21.6.10

Ormas Keagamaan dan Politik Kebangsaan NU


Jumlah ormas keagamaan di Indonesia cukup banyak bila pengertian keagamaan meliputi agama-agama lokal, selain lima agama yang diakui secara resmi oleh negara. Hingga sekarang saja, Kementerian Pendidikan Nasional narus mengawasi kurang lebih 246 organisasi agama lokal. Agama lokal ini keberadaannya diakui bukan sebagai agama tetapi sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk lima agama yang diakui secara resmi, data tahun 2005 dari Departemen Dalam Negeri menyebutkan, jumlah ormas yang terdaftar sebanyak 15 organisasi. Angka ini tentu tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya. Sebagai contoh, ormas Islam saja jumlahnya lebih dari 50 organisasi. Daftarnya bisa lebih panjang jika dimasukkan pula ormas-ormas dari agama-agama yang baru masuk dan menyemaikan pengaruhnya di Indonesia, yang jumlahya lebih dari 10 agama, seperti Baha’i, Druze, Jainisme, Yahudi, Realianisme, dan lain sebagainya.

Indonesia tampaknya adalah negeri yang paling majemuk dalam segala hal. Realitas seperti itu jelas akan menghadirkan tantangan-tantangan yang fundamental bagi implementasi gagasan Negara Bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita persatuan. Apalagi di alam liberal dengan perlindungan HAM yang kuat seperti sekarang ini. Selama masa reformasi, misalnya ormas-ormas itu semakin bergairah mengembangkan eksistensi dan pengaruhnya. Beberapa agama lokal atau sekte baru, bahkan tumbuh menjadi asosiasi yang cukup modern, misalnya penganut kepercayaan Karuhun mengorganisasi diri dalam PAKCU. Demikian pula agama-agama baru, kini semakin agresif mengembangkan dakwahnya, seperti Baha’i dan beberapa lainnya, bahkan kini sedang berjuang untuk memperoleh hidup.

Pada sisi yang lain, lingkungan Islam, Kristen, Hindu maupun Budha, kini sama-sama menghadapi situasi ketengan internal karena berkembangnya pemikiran dan sikap keagamaan sekuler di satu sisi, dan radikal pada sisi lain pada ormas-ormasnya. Kenyataan ini sesungguhnya sebuah keniscayaan dan merupakan konsekuensi dari liberalisasi dan globalisasi informasi yang sulit dihindari. Khususnya dikalangan Islam, hal itu bahkan telah menimbulkan persoalan berbangsa karena sejumlah ormas yang memiliki pemikiran dan sikap keagamaan radikal, mulai membuka kembali debat menganai relasi agama dan negara, satu hal yang asal-usulnya dapat ditelusuri sejak masa pembentukan negara. Mereka ini terdiri atas dua kelompok. Pertama adalah yang mencita-citakan berdirinya negara Islam (entah dalam bentuk khilafah atau lainnya). Kedua, yang menginginkan sekedar pengembangan syariat Islam melalui perda-perda syariah. Eksesnya pun telah nyata, yaitu berkembangnya kecurigaan antar golongan agama.

Salah satu sumber penyebabnya adalah karena demokrasi sebagai prosedur telah diselewengkan untuk melegimitasi tujuan-tujuan politik yang bersifat sectarian. Mereka berargumen, sejauh cita-cita politik itu ditempuh melalui jalan demokratis, maka secara otomatis sah dan benar. Demokrasi juga telah diselewengkan oleh kalangan lainnya yang berorientasi pragmatis. Atas nama prosedur yang sudah demokratis, mereka melegimitasi kepentingan pragmatis kelompok elite atau kapital tertentu. Konsekuensinya, banyak kebijakan publik mengalami kesenjangan dengan aspirasi publik. Urusan menjadi ruwet karena kelompok-kelompok radikal dan gerakan-gerakan yang bercorak etnisitas, daerahisme, dan sparatisme memanfaatkan keresahan yang berkembang.

NU dan Politik Kebangsaan

Peran NU dalam ikut menggagas merintis dan memperjuangkan berdirinya negeri ini, jelas sangat besar dan tidak bia diingkasri oleh siapapun. Bahkan bersama Muhammadiyah, NU menjadi bagian inti dalam proses perumusan konstitusi negara, yakni pancasila dan UUD 1945. Karena itu NU menjadi pemilik sah negeri ini. Atas dasar alas an historis ini, maka sangat jelas bahwa NU memiliki tanggung jawab terhadap masa depan Indonesia. sebagai konsekuensinya, NU tidak bisa menafikan diri dari politik kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Secara definitif cita-cita kemerdekaan itu dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Bila kita derivasi kelevel yang lebih konkret maka tujuan etis perjuangan politik kebangsaan NU adalah pertama mewujudkan cita-cita ketuhanan, kedua mewujudkan cita-cita persatuan, ketiga mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan, keempat mewujudkan cita-cita demokrasi, keamanan dan terciptanya ketertiban serta perdamaian dunia.

Cita-cita ketuhanan menjadi arah penting bagi politik kebangsaan NU dalam konteks ini. Secara praktis NU harus selalu berusaha mendorong tumbuhnya kehidupan beragama baik pada ruang privat maupun publik. Negara harus diletakkan secara proporsional sebagai instrument untuk menciptakan suatu atmosfer yang dapat mendorong setiap warga negara, apapun agama nya dapat mencapai keselamatan dunia dan akhirat, tidak sebaliknya netral terhadap kepentingan ini. Itulah makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar filosofi negara. Namun hal ini berarti bahwa NU mendorong kea rah negara agama karena batasnya sangat jelas yaitu kepentingan public. Oleh sebab itu NU juga bekewajiban menumbuhkan semangat republik sebuah prinsip yang didasarkan pada asas kewargaan sebagai basis utama paham kebangsaan.

