19.3.14

HUKUM DAN ETIKA PACARAN DALAM ISLAM

Pada dasarnya segala macam muamalah dibolehkan kecuali ada dalil
yang melarangnya. ﻰﻓ ﻞﺻﻷﺍ ﺀﺎﻴﺷﻷﺍ ﺔﺣﺎﺑﻹﺍ ﻻﺇ ﻪﻣﺮﺣﺎﻣ ﻉﺮﺸﻟﺍ Begitu pula
dengan pacaran. Pada dasarnya pacaran sebagai sebuah bentuk
sosialisasi dibolehkan selama tidak menjurus pada tindakan yang jelas-
jelas dilarang oleh syara’. Yaitu pacaran yang dapat mendekatkan para
pelakunya pada perzinahan. Demikaian surat al-Isra’ ayat 32
menerangkan:
َﻻَﻭ ﺍﻮُﺑَﺮْﻘَﺗ ﺎَﻧِّﺰﻟﺍ ُﻪَّﻧِﺇ َﻥﺎَﻛ ًﺔَﺸِﺣﺎَﻓ َﺀﺎَﺳَﻭ ًﻼﻴِﺒَﺳ
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”
Hal ini sangat singkron dengan hadits Rasulullah saw yang seolah
menjelaskan model tindakan yang dapat mendekatkan seseorang dalam
perzinahan
ِﻦَﻋ ِﻦْﺑﺍ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ ﻲِﺿَﺭ ُﻪﻠﻟﺍ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪَّﻧَﺃ َﻊِﻤَﺳ َّﻲِﺒَّﻨﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ُﻝﻮُﻘَﻳ
َﻻ َّﻥَﻮُﻠْﺨَﻳ ٌﻞُﺟَﺭ ٍﺓَﺃَﺮْﻣﺎِﺑ َﻻَﻭ َّﻥَﺮِﻓﺎَﺴُﺗ ٌﺓَﺃَﺮْﻣﺍ َّﻻِﺇ ﺎَﻬَﻌَﻣَﻭ ٌﻡَﺮْﺤَﻣ ) ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ (
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw
berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat
dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan
janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada
mahramnya” ( muttafaq alaihi)
Rasulullah saw secara tidak langsung telah memberikan rambu-rambu
kepada umatnya mengenai model hubungan laki-laki dan perempuan yang
terlarang. Pelarangan itu demi menghindarkan seseorang terjerumus
dalam perzinahan. Karena pada umumnya perzinahan bermula dari situasi
berduaan.
Demikianlah dasar hukum dilarangnya pacaran, jika yang dimaksud
dengan pacaran itu adalah Pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka,
sebagaimana yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karya
Purwodarminto.
Akan tetapi berbeda hukumnya jika yang dimaksud dengan pacaran
adalah upaya saling mengenal menjajaki kemungkinan untuk menjalin
pernikahan dalam momentum khitbah melamar. Karena sesungguhnya hal
itu sama seperti mendukung anjuran Rasulullah saw terhadap generasi
muda muslim untuk menikah, sebagai solusi menghindarkan diri dari
perzinahan.
ْﻦَﻋ ِﺪْﺒَﻋ ِﻪﻠﻟﺍ َﻝﺎَﻗ َﻝﺎَﻗ ﺎَﻨَﻟ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ ﺎَﻳ َﺮَﺸْﻌَﻣ
ِﺏﺎَﺒَّﺸﻟﺍ ِﻦَﻣ َﻉﺎَﻄَﺘْﺳﺍ ُﻢُﻜْﻨِﻣ َﺓَﺀﺎَﺒْﻟﺍ ْﺝَّﻭَﺰَﺘَﻴْﻠَﻓ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ُّﺾَﻏَﺃ ِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ ُﻦَﺼْﺣَﺃَﻭ
ِﺝْﺮَﻔْﻠِﻟ ْﻦَﻣَﻭ ْﻢَﻟ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ ِﻪْﻴَﻠَﻌَﻓ ِﻡْﻮَّﺼﻟﺎِﺑ ُﻪَّﻧِﺈَﻓ ُﻪَﻟ ٌﺀﺎَﺟِﻭ * )ﻩﺍﻭﺭ ﻢﻠﺴﻣ (
