiawan, ulama, kiai, budayawan, dan sebagainya. Yang terpenting ia memiliki sifat daya angon dan bisa diterima semua kalangan. Cah angon adalah tokoh nasional, bukan tokoh segerombol golongan yang menciptakan determinasi dan keseimbangan sendi kehidupan. Patut pula kita cermati pilihan kata “penekno blimbing kuwi” dalam tembang tersebut. Mengapa yang dipilih adalah “blimbing”, bukan kata pelem (mangga), rambutan, salak, semangka, dan sebagainya? Jawabnya, karena buah blimbing memiliki sifat dan bentuk yang berbeda dibanding buah lainnya. Buah blimbing berkikir lima yang mencerminkan falsafah sangat tinggi dan terkait erat dengan pluralisme dan demokrasi. Kikir lima dalam kaca mata Islam dapat diartikan sebagai rukun Islam dan salat lima waktu. Sedangkan dalam konteks negara, kikir lima juga dapat diartikan sebagai Pancasila yang menjadi dasar negara kita. Jadi, seorang pemimpin harus bisa mencapai blimbing. Dalam konteks kenegaraan, ini berarti pemipin harus bisa mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan berbagai sendi kehidupan untuk mencuci pakaian nasionalisme kita. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya dibaca setiap kali ada upacara bendera dan kebangsaan, tetapi nila-nilainya diaplikasikan dalam segala rana kehidupan. Setelah saya renungkan dalam-dalam falsafah tersebut, saya menelusuri rekam jejak Gus Dur. Ternyata, sepak terjang tokoh yang saya kagumi dan dikagumi banyak orang itu cocok dengan tembang tersebut. Saya pun sadar bahwa sosok cah angon yang selama ini dinati- nantikan banyak orang adalah tokoh yang paling populer abad ini, dialah Gus Dur. Gus Dur adalah aktor yang pantas menempati sosok “bocah angon” dalam tembang “Ilir-ilir” karya Kanjeng Sunan Kalijogo. Pertanyaan yang selama ini menggelitik hati saya kini terjawab sudah. Semoga akan muncul cah angon-cah angon dan Gus Dur-Gus Dur baru di Indonesia, sehingga akan tercipta keseimbangan hidup di negara kita tercinta ini. Semoga nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan oleh cah angon Gus Dur dapat diteruskan generasi berikutnya sehingga gemah ripa loh jinawi yang ada di tanah Indonesia segera dirasakan nikmatnya oleh bangsa dan negara ini.oleh: AFI WAHID Penelusur sejarah, penggiat sastra dan budaya, pimpinanan komunitas Lembah Pena “Endhut Ireng” Jombang

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!