Mengenai cita-cita persatuan politik kebangsaan NU harus menumbuhkan semangat saling menghargai baik antar etnis, suku, kedaerahan, agama, maupun golongan. Semangat ini harus ditumbuhkan dengan prinsip kekeluargaan sebagai dasar semangat kebangsaan kita. Prinsip kekeluargaan adalah spirit tolong-menolong yang didalamnya terdapat elemen rasa persaudaraan dan saling mencintai. Inilah yang membedakan dengan semangat pluralisme dan kolektivisme.

Spirit tolong menolong juga menjadi lawan individualism dan persaingan bebas. Jika individualism merupakan spirit dari kapitalisme maka tolong-menolong adalah spirit dari kekeluargaan. Cita-cita persatuan harus dibangun di atas fondasi seperti itu. Demikian pula terhadap cita-cita kesejahteraan bersama, buka atas golongan atau kelompok tertentu. Dengan demikian akan terwujud bagi semua dan persatuan menjadi lebih kokoh.

Pengembangan Ekonomi Warga Sebagai Fokus
Banyak instrumen dan pendekatan yang bisa dipakai untuk mewujudkan cita-cita itu.di lapangna ekonomi, NU bisa melakukan nya denga terus menerus mendorong dan memperjuangkan agar kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi dapat menjadi benang pengikat diantara semua elemen bangsa antar golongan suku dan wilayah di Indonesia. bentuknya bisa macam-macam salah satunya peningkatan perdagangan antarwilayah.

Di lapangan sosial bisa berupa pertukaran pelajar antarwilayah, kerjasama peningkatan mutu sekolah antarwilayah, hingga kolaborasi festival budaya misalnya. Cara-cara seperti ini akan meningkatkan silaturahmi antarsuku golongan dan wilayah yang lebih hangat.

Walhasil, rasa persaudaraan dan kekeluargaan akan menjadi lebih kokoh, selain dapat meningkatkan ikatan ekonomi secara nasional dan pemetaan kesejahteraan. Demikian pula, ketahanan nasional akan menjadi tangguh dan kemanan tercipta secara genuine.

Kemanan secara subtansial dibutuhkan justru untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara bahkan untuk mencapai tujuan nasional itu sendiri. Namun menciptakan keamanan tidak boleh mengorbankan cita-cita dan tujuan lainnya, misalnya dengan meredam partisipasi politik. Keamanan adalah sebuah aspek yang berhubungan dengan ketahanan, baik ekonomi, sosial, maupun politik yang interaksinya menciptakan kondisi umum. Karena itu ketahanan dan keamanan sifatnya dinamis. Itu sebabnya cita-cita persatuan berhubungan erat dengan cita-cita kesejahteraan dan keadilan serta cita-cita untuk mewujudkan demokrasi.

Cita-cita demokrasi dalam konstitusi kita digagas dengan suatu tujuan, bukan menjadi tujuan itu sendiri yaitu untuk mewujudkan keadilan politik, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu dalam konstitusi kita cita-cita dengan kata ‘kemerdekaan’ bukan ‘ kebebasan’ (pasal 28 UUD 1945).

Kedua kata ini berbeda makna. Kemerdekaan adalah sebuah keadaan yang terlepas dari penindasan baik terhadap hak-hak politik, ekonomi maupun hukum menuju kemandirian. Oleh karena itu dalam konstitusi kita cita-cita keadilan dalam politik dikonstruksi atas dasar pemberian hak politik dan kemerdekaan berpolitik, bukan kebebasan politik.

Sedangkan pengertian kebebasan adalah sebuah keadaan yang existing dimana didalamnya tidak boleh ada sesuatu apapun yang membatasi atau menghalangi setiap warga negara untuk melakukan apapun, negara sepenuhnya sebagai pelayan. Inilah yang membedakan demokrasi kita dengan demokrasi liberal. Sayangnya, akibat euphoria politik, keadilan politik sering dikonotasikan dengan kebebasan sich; bahkan demokrasi diartikan secara sempit hanya sebagai kebebasan. Dan demokrasi yang dibangun sekarang ini cenderung lebih banyak menekannkan perluasan aspek kekebasn saja. Ini dapat membahayakan eksistensi Negara.

Oleh karena itu perjuangan politik kebangsaan NU harus meneguhkan kembali ide republik untuk menetralisasi kecenderungan-kecenderungan pemanfaatan demokrasi secara berlebihan. Koridor ini penting untuk mengimbangi potensi disinsetif dari liberalisesi politik yang terjadi belakangan ini.

Singkat kata dengan kalimat yng lebih operasional arah dan tujuan politik kebangsaan NU adalah membangun rumah Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa-robbun ghafur, tempat di mana jamaah nahdliyin tinggal bersama saudara sebangsa yang lain. Sesungguhnya ini bukan sekedar sebuah tanggung jawab konstitusioanal NU, tetapi jelas-jelas merupakan kewajiban yang melekat karena NU adalah pemilik sah rumah Indonesia. KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah adalah tokoh-tokoh NU yang ikut merancang dan mengonstruksikan berdirinya rumah Indonesia. karena itu, NU wajib memekmurkan dan manjaga negeri ini. Inilah politik kebangsaan NU.

Oleh: H. As’ad Said Ali
* Penulis buku "Pergolakan di Jantung Tradisi" dan "Negara Pancasila"
artikel pada:www.nu.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!