12.6.10

Absolutisme agama dan kekerasan

gambar ilustrasi--
--KEKERASAN atau terorisme atas nama agama senantiasa mewarnai setiap babakan dan sepanjang sejarah kemanusiaan. Akhir-akhir ini, fenomena ini kembali muncul. Pasalnya, para pelaku kekerasan adalah mereka yang selama ini penganut agama yang taat, bahkan banyak yang alumni pesantren.

Hal ini setidaknya disebabkan pemahaman dan pola keberagamaan mereka yang parsial. Agama lebih dipahami dan dijadikan sebagai sebuah ideologi yang berangkat dari suatu ketegangan hermeneutis atas teks-teks suci. Agama tidak lagi dipahami sebagai sebuah pembebasan. Implikasi dari pemahaman semacam ini adalah terjadinya truth claim. Ia menganggap hanya agama dirinya yang dapat membebaskan manusia dari dosa. Dari aras ini terjadilah absolutisme agama yang akan mendorong tumbuhnya benih-benih yang terakumulasi menjadi sebuah potensi konflik yang berkepanjangan.

Jika ditelisik lebih jauh dalam sejarah agama-agama, semua agama merupakan satu rumpun, agama yang satu dengan lainnya terdapat suatu keterkaitan, bahkan dalam tataran tauhid terdapat kesamaan. Di samping juga kesamaan nilai-nilai universal. Adanya klaim kebenaran mutlak dan adanya muatan emosi keagamaan yang bersifat subjektif menjadikan agama identik dengan ideologi-ideologi lainnya di dunia ini. Akhirnya, agama kehilangan elan vitalnya sebagai sebuah pembebasan.

Kebenaran agama merupakan suatu realitas objektif yang menyejarah. Karena itu, doktrin agama merupakan simbol kebenaran samawi yang ada “di seberang sana”. Ia bisa ditafsirkan, diterjemahkan, diceritakan melalui proses hermeneutis, namun hal tersebut masih tetap “di sana”. Sementara itu, ada kebenaran lain atau kebenaran “di sini” sebagai sebuah manifestasi akal manusia atau yang disebut kebenaran bumi.

Pertemuan kedua kebenaran antara samawi (langit) dan bumi akan berimplikasi pada adanya jargon yang diungkapkan oleh Abul Kalam Azad, yaitu “al-Din wa al-Syari’ay mukhtalifat, agama tetap satu dan syariat berbeda-beda. Artinya, agama di mana pun sepanjang masa adalah sama. Yang berbeda adalah metode (manhaj) yang melahirkan syariat yang berbeda.

Perbedaan ini dalam perkembangannya telah berubah dan menjelma menjadi sebuah ideologi yang membatasi (mereduksi) agama itu sendiri. Akibatnya, agama yang kita yakini tidak lebih dari sekadar usaha hermeneutis manusia yang telah mengalami pembakuan dan distorsi atau dalam bahasa Arkoun terjadi Taqdis al-afkar al-diny (penyucian atau ideologisasi hermeneutis).

Selama ini, pemikiran keagamaan sering kali tidak bisa membedakan aspek doktrinal-teologis dan aspek kultural sosiologis sebagai produk interpretasi atas ajaran-ajaran agama. Umat beragama akhirnya sulit membedakan antara yang normatif dan hasil sebuah interpretasi atas teks-teks suci yang dipengaruhi oleh latar belakang kultural, politis, dan sosiologis yang bersifat plural, sehingga menimbulkan sebuah praduga
teologis yang menyejarah. Praduga teologis secara sepihak dan salah yang sudah menyejarah ini sangat sulit dipecahkan dan dicari jalan keluarnya.

Absolutisme agama itu muncul karena adanya reduksi religiusitas. Reduksi terjadi setidaknya karena beberapa hal. Pertama, agama yang kita anut bukan agama yang secara sadar kita anut dari nurani, tetapi tidak lebih dari sekadar agama keturunan yang diyakini dan dianut secara turun-temurun sebagai agama yang benar oleh nenek moyang serta orang tua kita. Tak heran jika kemudian absolutisme berubah pada dogmatisme agama.

Kedua, beragama yang tidak berangkat dari kesadaran langsung dalam pencarian akan Tuhannya. Agama yang kita anut dan yakini paling benar sejatinya tidak lebih dari sekadar penerapan tafsir-tafsir para agamawan terhadap teks-teks suci ilahi (wahyu) di mana ada distorsi pemahaman sangat tinggi. Bahkan, lebih parah lagi, penerimaan secara total bahwa usaha hermeneutis para agamawan tersebut dianggapnya sebagai suara Tuhan (agama itu sendiri).

Ketiga, adanya pemahaman keagamaan yang cenderung positivistik, sehingga kita terjebak pada adanya klaim-klaim kebenaran biner (benar-salah). Implikasinya, agama dan pemahaman keagamaan yang berbeda dengan dirinya dianggap sebagai agama dan pemahaman yang sesat.

Mencari titik temu

Semua bentuk dan simbol agama boleh berubah, tetapi yang transendental, yang berada di balik keberagaman itu, selamanya tidak akan berubah. Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa semua agama bertemu pada kebenaran ilahiyah sebagai sebuah kebenaran universal yang memang ada pada semua agama dan secara langsung diperoleh melalui wahyu.

Dalam upaya mencari titik temu agama (konvergensi) dan pemahaman agama sebagai kerangka acuan, setidaknya ada beberapa pertimbangan yang bisa diajukan. Pertama, secara praktis, pluralisme agama dan pemikiran dalam internal agama belum sepenuhnya dipahami umat beragama secara sadar dan niscaya, sehingga yang tampil ke permukaan justru sikap eksklusivisme beragama dan pemahaman keagamaan. Dari sinilah akar konflik mulai muncul.

Kedua, di tengah-tengah pluralisme agama dan pemikiran keagamaan ini, hanyalah sekelompok kecil pengikut dari semua agama yang bersikap eksklusif dan cenderung memonopoli kebenaran agama dan paham keagamaan. Wallahu a’lam.

*ABDUL HADY JM
Penulis adalah fungsionaris PC IPNU Sumenep, kontributor Jaringan Islam Kultural (JIK).
Sumber Artikel

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!