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata,  Rasulullah saw mengatakan kepada kami:
Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup
melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka
sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan
memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup
hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai
baginya” (muttafaq alaih)
Begitu juga sebaliknya, Rasulullah saw dengan gamblang mengancam
siapapun yang tidak mengikuti sunnahnya (termasuk di dalamnya
menikah) sebagai keluar dari golongannya. Demikian ketegasan
Rasulullah saw tercermin dalam haditsnya:
ﻦﻋ ِﺲَﻧَﺃ ِﻦْﺑ ٍﻚِﻟﺎَﻣ َّﻥﺃ َﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪﻠﻟﺍ ﻰَّﻠَﺻ ُﻪﻠﻟﺍ ِﻪْﻴَﻠَﻋ َﻢَّﻠَﺳَﻭ :ﻝﺎَﻗ ﻲِّﻨِﻜَﻟ…
ُﻡﻮُﺻَﺃ ُﺮِﻄْﻓُﺃَﻭ ﻲِّﻠَﺻُﺃَﻭ ُﺪُﻗْﺭَﺃَﻭ ُﺝَّﻭَﺰَﺗَﺃَﻭ َﺀﺎَﺴِّﻨﻟﺍ ْﻦَﻤَﻓ َﺐِﻏَﺭ ْﻦَﻋ ﻲِﺘَّﻨُﺳ َﺲْﻴَﻠَﻓ
ﻲِّﻨِﻣ * ) ﻩﺍﻭﺭ ﻱﺭﺎﺨﺒﻟﺍ (
“Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya
aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa
yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku”
Kedua hadits ini menjelaskan posisi pentingnya sebuah pernikahan bagi
seorang. Sehingga Rasulullah sendiri membuat anjuran sekligus ancaman.
Oleh karena itulah pacaran dengan arti meminang atau melamar dalam
upaya mencari kesepahaman demi menuju jenjang pernikahan dalam
Islam dibolehkan. Karena kesempatan seorang muslim memandang muka
dan telapak tangan perempuan lain bukan muhrim hanya dalam momen
khitbah, tidak pada saat yang lain. Demikian keterangan dalam At-Tahdzib
fi Adillati Matnil Ghayah wat Taqrib
ﻊﺑﺍﺮﻟﺍﻭ ﺮﻈﻨﻟﺍ ﻞﺟﻻ ﺡﺎﻜﻨﻟﺍ ﺯﻮﺠﻴﻓ ﻰﻟﺍ ﻪﺟﻮﻟﺍ ﻦﻴﻔﻜﻟﺍﻭ
Keempat (dari tujuh macam pandangan laki-laki terhadap wanita) melihat
untuk maksud menikahi. Diperbolehkan memandang muka dan telapak
tangannya.
Demikian Rasulullah saw juga mengajarkan perlunya perkenalan dan
menganjurkannya walau dalam waktu yang singkat sebagaimana
pengalaman Al-Mughirah bin Syu’bah ketika meminang seorang
perempuan, maka Rasulullah berkomentar kepadanya:
ﺮﻈﻧﺍ ﺎﻬﻴﻟﺍ ﻪﻧﺎﻓ ﻯﺮﺣﺍ ﻥﺍ ﻡﺩﺆﻳ ﺎﻤﻜﻨﻴﺑ
Lihatlah dia (wanita itu), sesungguhnya melihat itu lebih pantas
(dilakukan) untuk dijadikan lauknya cinta untuk kalian berdua.
Oleh karena itu, segala macam bentuk pacaran tidak dapat dibenarkan
kecuali jika pacaran yang bermakna khitbah yang membolehkan seorang
lelaki hanya memandang muka dan telapak tangan perempuan, tidak lebih.
Artinya tidak melebihi dari muka dan telapak tangan, tidak melebihi saat
khitbah, dan juga tidak melebihi dari memandang itu sendiri. ( red. Ulil H)
Slumber www.nu.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

Get this blog as a slideshow!